Oleh: Asa Jatmiko
Januari ini rupanya terlampau banyak peristiwa penting dalam hidup saya. Dada ini tak ubahnya medan perang yang berkecamuk seperti terjadi di beberapa belahan dunia, lalu terhembus gencatan senjata dengan menyisakan persoalan ratusan ribu pengungsi yang tak tahu lagi kemana harus pulang. Tak berapa lama kemudian Amerika Serikat melantik presiden baru yang lalu menyemprotkan bau kentut yang membuat pusing seluruh dunia. Di dalam dada, Januari kali ini seperti perut bumi yang mual demi menghadapi berbagai peristiwa yang mengguncang.
Seharusnya pertemuan, kebersamaan dan perpisahan hanyalah persitiwa yang amat sangat biasa dalam kehidupan. Dan saya memahami hal itu, sebagaimana selama ini saya merasa dengan ringan untuk pergi ke sana-kemari, meninggalkan kebersamaan di sini lalu bertemu dengan yang lain di sana, dan seterusnya. Orang tidak akan melibatkan perasaannya yang sesungguhnya dalam berkomunikasi, karena itu bukan perwujudan sikap profesional. Begitulah saya memaknai pertemuan, kebersamaan dan perpisahan yang terjadi selama ini.
Suatu ketika saya mulai “tidak profesional” dalam berkomunikasi dengan orang lain, katakanlah begitu, maka inilah yang saya alami dan rasakan sebagaimana Januari ini: pertemuan, kebersamaan dan akhirnya perpisahan, mau tidak mau telah menjadi peristiwa berdarah-darah yang sulit untuk dihapuskan, bahkan di dalam kenangan. Tahapan-tahapan itu kemudian harus saya maknai kembali. Saya harus mundur untuk melihat kembali mulai dari keping terkecil yang tadinya nampak biasa saja, sebagai bagian dari banyak kepingan yang kemudian merangkai sebagai gambar sempurna pada akhirnya: perpisahan.
Mengapa? Sekali lagi, karena saya telah sejak awal melibatkan perasaan. Dengan saya mulai membagi kekuatan di dalam diri saya, saya mulai menaruh kepercayaan akan hal-hal pribadi saya, dengan melumpuhkan kaki yang satu untuk digantikannya semata hanya untuk bisa berjalan bersama, kemudian dalam perjalanan saya mulai menabur benih-benih harapan di sana. Harapan akan ladang yang hijau dipenuhi keceriaan, dimana matahari dengan telanjang melihat kami bertumbuh bersama. “Saya sudah mengatakan sejak pertama kali, apa yang menurutmu baik dilakukan, maka lakukan. Aku memastikan bahwa kamu akan selalu mendapat dukunganku,” dan itu saya ucapkan lagi pada pertemuan terakhir.
Sejak itu saya melenyapkan kata “teman”, dan menggantikannya dengan sesuatu yang tak terganti.