Confessio

Cerpen: Asa Jatmiko

Sudah beberapa hari terakhir demo mahasiswa digelar dimana-mana terkait tertangkapnya para koruptor. Mereka menuntut diberlakukannya hukuman mati untuk para koruptor. Bernard Dwijo pun beberapa kali melihat saat dia perjalanan sepulang dari kantornya. “Terlampau lembek bangsa ini untuk menghilangkan kebiasaan korup.” 

Dwijo melihat beranda medsos, kemudian melihat unggahan orang-orang dengan salib abu di keningnya. Tak berapa lama kemudian Dea dari arah kamar menuju kursi di depan Dwijo.

“Koq belum diminum kopinya?” tanya Dea seusai menutup kembali pintu kamar.

“Sudah,” jawab Dwijo.

“Terlalu manis, ya?”

“Iya,” jawab Dwijo sekenanya. Sadar akan membuat Dea menimpali lagi, buru-buru ia melanjutkan, “tapi ndak apa-apa, enak koq.”

Dea duduk di sisi ranjang di depan Dwijo yang sedang scroll medsos. “Sepertinya aku memang selalu tidak pas buatmu. Seberapapun keras upayaku.”

“Soal apa ini?” Benar saja dugaan Dwijo. Seperti yang terjadi pada setiap pembicaraan mereka selama ini, berujung tegang lalu ribut. Padahal bagi Dwijo, saat seperti ini adalah saat melepas kepenatan. Tiduran berbantal paha Dea, melupakan urusan kantor. “Ah, kamu mulai lagi.”

“Dan setiap kali aku memulai, kamu selalu menghindar, Mas. Kapan kita bicara serius?”

“Kamu ngomong apa sih?”

“Ya ngomong tentang kita lah! Ngomong tentang apa lagi?”

“Dea, please… kita bicarakan lagi besok, ya. Sudah jam segini, aku sudah harus bersiap untuk pulang.” Dwijo memasukkan handphone ke sakunya, beranjak berdiri.

“Sebentar saja, please… Aku serius,” desak Dea. “Aku ingin kita menyudahi hubungan terlarang ini. Hidup bahagialah bersama istrimu.”

“Dea, kamu ngomong apa? Lalu bagaimana dengan Dia Foundation? Semua urusan yayasan sudah aku percayakan sama kamu.”

“Soal kerja, aku profesional. Aku kerjakan seperti biasa. Kamu tidak usah khawatir. Aku cuma ingin kita memperjelas status hubungan kita, itu saja!”

Dwijo menghela nafas. Soal ini lagi. “Dea, apa sebenarnya yang kamu mau? Kamu ingin digaji berapa? Jabatan apa? Katakan.” Dwijo merapikan bajunya. “Kita begini juga awalnya kamu mau, kan?”

Dea mendekatkan wajahnya ke wajah Dwijo yang lalu menghindar. “Mas Dwijo, Bernard Dwijo, kali ini aku serius. Aku ingin kamu menghargai perasaan seorang wanita.”

“Selama ini kamu merasa aku tidak menghargaimu?” sahut Dwijo.

“Jangan potong omonganku. Diam dulu! Kamu lupa kalau aku yang paling tahu kartu rahasiamu selama ini? Kamu tidak hanya tidak menghargai perasaan wanita, tetapi kamu juga berhati busuk tega mengambil keuntungan untukmu sendiri dengan cara menipu rakyat menilep duit mereka. Kamu seharusnya tidak di sini, tapi di bui sana, bersama koruptor-koruptor itu.”

Dea berhenti sebentar, kerongkongannya terasa terbakar. “Dia Foundation…apa itu Dia Foundation…? Yayasan untuk sang dermawan mencuci uang haram?” Suaranya bergetar. Bagaimanapun, yayasan itu juga karya hidupnya, dan hidup dari sana.

Tiba-tiba handpone Dwijo berdering. Istrinya. “Sebentar.”

“Ya Mah?”

“Pah, kasih tahu si Dea, aku nelpon berkali-kali tidak diangkatnya. Dimana orang itu?”

“Kasih tahu apa?”

“Orangnya lagi di situ sama kamu, Pah?

“Ndak, Mah. Aku lagi meeting sama rekan kantor mbahas stok beras kita. 

“Cobalah nanti kau telpon dia, suruh dia siapkan 50 juta, untuk nanti aku serahterimakan ke beberapa sekolah dana beasiswa dari yayasan kita. Minggu kemarin kan sudah aku kasih tahu, tumben dia lupa. Lama-lama nggak bener juga itu anak.”

Dwijo mengangguk. Padahal ia juga sadar tengah berbicara dengan telepon.

“Sama itu, Pah, beberapa juta lagi untuk aku kasihkan ke anak-anak di jalanan, ya.”

“Iya, Mah.”

Dwijo kembali memasukkan handphone ke saku celananya.

“Mas. Kamu sudah bertahun-tahun korupsi, dan kamu masih aman sejauh ini. Kamu sudah bertahun-tahun mengkhianati istri, dan kamu masih aman juga sejauh ini,” ucap Dea.

“Sudahi ini semua,” lanjut Dea. “Kamu masih suka ke gereja, kan?”

“Apa hubungannya, Dea?”

“Kamu perlu Pastor untuk mengaku dosa dan bertobat.”

Dwijo memaksakan diri untuk minum kopi yang disajikan Dea. Tetap pahit rasanya. 

***

Dinding gereja dingin. Tak bergeming. Semburat senja sudah nyaris berubah gelap seluruhnya. Deretan bangku di depan kamar pengakuan dosa, dimana di sana telah ada 5-6 orang yang telah duduk antri. Seseorang keluar dan seseorang yang lain masuk kamar pengakuan dosa. Dwijo dan istrinya nampak bergeser duduk ke kursi urutan dua dan tiga. 

“Kamu duluan saja yang masuk, Mah,” Dwijo setengah berbisik.

“Memangnya kenapa kalau kamu dulu. Urutannya kan kamu dulu.”

“Mamah dulu saja,” desak Dwijo. 

Berjalan seorang yang sudah cukup tua menuju deretan kursi antrian. Lalu ia duduk di urutan terakhir. Dwijo memperhatikan lelaki tua itu. Langkah jalannya yang sudah terseok, sedikit membungkuk, pakaiannya yang sederhana. 

“Maaf, nitip kursi ini jangan diduduki dulu, ya Bu,” pesan Dwijo kepada seorang ibu di urutan antrian berikutnya. “Biar buat bapak itu.” Dwijo menghampiri lelaki tua itu, lalu mengantarnya menuju tempat antrian terdepan. Dia lalu berjalan menuju bangku-bangku gereja di sisi lain yang sunyi dan kosong. Menunggu istrinya.

“Kamu sudah mengaku dosa, Pah?”

Dwijo tergeragap. Ehm.

“Ayo pulang, aku sudah ditunggu ibu-ibu arisan RT,” ajak istrinya.

***

Dwijo datang lagi ke gereja itu di hari lainnya, dengan tidak bersama siapapun. Hanya beberapa orang saja nampak antri, dan tak lama kemudian ia masuk ke kamar bih, kamar pengakuan dosa. 

Ia masuk kamar pengakuan dosa. Meski sebenarnya ia masih setengah hati untuk mengaku dosa dengan sesungguh-sungguhnya. Ia merasa tiba-tiba suhu tubuhnya terasa menghangat.

“Kamu bodoh. Kamu menjadi manusia paling bodoh sejak kamu berniat ke sini. Kamu sudah hidup nyaman, semua serba menyenangkan, nikmat dunia mana yang kamu dustakan? Dasar munafik!! Jadi dirimu seperti biasanya. Kamu tahu semua orang melakukannya. Dengar, semua orang melakukan apa yang kamu lakukan! Dan sekarang kamu mau menghindar? Mencoba berpaling dari aku? Ayo keluar dari ruangan ini. Akan kutunjukan siapa aku. Juga akan kutunjukan semua nikmat duniawi yang bisa kamu rasakan.” 

Di kamar yang dingin itu Dwijo merasa gerah, berkeringat. “Tidak ada dosa! Tidak ada dosa kalau kita nyemplung hidup di dalamnya! Dasar bodoh!! Ayo keluar dari sini. Tidak ada gunanya!”

Di antara suara-suara yang semakin keras di telingan Dwijo itu, terdengar samar suara Pastor Luke dari seberang bilik. “Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.”

Suara itu semakin keras, “semua orang korupsi, kamu bukan seorang diri. Itu hal yang wajar dan lumrah. Hei, jangan cengeng begitu! Uang yang kamu korupsi juga tidak fantastis nilainya. Baru 2 trilyun sudah keder…hehehe… Itu masih kecil. Kawan-kawanmu lebih banyak, puluhan, ratusan trilyun… dan mereka juga tidak menyesal masuk penjara, kan? Keluar dari penjara, mereka masih kaya. Kamu pun bisa seperti mereka!”

Pastor Luke, “silakan.”

“Saya hendak mengaku dosa, Pastor,” bibir Dwijo gemetar.

“Dasar goblok! Ayo tinggalkan tempat ini. Kamu akan menyesal nanti kalau kamu belum menikmati semuanya. Kamu jangan khawatir, aku jaminannya. Kamu boleh memiliki apapun, boleh membeli siapapun. Kamu raja bagi dirimu sendiri.”

Sesaat suara itu berhenti. Hening.

Seperti bohlam yang tiba-tiba nyala lalu pecah, tiba-tiba terdengar tawa sengak, “tapi kamu janji akan melakukannya lagi, kan? Aku tahu kamu pintar, meyakinkan setiap orang agar kamu dipandang sebagai orang baik, dermawan, berjiwa sosial, setia kawan…hehehe… Kamu pintar menutupi, kamu bermain dengan rapi. Dan itu yang aku suka dari kamu!”

“Pastor, saya telah melakukan pengoplosan beras premium dengan raskin selama bertahun-tahun. Saya juga telah berkolusi dengan para pejabat pemerintah, memberi uang pelicin untuk beberapa proyek dan praktek perdagangan yang melanggar hukum.” 

Pastor Luke nampak memejamkan mata dan mengangguk.

“Juga telah mengkhianati istri saya dengan mempunyai wanita idaman lain di yayasan Dia Foundation yang saya dirikan. Hubungan saya dengan Dea telah berlangsung beberapa tahun ini, dan saya ingin mengakhirinya. Saya bersalah dan saya telah berdosa. Ampunilah dosa-dosa saya.”

Pastor Luke tahu yayasan Dia Foundation, yayasan yang selama ini memiliki karya-karya sosial yang dibutuhkan masyarakat. Dan adiknya sendiri, Dea, juga menjadi salah satu karyawannya. Tetapi mendengar pengakuan Dwijo, pipi Pastor Luke merah padam seperti baru saja ditampar. Pastor Luke berusaha menekan perasaannya dengan sekuat tenaga agar tidak keluar dari tenggorokan.

“Aku ini hamba Tuhan,” desis Pastor Luke di dasar hatinya. Ia kemudian menatap Dwijo, memberikan penitensi, laku doa dan aksi pelayanan sosial untuk dilakukan Dwijo. Lalu ia memberikan absolusi.

***

Iblis itu mencobai Pastor Luke. Ia merasakan kemarahan yang luar biasa mendengar pengakuan Dwijo. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Menyimpan semua pengakuan di kamar bih, atau melemparkannya ke selokan pastoran dan melupakannya. 

“Aku sangat senang melihatmu, Luke. Hatimu bisa juga semanis itu. Kamu tahu, umatmu juga seperti Dwijo. Munafik. Manis, di depanmu. Kamu marah melihat kenyataan ini, bukan?”

Suara itu berdentam di dalam benak Luke, “mereka tidak hanya munafik, tapi mereka juga saling bertengkar memperebutkan sesuatu yang kalian sebut dosa. Untuk mengenyam dosa saja mereka bertengkar, padahal dosa sudah kujual murah, bahkan gratis…untuk siapa saja… Korupsi, wanita, hehehe… gratis… mari berpesta… mari berdansa!”

Memasuki masa Pra-Paskah, gereja itu tidak pernah sepi. Orang-orang hilir-mudik dan hiruk-pikuk dengan berbagai kegiatan: koor, latihan visualisasi penyaliban, persiapan tablo, gladi untuk misa. Dan di sudut pasturan yang sunyi, dimana Pastor Luke suka menyempatkan waktu di sana sembari memberi makan ikan kesayangannya, Pator Luke menerima kedatangan adiknya, Dea. 

“Kamu memutuskan untuk resign dari Dia Foundation? Ada masalah apa di sana?” tanya Pastor Luke.

“Tidak ada masalah, Mas,” jawab Dea. “Ehm, maksudku, ada sebenarnya. Hanya saja menurutku itu yang terbaik yang harus aku lakukan saat ini. Aku juga ingin memulai lagi hidup yang baru, hidup yang telah diselamatkan oleh Tuhan.

“Dea. Kamu adikku. Karena itu aku tahu, kamu adalah adik perempuanku yang tangguh dan kuat. Aku percaya padamu.”

“Doakan aku. Sebelum aku resign, aku akan laporkan berbagai kasus korupsi yang dilakukan Dwijo ke Kejaksaan atau KPK.”

Pastor Luke menatap Dea. 

“Dengan begitu, aku masih bisa berbuat, meskipun kecil, untuk rakyat dan bangsa ini, Mas.”

“Aku berdoa buatmu.”

***

Sehari menjelang Jum’at Agung, Pastor Luke pergi ke paroki lain, menemui seorang pastor senior yang sudah sepuh. Untuk mengaku dosa. Umat sering memanggilnya Pastor Sepuh.

Pastor Sepuh itu terlihat sudah berdiri di depan kamar pengakuan dosa. Seperti tengah menunggu seseorang, lalu ia melihat jam tangannya. Beberapa saat kemudian ia melihat Pastor Luke berjalan dari arah pasturan menuju kamar pengakuan dosa. Pastor Sepuh pun masuk, mendengarkan Pastor Luke dan mengampuninya.***

Kudus, prapaskah 2025

————

Cerpen ini telah dimuat di Suara Merdeka Edisi Minggu, 8 Juni 2025.