Esai: Septiana Wibowo

Menghadapi Modernisme

PADA jaman modern ini yang semuanya serba mudah dan praktis. Justru dalam pengamatanku, kita semakin dirancang untuk tidak produktif dalam hal domestik. Terlalu banyak hal yang dipelajari dengan buru-buru dan instant.

Sebagaimana dari awal kita dididik agar menjadi piawai secara akademik dan bersaing dengan klasifikasi rangking disekolah sejak kecil. Kita lebih banyak disiapkan untuk menjadi wanita karir saja serta mempelajari keterampilan praktis dalam dunia kerja. Namun pada prosesnya Sebagian besar hal itu tak sadar mengikis keterampilan konvensional kita sebagai ibu rumah tangga.

Hal ini terjadi hampir di banyak perempuan generasi milenia bahkan gen z, sehingga apa yang harus aku lakukan sekarang ketika terlalu banyak media yang memanjakan dan mempermudah semuanya?

Ya, aku semakin terjebak menjadi konsumen dengan tingkat produktifitas kurang dalam kegiatan berumah tangga. Bahkan di tingkat makanan kecil saja, aku lebih nyaman memesan online di bandingkan mengolahnya sendiri.

Memang praktis bagi beberapa orang yang sibuk. Sangat membantu dan menyingkat waktu serta tenaga kita sebagai istri yang bekerja sekaligus ibu rumah tangga. Namun di era ini justru saat tak sibuk pun kita telah dengan sengaja memutus mata rantai keterampilan bertahan hidup kita dalam kegiatan domestik rumah tangga.

Dalam ilmu terapannya, menurut Dr Ryu Hasan pakar Neurologi dan bedah syaraf otak, “bahwa manusia dapat dikatakan cerdas hanya jika dapat memperpanjang hidupnya dengan upaya-upaya bertahan hidup.” Lalu lanjutnya, “maka semakin panjang hidupnya, semakin cerdas secara naluriah,” ungkapnya dalam salah satu podcast End Game yang dipandu oleh Gita Wiryawan.

Namun sekarang, fenomena yang kita alami adalah hanya berkutat pada keterampilan mencari dan menggunakan uang, yang secara harafiah justru menghambat kecerdasan naluriah kita sebagai manusia.

Kecerdasan domestik yang membantu kita untuk bertahan hidup. Sedang dengan kemudahan membelanjakan uang, maka hal itu menjadi berkurang drastis. Ditandai dengan tanpa adanya layanan makanan pesan antar, laundry dan layanan belanja kebutuhan online. Semua akan terasa begitu sangat repot.

“Hal ini menunjukkan secara empiris bahwa keterampilan manusia yang justru semakin modern malah semakin berkurang.”

Tesis ini bukan berarti bahwa kita tak perlu menggunakan kemudahan-kemudahan itu di era modern ini. Bukan untuk menjadi kolot dan anti-pati. Karena fasilitas yang semakin beragam sekarang justru banyak membantu. Dengan fasilitas-fasilitas online di gawai kita bisa mengkordinir penyelesaian kewajiban dengan lebih efisien. Namun pada dasarnya perlu diwaspadai bahayanya kehilangan fungsi diri sebagai manusia dengan berbagai keterampilannya, serta sebagai mahluk sosial yang terikat dalam suatu tatanan sosial masyarakatnya.

Minimal saat kita pergi keluar walau hanya untuk berbelanja di kedai ataupun pasar dengan cara konvensional, kita akan tetap menyadari bahwa kita pribadi yang saling terhubung satu dengan yang lain. Hal yang akan melatih kita untuk mengasah perilaku sosial, menempatkan diri dengan tepat, bahkan secara tak sadar terlatih untuk membawa tema pembicaraan menjadi lumrah dan melatih kepekaan sosial kita.

Menjadi pribadi yang cerdas secara eksistensial membantu kita dalam menangani banyak masalah. Sebagai contoh menjadi pendengar yang baik saat anak kita mengalami masalah di sekolahnya. Semisal saat di tegur oleh guru, alih-alih merasa disalahkan dan mencari pembenaran atau bahkan memarahi anak-anak kita, cukup mendengarkan keluh kesahnya lalu mengajaknya berdiskusi apa yang salah dan apa yang perlu dibenahi dari diri sendiri dulu adalah Langkah yang lebih baik.

Hal yang sama saat anak-anak bertengkar dengan kawan sekelas. Alih-alih mencari pembenaran di anak, kita mungkin lebih bijak untuk berdiskusi apa yang perlu dilakukan agar kondisi tidak semakin memburuk.

Kecerdasan Eksistensial atau yang sering dikenal dengan keterampilan dalam kepekaan dalam menghadapi kondisi sosial juga perlu dimiliki. Dengan cara berbaur dengan teman maupun kolega, baik itu dalam keseharian saat dalam pertemuan resmi kita pelan-pelan akan memahami bagaimana membawa diri. Apa yang kita lakukan serta pilihan-pilihan kata yang kita gunakan cukup untuk membuat porsi yang pas di mata kolega. Tidak terkesan berlebih-lebihan maupun tampak kurang bisa adaptasi atau kuper (baca: kurang pergaulan).

Ini adalah terapan dari menjadi individu mapan secara emosi agar kita tetap bisa bertahan dalam modernisasi. Hal yang sangat diperlukan oleh kita, terutama perempuan modern sekaligus seorang ibu yang dipaksa untuk dapat berbaur dimana saja mereka berada.

Tetap semangat dan cerdas dalam memilih kegiatan serta belajar mendalami keterampilan domestik tetap diperlukan walau telah menjadi ibu dan seorang istri dengan kemampuan finansial yang mapan dan kesibukan yang padat.***

November 2024

______________________________

Septiana Wibowo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *