JEPARA, Iniibubudi – Buku Kumpulan Esai “Bukan Kartini” yang ditulis Septiana Wibowo, penulis dan guru bimbingan belajar (bimbel) bahasa Inggris kelahiran Pati yang besar di Jepara, telah menjadi pemantik diskusi mengenai problematika dunia pendidikan, terutama pendidikan dasar. Buku ini telah menyulut perbincangan yang seru dan berhasil mengangkat persoalan nyata yang dihadapi oleh para guru di dalam upayanya mendidik generasi penerus bangsa. Acara berlangsung di Gedung Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Jepara, Sabtu (25/5).
Kegiatan yang digelar oleh Komunitas Eks-Prajabatan 2024 ini turut dihadiri oleh para guru muda generasi Z, pegiat literasi, akademisi, serta tokoh-tokoh sastra dari Jepara dan berbagai daerah lainnya. Buku terbitan Iniibubudi Publishing itu menjadi sorotan lantaran mengangkat isu-isu perempuan, pendidikan, dan dinamika sosial dari perspektif personal dan kritis.

Dalam diskusi panel yang berlangsung, hadir tiga pembicara utama dari latar belakang yang berbeda. Sastrawan sekaligus sebagai pihak penerbit Iniibubudi, Asa Jatmiko menilai “Bukan Kartini” bukan sekadar buku esai biasa. “Ia adalah refleksi yang jujur dan apa adanya dari kegelisahan penulis terhadap fenomena zaman ini dari konsumerisme hingga minimnya ruang belajar bagi perempuan,” ujarnya.
Menurut Asa, kekuatan buku ini terletak pada kejujuran dan keberanian penulis menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan. “Sebagai penerbit, saya langsung tertarik menerbitkan naskah ini setelah membaca draf pertamanya,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti dan aktivis literasi Hendira Ayudia, yang juga menulis pengantar dalam buku tersebut, menyebut karya Septiana sebagai cermin perjalanan perempuan hari ini. “Melalui narasi pribadi dan catatan sosialnya, penulis mengajak kita memahami bagaimana perempuan dapat tumbuh dengan sikap kritis, ideal, dan berintegritas,” ungkap Hendira.
Dalam sambutannya, Septiana menceritakan proses panjang di balik lahirnya Bukan Kartini. Menurutnya, tulisan-tulisan tersebut awalnya hanyalah catatan ringan atas keresahan yang ia alami dan saksikan. “Saya sempat ragu apakah layak dibukukan, tapi setelah melalui banyak diskusi dengan teman-teman sesama penulis, akhirnya saya memutuskan untuk menerbitkannya,” ujarnya.



Terkait judul, Septiana menjelaskan bahwa pilihan kata Bukan Kartini bukan dimaksudkan sebagai penolakan terhadap sosok R.A. Kartini, melainkan sebagai representasi pemikiran perempuan masa kini yang lahir dalam kondisi sosial dan teknologi yang berbeda. “Saya menulis tentang perempuan ideal menurut saya, perempuan yang bijak menyikapi teknologi, pendidikan, dan hubungan sosial,” katanya.
Seniman dan pendiri Yayasan Jungpara, Ramatyan Sarjono, turut mengapresiasi hadirnya karya baru dari penulis muda Jepara. “Senang rasanya Jepara semakin kaya dengan karya literasi. Harapannya akan semakin banyak guru-guru muda, seperti dari Komunitas Eks Prajabatan ini, yang ikut menulis dan menyuarakan keresahannya,” ujarnya.
Acara ditutup dengan pemaparan oleh Upik Setyawan, pengawas sekolah dan tokoh pendidikan, yang mengajak para guru untuk terus belajar dan mengembangkan diri. “Literasi adalah fondasi pendidikan masa depan. Guru harus jadi pelopor pembelajaran berbasis teknologi dan informasi,” pesannya.
Peluncuran buku juga disemarakkan oleh pertunjukan seni bertajuk “Dialog Literasi: Generasi Literat”, menghadirkan grup musik akustik dari SMP Negeri 6 Jepara, pertunjukan kentrung dari anak-anak binaan Ramatyan Sarjono, serta musikalisasi puisi. (ak)