Esai: Asa Jatmiko
PANGGUNG yang semula gelap itu kemudian memunculkan gambaran seekor burung kondor berukuran besar di latar belakang dengan teriakan-teriakannya yang nyaring. Jose Karosta, diperankan oleh Heryana G. Benu, masuk lalu membaca sajak “Burung Kondor” dengan puluhan kertas sajak di tangan kanannya.
“Angin gunung turun merembes ke hutan
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Jose Karosta semakin lantang mendaraskan sajaknya; menyoal ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakatnya. Jejak sedih para petani mengolah tanah gembur yang tak pernah membuat mereka makmur, sementara di atas: para pengusaha, pejabat dan birokrat memiliki istana indah. Untuk akhirnya, beginilah sukma rakyat; menjadi burung-burung kondor yang marah dalam sepi, mencari hiburan dalam sepi dan menjerit dalam sepi.
”Berjuta-juta burung kondor mencakari batu-batu,
Mematuki batu-batu, mematuki udara,
Dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.”
“Mastodon dan Burung Kondor” karya WS Rendra yang ditulis pada 1973 ini ditampilkan oleh Kelompok Aktor Piktorial Bandung di Auditorium UMK Kudus (26/4) dalam versi pasca-narasi Irwan Jamal “Kesaksian Burung-burung Kondor” yang sekaligus bertindak sebagai sutradara pertunjukan. Pertunjukan dikemas dalam durasi 60 menit ini disajikan dalam 2 sesi, di sore dan sesi kedua di malam harinya.







Tentu tidak mudah bagi Irwan Jamal untuk meramu naskah pertunjukan yang berdurasi panjang ini menjadi hanya satu jam, dengan tanpa kehilangan rohnya. Ini merupakan pilihan yang sekaligus memiliki beresiko kehilangan keutuhan. Dan menikmati pertunjukannya di Kudus yang merupakan kota ke-4 dari rangkaian tour 5 kota Kelompok Aktor Piktorial mengusung naskah ini, paling tidak bagi saya, ingatan akan perjuangan nilai dan kritik sosial yang disuarakan Rendra kembali menggema.
“Saya ingin menghadirkan konsep panggung kosong dalam pertunjukan ini,” kata Irwan Jamal. Panggung adalah kanvas kosong yang mana para aktor harus mampu mengisinya, untuk menjadi satu lukisan utuh. Oleh karena itu kekuatan keaktoran menjadi hal utama. Aktor harus mampu menghidupkan karakter tokoh yang diperankannya, dan juga menghidupkan seluruh materi artistik yang membersamainya. Setting panggung, tata cahaya dan juga ilustrasi musik merupakan bagian-bagian tubuh aktor yang tidak dapat dipisahkan. Mereka ada, namun bukan yang terutama. Sebab kehadirannya harus turut memberi daya hidup keutuhan seorang aktor.
Oleh karena itu “Kesaksian Burung-burung Kondor” justru memanfaatkan kesederhanaan sebagai etalase utama. Etalase yang ramai dan memikat mata, alih-alih menajamkan nilai pemanggungan, dikhawatirkan malah memunculkan berbagai gangguan. Para aktor-lah yang harus mengisi dan menghidupkannya. Seperti yang kita ketahui, “Mastodon dan Burung Kondor” berisi dialog-dialog “bersayap”, panjang dan oleh karenanya tidak serta-merta dapat langsung dicerna. Aktor harus mengartikulasi setiap pemaknaan atas kata dan kalimat yang ia suarakan sehingga penonton menangkap utuh. Paling tidak, kehidupan di atas panggung mengajak setiap penonton mampu menaiki “gunung tinggi” untuk memasuki hening, refleksi dan syukur-syukur bisa terpantik rohnya.



Di sinilah beban berat para aktor. Saya melihat para penonton masih duduk terdiam melihat ke panggung sesaat seusai pertunjukan. Seolah belum puas, belum mendapatkan sesuatu untuk dibagikan, menantikan adegan spektakuler dan pertunjukan sudah selesai. Saya pun demikian. Namun senyatanya, roh itu telah menyelinap masuk ke para penonton dalam setiap kata, setiap diksi, setiap metafora yang disampaikan oleh para aktor yang dibangun semenjak awal pertunjukan. Perjuangan nilai dan kritisme ditawarkan kembali dalam semangat juang Rendra itu sendiri, yang mengejawantah sebagai Jose Karosta. Tiba-tiba Rendra hadir hidup dengan pemikiran-pemikirannya akan nilai, pergerakan dan revolusi.
Pada gilirannya “Kesaksian Burung-burung Kondor” ingin mengembalikan kesadaran aktor pada “marwah” dramaturgi. Kelompok Aktor Piktorial Bandung telah tampil dengan perangkat dramaturgi yang ketat, namun tidak kedodoran. Beberapa aktor yang menonjol, seperti: Heryana G. Benu dan Fellycha Yuliwanda Aletika, dan beberapa aktor lainnya menunjukan hal itu dengan baik. Kekuatan mereka menghidupkan diksi, pola akting dan komposisi yang diperhitungkan secara matang, menjadikan adegan-adegan berlangsung bersih dan rapi. Sekali lagi, pertarungan idealisme, pertikaian gagasan dan juga termasuk kenakalan-kenakalannya berlangsung di paparan dialog-dialog para tokoh. Maka panggung yang menohok dan dramatis sesungguhnya tengah berlangsung di dalam benak kita, para penonton.
Ingatan saya langsung pada Rendra, saat penonton di luar gedung bergemuruh meminta masuk melihat pembacaan “Potret Pembangunan dalam Puisi” di Sporthall Kridhosono, Yogyakarta, puluhan tahun yang lalu. Ia meminta panitia untuk membiarkan mereka masuk, atau ia yang keluar menemui mereka dan membaca puisi di depan mereka. Masyarakat butuh Rendra membacakan puisi-puisinya, butuh drama-dramanya yang memperjuangkan mereka. Kita tidak hanya butuh roti, tetapi juga butuh puisi, drama, dan perjuangan atas nilai yang membuat hidup lebih punya makna. Di sana perasaan ketidakadilan dan potret kedzaliman penguasa dapat dirasakan dan menjadi pijakan revolusi sunyi yang alamiah yang berakar pada budi. Masyarakat membutuhkannya. Bagaimana hari ini?***



—–

Esai ini telah dimuat di Suara Merdeka, edisi Minggu, 4 Mei 2025.