Esai: Asa Jatmiko
REJOSARI Sabtu siang (17/5), orang-orang dari berbagai penjuru daerah mulai berdatangan. Mereka adalah para peserta Festival Film Anak Bangsa (FFAB) yang filmnya masuk nominasi. Ada yang datang dari Klaten, Yogyakarta, Semarang, Jepara, Pati, kemudian ada juga komunitas film dari Tangerang, dan juga kota-kota lain. Belum lagi teman-teman dari Kudus, kelompok teater dan para pegiat seni dari perorangan maupun komunitas. Panitia FFAB, seperti: Budi Kusriyanto, Melly Hana Septiana, dan Elang Ade Iswara terlihat masih sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, dan juga Cornel Innos mengomandani gladi bersih acara malam penganugerahan FFAB. Di antara mereka, kami semua juga ada di sana, turut membantu; Irianto Gunawan, Susilo Tri Rahardjo dan saya sendiri.
Udara berkesiur menerpa daun-daun bambu yang lalu melahirkan suara gemerisik. Siang menjelang sore itu, langit terang benderang. Lalu memang berangsur gelap dan gerimis mulai turun pada acara “Bincang Film” akan berakhir. Siang hingga sore itu panitia menyuguhkan “Pemutaran 6 Film Pendek” dari para peserta FFAB, antara lain: Ujung Jakarta, Bianglala, Tirta, Ru’jara: The Journey Begins, Memori Air dan Pembayun. Dari film-film yang diputar tidak semuanya merupakan nominator. Namun dari pemutaran film-film tersebut menjadi pemantik “Bincang Film” yang digelar berikutnya. Menghadirkan Rendra Bagus Pamungkas (Aktor) dan Fanny Chotimah (Praktisi Film dan Pegiat Komunitas Film). Mereka juga pada malam sebelumnya telah melakukan sidang juri bersama Asa Jatmiko.







“Beberapa waktu yang lalu sebenarnya saya sempat ke wilayah Pantura ini, dan mencari komunitas-komunitas film. Dan sampai saat itu saya bingung, tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Saya belum menemukannya saat itu,” kata Andika Wahyu dari Indonesia Film Archivist Society Yogyakarta. Hari ini Andika Wahyu datang untuk menjadi keynote speaker di Malam Penganugerahan FFAB 2025. “Saya sangat tertarik dengan peristiwa di Kudus ini (FFAB), dan menurut saya harus dilanjutkan. Dengan adanya penyelenggaraan festival film ini, maka komunitas-komunitas film di wilayah ini, yakni: Semarang, Kudus, Demak, Jepara, Pati, Rembang dapat terjalin, menemukan wadahnya.”
Andika Wahyu menjelaskan lebih lanjut mengenai pentingnya FFAB bagi dunia perfilman di Tanah Air. “Sama dengan apa yang menjadi impian setiap film maker dan komunitas film, bahwa mereka merindukan tempat-tempat alternatif yang mengakomodir karya mereka, memutar film-film mereka dan memperbincangkannya dalam forum-forum diskusi. Dengan demikian karya film ini akan diaprasiasi dan dinikmati oleh semakin banyak orang,” tegasnya.
“Apalagi dengan venue dan tematik khas FFAB seperti saat ini, tentu akan menjadi sangat menarik. FFAB akan memiliki gaya dan karakteristik yang khas, yang diminati oleh komunitas film dan para film maker. Nonton film di bawah rumpun bambu, berakrab ria dengan alam, dengan balutan tema “Air Mata Air”. Saya bahkan sudah membayangkan pada kesempatan berikutnya bisa mengambil pilihan-pilihan tempat, misalnya di hutan, atau di pantai, dan sebagainya. Ini menarik. Dan inilah alternatif layar film-film pendek, dan sejauh pengamatan saya belum ada,” jelas Andika.
Pada malam penganugerahan kategori-kategori terbaik untuk teaser, penata artistik, skoring musik, skenario, pemeran, sutradara dan karya film terbaik, langit terus menurunkan hujan. Panitia sempat mendiskusikan rencana lain pada saat jeda ishoma (istirahat, shalat dan makan). Namun kemudian panitia bersepakat bahwa kita semua akan memaknai hujan sebagai berkat yang harus disyukuri. Terlebih tema ferstival untuk gelaran perdana ini juga berkeseuaian, yakni “Air Mata Air”. Saya melihat sendiri bagaimana para film maker dan komunitas film yang duduk di kursi penonton, tetap duduk dan menikmati sajian gelaran di panggung dalam situasi hujan sekali pun. Semua basah, dan semua menjadi sah untuk menjadi saksi perhelatan FFAB tahun 2025.
Para Pemenang FFAB 2025, dapat dibaca selengkapnya di sini…
Imam Syafii, penulis skenario dan sutradara film Memori Air, mengungkapkan rasa syukurnya bisa datang ke Kudus. Dia menyampaikan terimakasih kepada Festival Film Anak Bangsa, karena filmnya mendapatkan penontonnya kembali. “Saya men-submitt “Memori Air” sudah di waktu-waktu terakhir menjelang ditutup. Karena awalnya produser saya juga ragu, apakah cocok dengan tema festival ini,” katanya.





Bertemu dengan Rendra Bagus Pamungkas, Fanny Chotimah, Andika Wahyu dan kami semua di Omah Kuldi Kompleks RKBBR, Imam Syafii menyatakan keterkejutannya bahwa penyelenggaraan ini tidak disponsori pendanaan dari pihak manapun. “Sungguh, saya shock begitu mendengar hal ini. Karena saya awalnya mengira, pendanaan berasal dari pihak sponsor baik swasta maupun pemerintah. Ternyata ini uang dari panitia sendiri. Saya sangat menghargai dan salute,” ungkapnya.

Sebelum menutup perbincangan, Andika Wahyu berpesan agar ini terus dilanjutkan. Mulai tahun ke-5, FFAB ini akan terlihat, sebagai ajang bergengsi yang kredibel dan diapresiasi banyak pihak. Rekam jejak festival-festival lain, seperti: Jakarta International Film Festival (Jiffest), Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), Minikino, pun tidak jauh berbeda.
Mereka konsisten menyelenggarakan festival film, menciptakan penonton-penonton film, menggelar pemutaran-pemutaran film, workshop dan diskusi-diskusi. “Jangan lupa, film-film peserta harus diarsipkan. Tidak hanya materi filmnya, namun juga data kontak personnya, sinopsisnya, semua. Kita bisa mengadakan pemutaran film-film pendek tematik, dan mendiskusikannya bersama komunitas-komunitas film,” pesannya.
Rumpun bambu tak ubahnya sebuah simbol masyarakat khas Nusantara yang mengedepankan silaturahmi, berkumpul bersama sebagai satu saudara. Saling membantu di dalam kesulitan dan kesusahan, untuk juga bertumbuh bersama menjuntai ke langit. Berbagai peristiwa kehidupan digelar di bawah rumpun bambu, layar yang memperlihatkan denyut hidup dan perjuangan kemanusiaan, untuk kemudian dibasuh oleh hujan. Menyeimbangkan kembali kemanusiaan dengan alam semesta.
Harapan dan cita-cita itu tetaplah langit, namun upaya dan perjuangan ke sana tetap ditumbuhkan. Percaya bahwa akan ada hal baik, ialah hujan yang menenangkan dan mendamaikan setiap jerih. Karena demikianlah, film-film pendek akan semakin memilliki banyak ruang tontonan alternatif, dan dengan demikian akan semakin memiliki peluang untuk berbicara mengenai masyarakat bangsanya.
Semoga.***