Monolog: Asa Jatmiko
YOHANES MEMULAI CERITA DARI PATMOS, DI SEBUAH RUANGAN YANG MENGHADAP KE PANTAI. BEBERAPA BUKU TUA NAMPAK DI MEJA KAYU DAN BEBERAPA TEMPAT LAIN. JUGA LEMBARAN-LEMBARAN PAPIRUS TERTEMPEL DI DINDING, DENGAN TULISAN-TULISAN BAHASA YAHUDI BERUKURAN CUKUP BESAR: CUPLIKAN AYAT-AYAT INJIL YANG DITULIS YOHANES TENTANG YESUS.
MUSIK
YOHANES: Aku, Yohanes, saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus, berada di pulau yang bernama Patmos oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus. (TB Why 1:9)
Pernahkah Anda sekalian mendapatkan tugas dengan tanggungjawab yang berat? Sebuah tugas yang bahkan Anda merasa tidak mungkin bisa Anda selesaikan. Awalnya aku mengira, menjadi seorang murid terkasih adalah sesuatu yang indah. Disebut sebagai murid terkasih adalah sebuah kebanggaan. Disebut sebagai murid terkasih pasti akan mendapatkan perlakuan istimewa. Nyatanya bukan itu yang aku rasakan. Sebagaimana Anda lihat sendiri bagaimana aku saat ini. Seorang diri di Pulau Patmos sebagai orang buangan, miskin dan tak terurus, tua dan tanpa ada seorang pun menaruh perhatian. Menjadi muridNya, memang tidak semudah lidah menjawab “saya bersedia”, tak semudah menjawab “siap”. Terlalu banyak penderitaan, penganiayaan dan tangis kematian. Terlebih menjadi murid terkasih.
Aku terpanggil sejak Yesus mulai mengajar kepada banyak orang. Tidak sebelumnya, karena yang aku tahu sebelum itu, Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Bersama Maria, Dia membantu pekerjaan-pekerjaan di rumah. Bersama Yusuf, Ia membantu pekerjaan-pekerjaan ayahnya sebagai tukang kayu. Sisa waktunya, Dia lebih suka pergi ke Sinagoga belajar agama dengan para tetua. Aku sering melihatnya dan bertemu, tetapi hanya sebatas “say helo” saja.
Sebagai remaja, kulihat saat itu Dia tak suka banyak bicara. Tetapi pandanganku berubah sama sekali ketika Dia mulai mengajar di depan orang banyak. Setiap ia berkata-kata, selalu memikat, tak ada satu kata pun yang lenyap. Menancap. Tatapannya mempesona, sikapnya lembut, wajahNya seterang matahari yang sejuk. Segenap jiwa raga-Nya, terbuat dari kasih. Yang diberikan utuh untuk setiap manusia, seluruh bangsa-bangsa. Dialah firman Allah, yang telah menjadi manusia dan diam bersama kita.
VO DIIRINGI MUSIK: TERDENGAR SORAK-SORAI ORANG-ORANG DAN PRAJURIT MENGANIAYA YESUS DALAM PERJALANAN KE GOLGOTA.
Pada hari yang paling menggetarkan dalam kehidupanku itu terjadi, aku bersembunyi. Isu yang beredar, para tetua Bait Allah itu juga telah menyuruh orang-orangnya untuk mencari kami, para murid-Nya. Kami terpencar, dan tidak saling tahu Dimana keberadaan masing-masing. Seperti anak-anak ayam yang tiba-tiba berhamburan menyelamatkan diri dari serangan burung elang yang datang tiba-tiba dari angkasa.
Menerobos orang-orang yang semakin ramai tumpah di jalanan, aku menutup bagian kepalaku, dan berangsur mundur mencari tempat untuk bersembunyi. Waktu ini akan berjalan panjang, ialah hidup yang tiba-tiba taka da kepastian. Setelah hari ini, kami semua merasa berada di hari-hari terakhir. Hanya tinggal menunggu datangnya hukuman, penyiksaan dan kematian. Ooh, apakah kami semua telah salah memilih jalan? Betapa mengerikan apa yang akan menimpa kami semua!
Tiba-tiba aku mendengar suara memanggil namaku. “Yohanes! Yohanes!! Orang-orang menganiayanya! Orang-orang mencambukiNya, menendangNya, meludahi mukaNya!! Orang-orang ingin menyalibkanNya!
Maria, Bunda Kristus. Ia menangis dan sempoyongan berlari ke arahku. Ia menangis, namun bukan airmata semata. Hati dan jiwanya yang tegar bagai dinding Bait Allah itu bergetar menggoncang seluruh daratan dan bebatuan. Aku sangat ketakutan melihat kecemasan Maria yang tak lama lagi akan roboh dalam duka. Ia begitu menyayangi anaknya, melebihi dirinya sendiri.
“Ibu? Iya, Ibu. Apa yang harus kita lakukan?
“Kamu yang setiap hari bersamaNya, bahkan kamu tidak tahu kamu harus berbuat apa, Yohanes?”
“Aku ingin menolongNya, tapi bagaimana caranya, Ibu? Orang-orang sudah mengamuk kesetanan! Mereka seperti binantang yang haus darah!”
“Itu alasanmu sehingga kamu bersembunyi? Itu alasanmu sehingga kamu melarikan diri? Membiarkan anakku menanggung sendiri penderitaan itu?”
“Kita semua harus menyelamatkan diri, Ibu. Karena orang-orang itu juga pasti akan mencari kita, menghabisi kita. Mereka pasti juga akan menghakimi kita semua kalau sampai mereka mengetahui keberadaan kita.”
“Aku tidak tahan lagi. Hati dan jiwaku rasanya mau mati, sakit dan perih. Aku ingin Yesus tahu kalau aku, ibunya, menemani penderitaannya. Aku harus memastikan sorot mataku tertuju padaNya, hingga kapanpun. Aku rela jika aku harus melahirkanNya kembali, menimang-nimangNya kembali seperti dulu. Aku ingin memelukNya. Biarlah penderitaanNya, aku saja yang mengalaminya. Aku saja, Ibunya. Tuhan, biarlah aku saja yang menjalani via dolorosa.”
Aku tercekat. Tenggorokanku tiba-tiba serasa kering. Aku berusaha memapahnya karena ia nyaris tak kuat lagi berdiri. Namun toh, Ia akhirnya terduduk habis di atas tanah kering yang penuh debu itu. Kesedihan ini bukan kesedihan, namun ini duka yang mencekik leher. Duka yang berhimpit kematian. Aku melihat tetes-tetes darah yang mulai mengering itu telah mengalir, dari luka ke dalam jiwa. Dan langit mulai gelap, padahal masih jam 3 sore. Suara angin berkesiur di antara batu, sepatu, julai baju dan rumbai-rumbai Wanita Yerusalem. Tiba-tiba aku melihat kaki yang dipaku itu bergerak. Aku mendongak ke arah wajah-Nya yang penuh darah, keringat yang bercampur debu melekat.
Aku mendengar Ia berkata-kata, “Ibu, Inilah anakmu.”
“Yohanes, inilah ibumu.”
Beberapa tahun lamanya aku tinggal di Yerusalem sejak Yesus bangkit. Dan seperti yang Yesus sampaikan kepadaku, Bunda Maria tinggal bersama kami. Dan begitulah, ia menjadi Bunda kami semua. Tidak hanya menjadi Bundaku saja, tetapi juga menjadi Bunda bagi seluruh murid-muridNya. Aku mengasihi dan menghormatinya sebagai ibuku sendiri. Tapi mungkin hanya aku, Yohanes, yang paling tahu apa yang dialami Bunda Maria sesudah Yesus bangkit dan naik ke surga.
Sesudah Pentakosta, aku bersama Petrus dan murid-murid lainnya pergi ke tempat-tempat ibadah, lalu mengajar di tempat-tempat umum dan mewartakan kabar kebangkitan Kristus Yesus ke seluruh penjuru negeri. Oleh kuasa Roh Kudus yang dicurahkan Yesus kepada kami, kami melakukan banyak mukjizat. Kami mengusir setan-setan, menyembuhkan orang sakit, dan banyak lagi. Kami, karena kuasa Roh Kudus pula mampu berbicara dalam bahasa-bahasa lain dan berbicara dengan mereka tentang firman Allah yang hidup. Kami membaptis ribuan orang, memanggil pulang orang-orang yang tersesat.
Suatu hari aku dan Petrus pulang dari mengajar, tak kujumpai Bunda Maria di rumah. Pada hari-hari sebelumnya, Bunda Maria selalu ikut dengan kami kemana pun kami pergi mengajar. Tapi tidak hari itu. Aku mencarinya kemana-mana. Bagaimana pun Bunda Maria adalah tanggungjawabku, aku khawatir telah terjadi sesuatu kepadanya. Dan aku benar-benar merasa ketakutan, karena di luar sudah terdengar Kaisar Roma semakin mendesak kami, menganiaya orang-orang Kristen.
Apa yang akan terjadi jika mereka sampai melihat Bunda Maria? Oh Tuhan, ampunilah aku! Dimana aku harus mencarinya?! Aku menemui murid-murid yang lain, dan tak satu pun dari mereka yang tahu.
VO BERBAUR DENGAN MUSIK: SUARA KESIBUKAN DI KERAMAIAN JALAN, LARI KAKI-KAKI KUDA, DAN JUGA TERIAKAN PARA PRAJURIT. YOHANES BERLARIAN KESANA-KEMARI, MEMANGGIL-MANGGIL BUNDA MARIA, SAMBIL TETAP WASPADA TERHADAP ORANG-ORANG DI SEKITAR. KADANG IA BERSEMBUNYI UNTUK MEMBIARKAN BEBERAPA PRAJURIT ROMA MELINTAS. IA JUGA MELIHAT BEBERAPA ORANG LAIN DIBAWA OLEH PRAJURIT KARENA TELAH MENGAKU SEBAGAI ORANG KRISTEN.
Semakin aku mencari, semakin aku merasa khawatir akan keselamatan Bunda Maria. Aku menuju arah kota Yerusalem. Sampai di sebuah jalan setapak yang sedikit menanjak, aku melihat seseorang, melihat kerudungnya nampaknya ia seorang wanita, tengah berjalan sambil mengamati tiap inci jalanan. Ah, aku tahu, itu jalan yang dilalui Yesus memanggul salib menuju Golgota.
Bunda! Bunda!! Itu pasti Bunda Maria. Nah, aku ingat, di tempat itulah Yesus terjatuh. Bunda sepertinya berhenti di sana. “Bunda, tunggu di situ!”
“Ibu! Ibu!! Apa yang sedang Ibu lakukan di sini? Tempat ini sangat berbahaya untuk keselamatan Ibu. Ayo, Bu, kita kembali ke rumah.”
“Yohanes, anakku.”
“Apa yang sedang Ibu lakukan di sini?”
“Selama ini aku selalu meluangkan waktu ke sini. Berdoa dan mengenangkan jejak-jejak penderataan Anakku. Hatiku selalu merasa sedih dan duka, dan dengan begini aku merasa dekat denganNya. Aku masih ingat betapa wajahNya yang penuh cucuran darah dan keringat, menatapku. Wajah manis yang kubelai saat masih kanak-kanak. Dan tubuh mungil yang dulu kutimang-timang, terantuk batu-batu oleh para serdadu yang bahkan mereka tak tahu-menahu masalahnya.”
“Ibu. Saat ini keadaan belum begitu aman. Kita tengah dicari oleh orang-orang Roma untuk dimusnahkan. Ibu, ayo kita pulang. Ibu juga terlihat sudah sangat kecapekan.”
“Tidak ada satu pun tempat yang kutakuti. Tidak ada satu pun hal yang membahayakan. Biarlah aku tetap di sini, sebab di jejakNya aku merasa lebih dekat dengan anakku.”
“Ibu, aku harus menjagamu. Kalau begitu, biarlah aku di sini, menjagamu.”
Aku tetap melihat wajah Bunda adalah wajah yang kulihat ketika terduduk di bawah salib waktu itu. Wajah yang teduh, namun menyimpan duka. Wajah yang lembut, namun menyimpan misteri. Aku tengah membujuk Bunda untuk mau kembali ke rumah sampai Petrus, Batu Karang itu tiba-tiba datang dan bersuara berat dan setengah berbisik, berbicara di depan kami.
“Yohanes, untuk sementara menyingkirlah ke Efesus. Para serdadu Roma sudah semakin brutal mencari kita. Sudah banyak orang-orang kita dianiaya, dibakar dan dihabisi oleh mereka. Aku tidak ingin hal itu menimpa Ibu dan kamu, Yohanes. Segera bersiaplah, dan mengungsilah ke Efesus, mengabarkan Injil di sana. Sampai masa penganiayaan ini mereda, kau boleh kembali ke Yerusalem.
Aku melihat Petrus bersujud di depan Bunda, dan berkata, “Ibu, mohon ikutlah bersama Yohanes. Doakanlah kami untuk melewati semua kesulitan ini. Bunda akhirnya mengangguk dan menumpangkan tangannya ke atas kepala Petrus. Aku menatap tajam ke Batu Karang itu, untuk memastikan lagi kebenaran yang ia katakan.
“Tuhan memberkatimu, Petrus.” Dan aku mengajak Bunda menyingkir ke Efesus sejak saat itu.
MUSIK
Kurang lebih empat tahun lamanya Herodes Agripa menganiaya kami, dan sesudah cukup mereda, aku membawa bunda Maria kembali ke Yerusalem. Kami terus mewartakan Injil. Ke Efesus, ke Smirna, Pergamus, Tiatira, ke Sardis, Filadelfia dan Laodikia. Demikian juga para murid yang lain, pergi ke seluruh penjuru dunia: Antiokia, Syiria, India. Suriah, Asyur, Mesopotamia, Fenesia, Asia Kecil, Yordania dan Mesir. Dan kini memasuki Eropa Selatan, juga di Afrika Utara, Asia Selatan dan Eropa Timur.
Orang-orang yang bertobat semakin banyak. Dimana-mana nama Tuhan dipuji dan dimuliakan, meskipun dengan susah-payah, harus bersembunyi-sembunyi. Namun semakin ditekan, semakin erat kami semua bergandengan tangan menjadi satu tubuh di dalam Kristus. Jujur saja seringkali jiwaku gentar. Mendengar satu persatu murid ditangkap dan disiksa. Stefanus yang kokoh imannya, harus mati dirajam.
Dan hari itu, hari terakhir kami bersama-sama dengan Bunda. Sebelum kematiannya, aku berkata kepada Bunda, “Sepuluh Rasul telah datang dari berbagai penjuru, Ibu. Bertahanlah dan bergembiralah karena kami semua ada di sini untuk Ibu.”
“Petrus. Yohanes. Dan kalian semua, tidak perlu membuat diri kalian bersedih. Keadaanku baik, dan aku berbahagia.”
Tak dapat kupungkiri perasaaan yang membalut jiwa kami saat itu. Seperti ada kesunyian yang sangat dalam, namun sekaligus ada rasa bahagia yang tak dapat terkatakan. Bunda kembali bicara, “aku telah melihat bala tentara malaikat naik-turun mempersiapkan segala sesuatunya. Waktuku sudah selesai. Tetapi percayalah, hatiku akan selalu bersama-sama kalian, sebagai ibu yang menjaga anak-anaknya di setiap perjalanan dan perutusan. Teguhkan iman kalian.”
Tiba-tiba Batu Karang itu berlari menghambur ke arah Bunda yang berbaring di pembaringannya. “Ibu, jangan pergi meninggalkan kami di dunia ini sendirian. Bertahanlah. Thomas dan Yudas pun masih belum bersama kita, mungkin masih dalam perjalanan menuju kemari.”
Dia wafat.
MUSIK SEDIH YANG AGUNG.
Batu Karang itu menangis keras seperti seorang anak kecil ditinggalkan ibunya. Yang lain, ya, aku lihat satu persatu wajah para rasul lainnya, juga terlarut ikut menangisi kepergian Bunda.
Terpujilah engkau di antara wanita. Terpujilah buah tubuhmu Yesus. Ibu, doakanlah kami. Ibu, doakanlah kami. Doakanlah kami, sekarang dan waktu kami mati.
Hari itu juga kami melaksanakan upacara pemakaman. Dan di hari ke-3, Thomas dan Yudas tiba di Yerusalem. Bukan Thomas jika ia percaya hanya dari cerita. Semua rasul sudah memberitahukan dengan sebenar-benarnya bahwa Bunda telah tiada, dan hari itu telah lewat hari ke-3 meninggalnya.
“Antarkan aku ke makam Bunda. Aku ingin melihat Bunda untuk terakhir kalinya,” kata Thomas. Yudas pun setuju. Kami semua, 12 murid pertama, datang ke makam Bunda sebagai anak-anak yang sebenarnya belum mau ditinggal ibunya.
Sesampai di makam Bunda, kami semua terkejut dengan pintu makam yang telah terbuka. Kami semua berlarian berebut masuk ke dalam. Makam telah kosong. Bunda tidak ada di sana. Lalu sebuah Cahaya yang terang benderang menyelimuti makam. Kami melihat ke atas, ke arah sumber Cahaya: nampak Tuhan kami Yesus Kristus berdiri dengan wajah tersenyum. Rambutnya masih panjang. Tak ada yang berubah. Tak lama kemudian muncul di samping-Nya, Bunda Maria. Mereka tersenyum kepada kami semua, sebelum kemudian menghilang dan Cahaya itu lenyap.
MUSIK
Aku, Yohanes, sekutu dan saudaramu dalam kesusahan, dalam Kerajaan, dan dalam ketekunan menantikan Yesus. Petrus, aku dan rasul-rasul lainnya kembali mengabarkan injil ke seluruh belahan dunia. Namun beberapa waktu sesudah itu, para prajurit Romawi menangkapku, atas khotbah dan pengajaranku akan Kristus. Kepala Prajurit menjatuhkan hukuman dengan memasukkan aku ke dalam minyak yang mendidih. Hingga beberapa saat lamanya, dan mereka tak mendapatkanku mati. Bahkan terluka pun tidak.
Seorang Kepala Prajurit naik pitam, “Prajurit! Bawa dia jauh dari sini! Buang dia di Pulau Patmos!!”
MUSIK
PANGGUNG GELAP ITU BERANGSUR TERANG DAN NAMPAK DI SANA. YOHANES TENGAH MENULIS.
YOHANES: Awalnya aku mengira menjadi murid terkasih adalah sesuatu yang indah, yang membanggakan dan selalu mendapat perlakuan istimewa. Nyatanya, aku justru merasa semakin dekat dengan Yesus. Setiap pukulan, setiap siksaan, setiap hujatan, setiap makian karena kesaksian yang diberikan oleh Yesus, semakin aku percaya Yesus sendiri: Tuhan dan penyelamatku!
YOHANES: Aku, Yohanes, saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus, berada di pulau yang bernama Patmos oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus. (TB Why 1:9).
MUSIK OUTRO. PANGGUNG BERANGSUNG GELAP.
-TAMAT-
Alur Waktu & Lokasi “Murid Terkasih” Yerusalem. Maria hidup bersama Yesus hingga terakhir saat penyalibanNya di Golgota. Ibunya Maria Bernama Anna, kakak Salome yang merupakan ibu dari Yohanes dan Yakobus. Yesus menyerahkan Maria kepada Yohanes, murid terkasihNya. Bersama Yohanes tinggal di Yerusalem hingga Pentakosta. Efesus. Maria dan Yohanes di Efesus beberapa tahun lamanya sekaligus menghindari kekejaman Herodes Agripa menganiaya orang Kristen. Ini terjadi pada tahun 41-44 Masehi. Yerusalem. Maria dan Yohanes kembali ke Yerusalem setelah penganiayaan oleh Kekaisaran Roma terhadap orang Kristen. Di Yerusalem, Maria meninggal dan 3 hari berikutnya diangkat ke surga pada 15 Agustus 48, atau 15 tahun setelah Yesus bangkit. Thomas mendapati makam Maria yang telah kosong. Beberapa saat kemudian oleh Kaisar Nero, Yohanes sempat dianiaya dan dimasukkan ke dalam tungku minyak yang menyala. Namun Yohanes tidak mengalami sakit atau mati. Pulau Patmos. Lalu ia dibuang ke Pulau Patmos dimana di sana Yohanes menulis Kitab Wahyu. Sesudah itu, Yohanes meninggal di Efesus karena usia tua.
Kudus, 2024