Naskah Lakon: Joni Hendri
PARA PELAKU:
– MAK (USIA 60 TAHUN, PEREMPUAN)
– ATAN (30 TAHUN, LAKI-LAKI)
– TIJAH (27 TAHUN, PEREMPUAN)
– DATUK SUKU (USIA 50 TAHUN, LAKI-LAKI)
– PENGIKUT 1 (35 TAHUN, LAKI-LAKI)
– PENGIKUT 2 (37 TAHUN, LAKI-LAKI)
Sinopsis:
Seorang janda mempunyai 2 orang anak yang terpinggirkan dari istana. Disebabkan kekuasaan dan dianggap ketidakjelasan status nasab mereka dari keturunan Sultan. Sehingga mereka tidak diizinkan untuk menduduki istana peraduan tersebut. Padahal mereka mempunyai bukti yang kuat, mempunyai surat yang jelas sebagai ahli waris yang sah. Akan tetapi mereka tetap kalah dengan kekuasaan. Akhirnya mereka hidup di pinggiran sungai Jantan. Malang tak berbau, setelah sekian lama mereka menjadi orang pinggiran. Mereka pun didatangi dari utusan kekuasaan, utusan itu menginginkan tanah warisan mereka yang mereka tempati di pinggiran tersebut. Mereka harus melawan kepada utusan tersebut. Walau pun hal itu tidak mungkin bisa.
Seorang janda itu pun, tega mengikat anak perempuannya setelah terpinggirkan dari istana. Janda itu merasa dengan mengikat anak perempuannya, ia bisa nyaman dalam menjalani kehidupan tanpa ada rasa bimbang terhadap anak perempuanya. Awalnya anak perempuan tidak gila, setelah diikat berubah menjadi gila. Disebabkan stres diperlakukan seperti itu. Janda itu tidak bisa dinasehati siapapun. Ia mempunyai tatacara sendiri dalam mendidik anak. Janda itu merupakan sosok yang sangat kejam dalam melakukan keputusan terhadap anaknya.
KEJADIAN INI BERMULA SAAT MALAM HARI SEKITAR PUKUL 20:00 WIB DI SEBUAH RUMAH YANG AGAK JAUH DARI PUSAT KOTA SIAK. SEBUAH RUMAH PINGGIRAN SUNGAI YANG TERLIHAT SEDIKIT MENUA. RUANG DAPUR, DAN RUANG TEMPAT PENUMPUKAN PERKAKASNYA TERLIHAT DI ATAS PANGGUNG. BEBERAPA PERKAKAS YANG TERLIHAT JELAS DARI POSISI PENONTON ADALAH JARING, JALA, CANGKUL, BAKUL DAN TOPI TANI. TERLIHAT JUGA DI KURSI MALAS TERGANTUNG LAMPU PELITA YANG SUDAH DIPASANG SEJAK AWAL PERTUNJUKAN.
PEMILIK RUMAH INI ADALAH SEORANG IBU RUMAH TANGGA YANG MEMPUNYAI ANAK PEREMPUAN DAN LELAKI. IA HIDUP MENJANDA SETELAH DITINGGAL PERGI OLEH SEORANG LELAKI YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB. ANAK PEREMPUANNYA MENGALAMI GANGGUAN JIWA SEJAK BERUMUR 23 TAHUN. SEDANGKAN ANAK LELAKI PINCANG BAGIAN KAKI KANANNYA. AKIBAT DIPUKUL AYAHNYA KARENA MENCURI UANG TETANGGA.
SAYUP-SAYUP SUARA MUSIK GAMBUS BERDENTING SEPERTI KELUAR DARI LORONG YANG PALING JAUH. BUNYI ITU SEPERTI SEDANG BERKEJARAN DENGAN ANGIN. SALING MENDAHULUI AGAR BISA MENGIRI DIALOG.
PELAN-PELAN LAMPU MENYOROT SATU TITIK KE TUBUH MAK. KETIKA DIALOG HENDAK DIMULAI BUNYI MUSIK HANYA TERDENGAR TIPIS-TIPIS.
MAK:
Saya adalah seorang perempuan yang terusir dari rumah sendiri. Berbagai kasasi telah dilakukan. (Berdiri di kanan panggung paling depan). Memang darah ini tidak mengalirkan darah seorang Sultan. Tapi 50 tahun kami serumah dengan Sultan, bersama-sama semasa hidupnya. (Berjalan menuju kursi lalu mematikan pelita yang hidup). Beginilah nasib saya. Seorang janda yang ditinggalkan oleh seorang suami yang tidak bertanggung jawab itu. Ini anakku sudah lama mengalami gangguan jiwa. (Melihat ke arah tengah panggung). Saya terasing dari rumah saya sendiri. Memang tidak banyak tercatat dalam sejarah tentang kehidupan saya bersama Sultan. Tapi saya tahu kehidupan Sultan. Sultan menikah dengan siapa saja saya tahu, tentang sejarah hidupnya saya juga tahu. Tapi mengapa mereka tidak mengaggapnya? Tidak menganggap saya ini keluarga yang mendapatkan waris. Apa kesalahan saya? Rasanya tidak pernah saya menantang kebijakan atau peraturan yang telah dibuat di negeri ini.
DI TENGAH PANGGUNG TERLIHAT SOSOK PEREMPUAN YANG LUSUH. RAMBUTNYA ACAK-ACAK DISOROT OLEH LAMPU. TANGANNYA TERIKAT MEMAKAI BAJU KEBAYA. PEREMPUAN TERSEBUT BERNAMA TIMAH YANG TERGANGGU JIWANYA.
TIMAH:
(Ketawa sejadi-jadinya). Kenapa saya tertawa? (Ingin melepas ikatan tangannya. Namun tidak bisa sebab terikat). Kenapa saya diikat, saya tidak gila. Semua orang menganggap saya gila. Termasuk Mak yang melahirkan saya, juga menyebut saya gila. Sebenarnya orang yang mengatakan saya gila itu adalah orang yang gila. Bukankah gila kepunyaan semua orang. Saya sehat Mak! Minta rokok Mak? Eh, bukan rokok. Minta ayam yang berkokok. Kenapa jadi latah begini. (Aneh dengan diri sendiri).
MAK:
Tidak bisakah engkau nak, satu hari saja tidak mengeluarkan kata aneh seperti ini? Sehatlah nak. Barang yang lepas jangan dikenang. Sesuatu yang bukan milik kita jangan diharapkan lagi. (Mengenang masa lampau). Dengarkan pembicaraan Mak nak, dulu Mak tinggal di istana. Di singgasana kediaman Istana Peraduan. Dihormati, dipuji-puji dan akhirnya terusir oleh kekuasaan. Hanya karena anak tiri. Tidak mendapatkan peran apa-apa. Bagaimana rasanya ketika kita diusir dari rumah kita sendiri (Menghadap penonton).
TIMAH:
Istana, apa itu istana? Pernah diam dalam tanah? (Ketawa). Oh kisah lama itu, saya selalu lupa tentang masa lalu hidup ini. (Mengenang, matanya tajam ke arah depan). Apalagi kisah-kisah kekalahan yang menggilakan kehidupan. (Mengacak-ngacak rambut). Ahhh kepala ini sakit! Terasa tertusuk paku.
MAK:
Kita akan kalah dari siapa saja yang berkuasa. (Meratap dengan kepiluan hidup, tidak menghiraukan perkataan anak perempuanya). Walaupun tempat itu milik kita. Kita telah mati-matian mempertahankannya. Tapi hakim menang dalam mencari dalil. Mereka yang membuat dalil, bagaimana kita bisa untuk melawanya. Tapi saya tak pernah melawan. Apalagi saya hanya seorang perempuan, memang tidak layak melakukan penentangan. (Berhenti sejenak). Alasan mereka diterima oleh banyak orang.
TIMAH:
Saya tidak gila. Lepaskanlah ikatan ini Mak.
MAK:
(Tetap tidak menghiraukan anaknya, ia terus meratap pandangan ke depan). Apakah nasib itu tidak bisa diubah? Apakah kekuasaan itu hantu bagi kehidupan? Siapa yang berkuasa akan bisa mendapatkan apapun yang bukan miliknya. Saya hanya menerima kecemasan masa depan. Mendapat kesengsaraan yang begitu panjang.
TIMAH:
Belum tentu juga kita ada! (Ketawa). Lepaskanlah, yang patut diikat itu orang-orang yang gila kuasa. Bukan seperti saya Mak, atau orang yang gila dengan masa lalunya. (Terdiam berpikir lalu berbicara kepada diri sendiri). Berarti saya pantas diikat karena gila dengan masa lalu? Jangan! Bukan!
MAK:
Diam! Sudahlah nak. (Mengarahakan pandangannya ke Timah). Berpikirlah lebih waras.
TIMAH:
Beras? Waras? Keras? (Ketawa).
MAK:
Alahai… Lama-lama saya pun terikut gila. (Duduk di kursi). Kita telah terasing dari kota. Kita telah menjadi orang pinggiran. Dulu dihormati, sekarang hanya jadi buih yang apabila ada gelombang akan hilang. Memang telah hilang. (Berhenti sejenak, kemudian teringat anak lelakinya). Jam segini Atan belum juga bangun dari tidurnya. Atan, Atan (memanggil-manggil anak lelakinya). Kasian Atan jadi cacat setelah dipukul oleh Ayahnya. Kakinya cacat! (Kesal). Salah mendidik anak. Tak mesti memberi pelajaran dengan memukul, bawaannya begitu kasar. Bagaimana bisa mendidik kalau diri sendiri tidak pernah dididik.
TIMAH:
Daki, laki. Patah-patah. Pasar-pasar. (Ketawa). Saya tidak mengerti dengan semua yang dikatakan itu Mak. Lepaskanlah tangan ini. Kaki ini. (Berusaha membuka ikatan).
MAK:
Sebenarnya, tidak sanggup Mak melihat engkau seperti ini. (Mendekati anak perempuanya). Tapi kalau dilepaskan engkau bisa mencelakai dirimu sendiri dan orang lain. Engkau akan mengikuti hawa nafsumu. Engkau anak yang bernasib malang, walaupun paras Melayu pada wajahmu sangat sejuk dilihat oleh mata. (Mengelus-elus wajah Timah). Tapi Mak bangga denganmu nak, sukses dalam menahan diri dari ikatan. Walaupun kadang-kadang meronta sebab diikat dengan tali yang tak bisa engkau buka, menggunakan tanganmu sendiri nak.
TIMAH:
Saya tak gila, Mak. Lepaskanlah. Biar saya mencari lelaki itu. Lalu memotong kepalanya. Kemudian mencari Ayah yang hilang itu. Agar bisa membunuhnya hahahha… (Tertawa).
MAK:
Ssssttt! (Mendekap Timah) Jangan berkata seperti itu. Bagaimana pun, itu ayah engkau juga. (Menghentikan lalu menarik napas). Beginilah nasib engkau nak. Seorang gadis yang ditinggalkan Ayah.
TIMAH:
Tidak. Bukan membunuh tapi mengajaknya bermain. Bermain kelereng. Bermain enggrang atau bermain tali mardeka. Sebagaimana masa kecil dulu bersama Ayah. Saya akan mengajaknya menyusuri sungai Jantan, dengan menggunakan kapal Kato yang sejak lama tersadai di darat. Tapi bagaimana caranya? (Terdiam).
MAK:
Apakah engkau masih memikir masa kecil?
TIMAH:
(Tidak menjawab. Ia hanya bersiul-siul menghadap ke penonton).
MAK:
Jangan bersiul nak, engkau perempuan.
TIMAH:
Cepat lepaskan tangan ini Mak.
MASUK ATAN DARI BELAKANG PANGGUNG.
ATAN:
Hari ini rasa badan tak memungkinkan untuk pergi berkebun atau ke sungai jantan itu Mak. (Berdiri di depan perkakas yang bergantungan).
MAK:
Jangan malas. Engkau laki-laki.
ATAN:
Bukan malas Mak. Tapi memang begitulah keadaan badan ini.
MAK:
Apakah masih ada Datuk Suku datang ke rumah kita?
ATAN:
Tidak ada Mak. (Teringat). Tapi kemarin sore mereka melihat rumah kita dari seberang jalan.
MAK:
Sudah lama mereka menginginkan tanah kita. Ingin membelinya. Namun tak akan pernah Mak menjualnya. Ini tanah pemberian Sultan. Satu-satunya yang bisa dipertahankan sebagai warisan.
ATAN:
Jual sajalah Mak. (Seperti merayu layaknya Mak dan anak). Biar bisa kita pindah dari pinggiran ini.
MAK:
Jangan, itu satu-satunya warisan kita yang tersisa. Tanah kita hanya tinggal sepetak. Kalau dijual mau makan apa kita? (Hening seketika, lalu diisi bunyi gambus). Seandainya kita tak terusir dari rumah warisan kita. Mungkin kita tidak terpinggirkan seperti ini. Untung saja kita tidak diarahkan seperti orang pedalaman yang harus dijaga ketat oleh pihak yang berwenang. Seperti penjara terbuka.
ATAN:
Jual sajalah, Mak. Sekuat-kuatnya kita mempertahankan tanah ini. Nanti ujung-ujungnya diambil secara paksa oleh mereka.
MAK:
Tidak semudah itu, Nak.
ATAN:
Mudahlah, Mak. Zaman sekarang kalau memiliki uang apa saja bisa dilakukan. Apalagi disertai dengan jabatan. (Mencoba meyakinkan Mak). Nah sekarang kita jual saja, kemudian kita ambil uangnya. Lalu pindah dari pinggiran ini.
MAK:
Sedap betul engkau becakap.
ATAN:
Sayang tanah, nanti ujung-ujungnya masuk dalam tanah juga.
MAK:
Bukan sayang tanah. Tapi sayang kepada yang memberi tanah.
ATAN:
Siapa yang memberi tanah?
MAK:
Sultan telah memberinya. Sudah berapa kali Mak memberi tahu, bahwa tanah ini tanah warisan.
ATAN:
(Mengeluarkan handphon sambil memainkan game). Ya, jual saja. Dari pada kita dikejar-kejar oleh Datuk Suku.
MAK:
Sampai kapan pun, selagi nyawa ini masih bersemayam di badan tak akan dijual. Mereka mengejar tanpa henti. Mengejar segala yang jadi keinginan hati. Tanpa ada rasa kasihan terhadap orang yang telah terasing. Mereka begitu rakus. Entah terbuat dari apa hatinya? Penyalahgunaan kekuasaan.
ATAN:
Sampai kapan kita menjadi orang yang terus dikejar-kejar Mak?
MAK:
Sampai mereka mengerti dengan kehidupan kita. (Tegas). Kita bukan pencuri yang harus lari. Kita pemilik sah nak.
ATAN:
(Atan hanya diam).
MAK:
Seharusnya mereka tidak memperlakukan kita seperti ini. Mereka tahu bahwa kita masih terjalin hubungan yang kuat dengan Sultan yaitu orang yang membangun negeri ini. Tapi mudah mereka melupakan itu. Lama-lama pasti orang mengaggap kita orang pinggiran. Padahal kita hanya terpinggirkan. Bukan Orang yang biasa-biasa saja. (Terdiam sejenak kemudian berbicara kembali, seperti mengingat jasa Sultan). Sultan mendapat gelar sebagai pahlawan nasional pada haulnya yang ke-119 pada tanggal 6 November 1998. Sangat membanggakan, saya masih ingat. Masih tersimpan dalam kepala ini.
ATAN:
Sudahlah Mak. Tak elok mengenang yang lampau. (Mencoba menenangkan Mak).
TIMAH:
Sudahlah jangan banyak becakap tetang warisan. Bukalah ikatan tali ini!
ATAN DAN MAK TAK MENGHIRAUKAN TIMAH.
TIMAH:
Engkau harus lepaskan saya Tan! Ikatan ini akan berganti ke tangan dan kaki engkau. Yang paling gila itu engkau Tan. Cepat lepaskan tangan ini. Kalau tidak engkau akan mati aku sumpah. (Resah).
MAK TERUS SAJA BERCERITA TENTANG SULTAN.
MAK:
Sultan sangat berkorban. Banyak orang hanya berkorban di bibir saja lewat pidato-pidatonya. Banyak sekali tokoh-tokoh mengajak umatnya untuk berkorban namun dia sendiri tidak berkorban. Tapi Sultan berkorban habis-habisan.
ATAN:
Memangnya Sultan berkorban seperti apa?
MAK:
Dikorbankannya kedudukan dan kemulian sebagai Sultan. Hampir harta benda dan kekayaannya tidak tersisa untuk dirinya sendiri. Sehingga ia hidup dalam kemiskinan. (Melelehkan airmata).
TIMAH:
Woi, lepaskan saya. Kalau saya keluarkan kata-kata kotor nanti dibilang pendurhaka.
ATAN:
(Hanya diam).
MAK:
Sultan tidak menuntut apa-apa dari kekuasaan. Hanya sekedar dapat hidup saja. Bantuan yang diberikan untuk hidupnya, hampir tak ada arti baginya. Bantuan yang diterima setiap bulan hanya sebesar Rp 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Sampai akhir hayatnya pada tahun 1968, jumlah itu pun tak pernah bertambah. (Menantap jauh dengan mata yang tajam, mata hitamnya berkaca-kaca terlihat basah oleh tangis). Sultan tak pernah mengeluh menerima dengan ikhlas. Senadainya kekuasaannya tidak diserahkan. Mungkin ia tidak miskin!
TIMAH:
Apakah orang di rumah ini tuli? Atau buta! Lepaskan!
MAK:
Patut diteladani oleh siapa pun. Sultan juga orang yang taat, bahkan dikeramatkan sehingga karismanya dapat membuat rakyat Siak ini patuh kepadanya.
TIMAH:
(Menjerit). Lepaskan!
MAK:
Tenang nak, dengarkan Mak bercerita.
TIMAH:
Untuk apa saya mendengarkan, sedangkan saya tersiksa Mak. Apakah Mak tak melihat bagaimana saya tersiksa.
MAK:
Hanya perasaan engkau saja yang tersiksa. Sebenarnya engkau baik-baik saja.
LAMPU PELAN-PELAN REDUP, YANG TERLIHAT HANYA BIAS DINDING RUMAH. BUNYI LOLONGAN ANJING DAN KOKOK AYAM TERDENGAR.
TIDAK LAMA KEMUDIAN LAMPU NETRAL KEMBALI. DIIRINGI BUNYI MESIN PABRIK.
PAGI HARI SEKALI. TERLIHAT BIAS CAHAYA LAMPU BENING MENYINARI PANGGUNG. MASUK TIGA SOSOK LELAKI KE DALAM PANGGUNG. ORANG –ORANG MENGATAKAN BAHWA DARI TIGA LELAKI YANG MASUK KE DALAM PANGGUNG ITU, YANG PALING PERTAMA MASUK PANGGUNG ADALAH DATUK SUKU DAN MEMANG MENGENAKAN BAJU ADAT. SUASANA RUMAH PEREMPUAN JANDA ITU HENING SEPI.
TERDENGAR SYUP-SAYUP SUARA MUSIK SEPERTI LAGU ZAPIN.
DATUK SUKU:
Belum bangun tidur orang di dalam rumah ini? (Berdiri di depan pintu masuk). Pantang orang Melayu masuk rumah sembarangan. (Lalu mereka pergi ke depan panggung sebelah kanan. Terlihat dari penonton mereka seperti berdiri di depan rumah panggung).
PENGIKUT 1:
Belum bangun atau sedang berpergian? (Sambil memainkan handphone). Atau mereka senagaja mendiamkan diri.
PENGIKUT 2:
Entahlah. Jangan-jangan sedang membuat taik mata.
PENGIKUT 1:
Ssssst. Jangan bergurau.
PENGIKUT 2:
Bukan bergurau, tapi memang kenyataannya.
PENGIKUT 1:
Ah, engkau ni!
PENGIKUT 2:
Duduk di depan sanalah. (Menujuk ke arah kiri panggung. Di kiri panggung terdapat kursi, seperti kursi taman yang dihiasi bunga-bunga. Disorot oleh lampu).
PENGIKUT 1 DAN PENGIKUT 2 BERJALAN MENUJU KIRI PANGGUNG LALU DUDUK DI ATAS KURSI.
HANYA BERSELANG BEBERAPA MENIT DISUSUL OLEH DATUK SUKU.
PENGIKUT 1:
Sampai kapan kita menunggu mereka di sini.
PENGIKUT 2:
Tunggu sajalah. Datuk saja tak mengeluh.
DATUK SUKU MENDEKATI.
DATUK SUKU:
Sebenarnya kasihan dengan keadaan mereka.
PENGIKUT 1:
Untuk apa kita kasihan Tuk.
PENGIKUT 2:
Kasihanlah, coba bayangkan seandainya kita yang mengalami seperti mereka. Terpinggirkan dari kehidupan yang layak. Bagaimana sakitnya, ketika tempat mengadu sudah tak ada.
DATUK SUKU:
Kasihan, sebeb mereka termasuk keluarga Sultan yang ke-12. Orang yang paling baik di Siak ini. Sultan sangat peduli kepada rakyatnya. Bahkan Sultan mau mengasuh anak yatim piatu yang berasal dari keluarga yang susah. Nah mereka ini (Menujuk ke arah rumah janda itu). Katanya salah satu dari anak angkat yang dibesarkan oleh Sultan.
PENGIKUT 1:
Kita bukan mengusir, tapi menempatkan ke tempat yang lain.
PENGIKUT 2:
Tapi mereka menganggap itu pengusiran.
PENGIKUT 1:
Tapikan mereka mendapat uang, bukan diusir begitu saja.
PENGIKUT 2:
Apakah uang yang diberikan cukup untuk menghidupkan mereka.
PENGIKUT 1:
Cukuplah, yang melata di bumi yang melayang di langit. Pasti semuanya sudah ada takaran rezekinya.
PENGIKUT 2:
Pandai engkau becakap.
MEREKA BERTIGA DUDUK DENGAN KOMPOSISI PERSEGI TIGA YANG MENARIK. LAYAR BERWARNA PUTIH TURUN MENUTUPI RUMAH PINGGIRAN. DIIRINGI MUSIK.
DATUK SUKU:
Sebenarnya mereka memiliki alasan yang kuat. Mempunyai bukti yang tak bisa digugat.
PENGIKUT 1:
Alasan yang kuat?
PENGIKUT 2:
Tapikan Sultan tidak memiliki anak. (Kebingungan). Mereka hanya anak angkat.
DATUK SUKU:
Iya, tapi mereka sudah mendapatkan surat hibah dari Sultan. Surat itu diperkuatkan oleh pengadilan Agama di Jakarta. Kalau tidak salah, dalam riwayat surat itu tertulis 1 November 1968. Cukup lama mereka menyimpannya.
PENGIKUT 1:
Saya kira, pemerintah tidak mengikuti nafsu. Tentu memiliki ada alasan yang kuat. (Berdiri dari kursi menghadap penonton). Undang-undang bisa diubah sesuai dengan zamannya dan penguasa.
BUNYI KENDERAAN MELITAS.
PENGIKUT 2:
Siapa yang berkuasa, dialah yang punya undang-undang. (Cuek).
PENGIKUT 1:
Tidak seperti itu. (Memotong pembicaraan). Jangan menilai dari satu sudut pandang. Tapi lihat apa yang bisa dirasakan ketika hadirnya undang-undang.
PENGIKUT 2:
Iya, lihat saja yang terjadi di negeri kita.
PENGIKUT 1:
Kita tidak sedang menilai kebijakan negeri kita. (Berjalan ke tengah panggung paling depan). Kita sedang membicarakan nasib janda dua orang anak itu. Nasib yang mengutuknya. Nasib memang tak bisa ditebak, kepada siapa ia akan berpihak. Baik kepada orang biasa maupun yang mempunyai jabatan. Itu pun apakah nasib yang baik, atau nasib yang buruk yang datang kepada seseorang. (Diam sejenak kemudian melanjutkan bicaranya). Malang tak berbau. Untung tak dapat diraih. (Menegaskan kepada Pengikut 2). Jangan tak nyambung dalam menguraikan permasalahan.
PENGIKUT 2:
Betul, aku paham apa yang sedang engkau bahas ini. Tapi apa yang aku katakan itu, masih nyambung dengan hal yang kita bicarakan ini. Tentang kehidupan dan kebijakan.
PENGIKUT 1:
Jangan selalu sensitif dalam menilai kebijakan. Tapi nilai apa yang akan dilakukan. Bacalah tentang Undang-Undang No 5 Tahun 1992 tentang cagar budaya. Ikuti aturan yang telah ditetapkan. Membuat aturan bukan serta merta saja. Melainkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dalam.
PENGIKUT 2:
Banyak hal lain yang harus dibaca. (Cuek).
PENGIKUT 1:
Nah, karena itulah selalu menilai yang salah. Tak tahu tapi sok tahu! Membaca saja tidak mau.
PENGIKUT 2:
(Merasa tersinggung, lalu berdiri ingin memukul).
DATUK SUKU:
Cukup! Mengapa pula berkelahi. (Setelah melerai kemudian memulai kembali cerita). Mereka itu dianggap orang yang melawan hukum. (Berhenti sejenak, menarik napas). Mereka itu dianggap melawan hukum. Padahal mereka berani menempati karena sudah mendapatkan hibah dari Sultan. (Terdiam sejenak menarik napas lagi). Tapi begitulah cara kekuasaan untuk mendapatkan sesuatu demi memajukan negeri ini. Apa pun yang lakukan untuk kebaikan bersama. Hanya saja sebagian orang tidak sampai ke sana daya berpikir mereka. Sehingga timbul penafsiran-penafsiran yang agak latah.
PENGIKUT 1:
Jadi bagaimana tujuan kita ini?
PENGIKUT 2:
Kita batalkan saja untuk membeli tanahnya?
DATUK SUKU:
(Berpikir lama, diiringi musik gazal Melayu). Jangan dibatal! (Musik berhenti). Kita melakukan ini atas perintah, dan sudah saya pertimbangkan sebaik mungkin.
PENGIKUT 1:
Jangan sampai tak jadi Datuk. (Menegaskan, lalu mengeluarkan sisir dari saku celananya).
DATUK SUKU:
Kalau kita batalkan membeli tanah pinggiran ini. Sangat disayangkan, sebab tanah mereka ini pas untuk tempat objek wisata.
PENGIKUT 2:
Tapi kasihan, Tuk. Janda itu mempunyi 3 orang anak. Seandainya tanah ini juga kita rampas. Malang betul nasib mereka. Mereka pindah ke pinggiran ini karena terusir dari istana. Kalau kita ambil juga tanah ini. Kemana mereka ingin menumpang diri?
PENGIKUT 1:
Bisa saja mereka ke pinggiran lain. Kita bukan merampas. Tapi kita beli dengan uang.
PENGIKUT 2:
Tidak semudah membalikkan telapak tangan.
PENGIKUT 1:
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi begitulah keadaan dan keuntungan. Dan yang paling inti untuk memajukan negeri ini.
PENGIKUT 2:
Bagaimana pula kaitan untuk memajukan negeri ini? Tak ada kaitannya. (Masih membela, layaknya seorang penguasa membela rakyat kecil).
PENGIKUT 1:
Itulah, pentingnya berpikir. Belajarlah berpikir. Seandainya kita jadikan objek wisata di sini. (Menujuk ke arah penonton). Tentu ramai orang berdatangan. Akan banyak efek yang akan terjadi. Ekonomi kampung ini pun akan bertambah. Bisa orang-orang kampung ini berjualan.
PENGIKUT 2:
Itu kan, belum pasti berhasil.
PENGIKUT 1:
Pasti berhasil. Sebab orang-orang pergi menuju istana pasti melewati tanah pinggiran sungai ini.
DATUK SUKU:
Berhasil atau tidak. Itu ketentuan yang harus dilakukan. Kita harus melakukan dengan upaya kerja keras. Pertama kita akan melawan rasa kasihan kita pada diri sendiri. Rasa kemanusiaan harus dipinggirkan. Kalau tidak begitu kita akan gagal.
PENGIKUT 2:
Kita manusia Datuk. Rasa kasihan harus dipelihara. Agar terasa manusianya. Tenggang rasa dan saling menghargai. (Menggeserkan kursi ke kanan). Kita orang Melayu, lahir dari perut Melayu, makan di tanah Melayu. Harus memiliki perasaan orang Melayu.
PENGIKUT 1:
(Menggeser kursi ke kanan).
DATUK SUKU:
(Diam).
DATUK SUKU, PENGIKUT 1 DAN PENGIKUT 2. BERDIRI DI ATAS KURSI LALU MENGHADAP PENONTON. LAMPU PELAN-PELAN REDUP. SUARA KENDERAAN TERDENGAR SIBUK SEKALI. DISAHUT DENGAN SUARA AZAN SANGAT JAUH. SEPERTI KELUAR DARI LORONG YANG JAUH.
LAYAR PUTIH TERANGKAT KE ATAS.
TERLIHAT CAHAYA BIAS MENYINARI TUBUH MAK. MELAMBANGKAN SUASANA MASIH SANGAT PAGI. BUNYI PABRIK SAWIT BERSAHUTAN DENGAN BUNYI AYAM DAN KICAUAN BURUNG.
MAK:
Atan… (Memanggil-manggil, namun Atan diam di kamarnya). Apakah Datuk Suku masih datang ke rumah kita? (Dengan suara yang keras dan cemas). Mereka itu, bermuka dua. Hatinya busuk. Kejam. (Marah). Engkau masih tidur juga Tan? (Tak ada jawaban). Jangan sampai kalah dengan ayam. Atan… (Memanggil-manggil). Malang apa lagi yang sedang dihadapi. Mengapa hidup ini begitu sempit. Apakah kita tidak bertuhan? (Mendekati kursi, melihat jauh keluar dari jendela yang terbuka). Sampai sekarang saya tidak bisa menjawab tentang anak perempuan ini. (Melihat ke arah anak perempuannya yang sedang tertidur). Kenapa Timah begitu kuat terganggu mentalnya. Apakah ia pernah diperkosa? Apakah ia memang jatuh cinta habis-habisan dengan seorang lelaki. Atau karena kurangnya kasih sayang seorang Ayah? Tapi tidak mungkin ia seperti ini. (Berbicara kepada diri sendiri). Beginikah cobaan hidup?
LAMPU TERANG KEMBALI. TERLIHAT BENTUK RUMAH PINGGIRAN TERSEBUT. TERLIHAT JUGA PEREMPUAN YANG TERIKAT TANGAN DAN KAKINYA SEDANG TIDUR NYENYAK.
TIBA-TIBA ATAN KELUAR DARI BELAKANG PANGGUNG LALU MELANGGAR KAKI SAUDARA PEREMPUANYA.
MAK:
Bisa juga membuka mata?
ATAN:
Waduh!
MAK:
Mata ke atas! Cobalah perhatikan ketika hendak berjalan. (Keluar panggung melewati pintu dapur).
PEREMPUAN ITU TERBANGUN MELIHAT KE ARAH ATAN.
TIMAH:
Apakah hari ini saya akan dilepaskan?
ATAN:
Memangnya pemikiran engkau sudah pulih?
TIMAH:
Saya tidak gila. Orang-orang saja yang menganggap saya gila. Mak itu perdurhaka, sanggup mengikat anak kandungnya sendiri.
ATAN:
Sssst. Engkau yang perdurhaka. (Mengehentikan).
TIMAH:
Ah… (Berusaha melepaskan ikatan pada tangan dan kakinya). Mengapa begitu tega orang tua itu, mengikat kaki dan tangan saya. (Menegaskan dengan suara lantang). Saya tidak gila!
ATAN:
Sssst. Sudah saya cakap jangan kuat-kuat. Seandainya terdengar oleh Mak. Alangkah tercabiknya hatinya. Matanya pasti mengalirkan air.
TIMAH:
Airrrrrrrr… (Ketawa) Apa itu air, lendir? (Ketawa).
ATAN:
(Berjalan menuju jendela dan duduk).
TIMAH:
Heee Atan, lepaskan ikatan ini. Lepaskan…
ATAN:
Saya tidak akan melepaskan, kalau engkau tidak berubah.
TIMAH:
Apa yang perlu diubah?
ATAN:
Kegilaan yang engkau simpan dalam kepala.
TIMAH:
Apa? Santan dan jala. (Marah). Oh sampan dan jala? (Ketawa). Kalau jala ada tergantung di dinding. Cangkul juga ada. Jala gunanya untuk menangkap ikan di sungai. Sedangkan cangkul bisa digunkan untuk menggemburkan tanah. Apakah ada orang gila yang bisa berkata sewaras itu?
ATAN:
Iya, itu saya tau. Tak perlu engkau jelaskan. Nah bagaimana saya bisa melepaskannya. Engkau selalu menganggap diri engaku paling benar. (Bicara berbisik kepada penoton). Engkau tak pernah sehat. Baik secara jiwa maupun pemikiran. Biacara selalu tidak nyambung.
TIMAH:
Saya kecewa karena telah ditinggalkan ayah. Saya gila karena lelaki itu pergi tanpa menitip pesan. Saya seperti ini karena terasing dari istana. Saya diikat karena apa? Haa… (Seperti mengancam) Tak pernah saya gila!
ATAN:
Perempuan lebih baik diikat di rumah.
TIMAH:
(Menatap tajam ke arah Atan).
ATAN:
Tajam matanya, tapi memang begitu. Perempuan lebih baik di rumah. Banyak menghabiskan waktu di rumah.
TIMAH:
(Berteriak). Tapi kenapa harus diikat! Saya butuh kebebasan.
ATAN:
Karena engkau gila. (Ketawa).
TIMAH:
(Marah, mukanya terlihat merah). Engkau yang gila. Karena engkau ingin menjual harta. Mencuri milik orang. Berarti engkau yang layak diikat. Saya akan berteriak!
ATAN:
Silakan berteriak, biar keluar hantu dalam tubuh engkau. Biar keluar segala kebencian dan dendam.
TIMAH:
(Semakin marah, menggoyang-goyangkan tubuhnya).
ATAN:
Sila, teriak sekeras-kerasnya. Itu juga sebagai obat bagi manusia. Orang seperti engkau harus rajin berteriak. Agar jiwanya lepas dari ikatan.
TIMAH:
Saya baru sadar, sebenarnya engkau yang sengaja mengikat aku. Lalu mengatakan saya gila. Agar terlihat adil, tubuh engkau yang cacat itu tidak sebanding dengan ikatan yang mangatakan saya gila. Lepaskan cepat!
MASUK MAK KE DALAM PANGGUNG.
MAK:
Atan! Tak ada pekerjaan yang lain yang bisa engkau lakukan.
ATAN:
(Hanya diam).
MAK:
Menyakitkan hati saudara sendiri, sama juga menyakiti diri sendiri.
ATAN:
Saya tak menyakitinya.
MAK:
Satu hari saja engkau tidak menjawab perkataan Mak, tidak bisakah?
ATAN:
(Terdiam).
TIMAH:
Lepaskan saya, apa salah diri saya. Sehingga kalian membuat saya begini?
MAK:
(Diam, melelehkan airmata).
TIMAH:
Saya tidak gila. Lepaskan ikatan ini.
MAK:
Apakah engkau mau makan nak? Sudah 2 engkau tidak makan. Badan engaku sudah kurus nak. Makan ya? (Pertanyaan kepada Timah).
ATAN:
Sudahlah Mak. Susah kita bicara kepada dia.
TIMAH:
Sudah saya katakan lepaskan tangan ini. Lepaskan ikatan ini. Saya tidak gila. Siapa yang melihat saya, itulah yang gila. Tapi kalian selalu tidak percaya. Kalian tidak tahu bagaiaman kesepian, kedinginan, kelaparan menjadi teman dalam diri ini. Akan tetapi orang-orang mudah saja menganggap saya gila. Termasuk orang yang ada di rumah ini.
ATAN:
Diam! (Menghentikan Timah) ini Mak. Bukan orang lain yang bisa engkau kasarkan. Bukan orang lain yang bisa engkau bicara sesuka hati. Pelankan suaranya.
TIMAH:
Saya tidak mempunyai Mak yang setega ini.
MAK:
(Menangis).
ATAN:
Engkau telah menyakiti hati Mak.
MAK:
Tidak sakit. Hanya sedih dengan kehidupan ini. Lepaskan saja ikatan Timah. Biarkan dia pergi dengan kebebasan.
ATAN:
Tidak, dia akan menganggu orang.
MAK:
Tidak, dia anak yang baik. (Meratap jauh ke depan). Saya masih ingat ketika Tengku Agung mengajarkan adab, membaca alquran dan semua berkaitan dengan agama. (Mengenang masa lalu). Saya salah, gagal dalam mengasuh anak. (Menyesal). Saya bukan seorang Mak yang baik. Tidak seperti Tengku Agung yang pandai mendidik.
ATAN:
Tidak ada yang salah Mak. (Coba menenangkan).
MAK:
Mak salah nak. Tidak bisa menerapkan kehidupan yang baik.
TIMAH:
Cepat lepaskan!
TIBA-TIBA MASUK DATUK SUKU, PENGIKUT 1 DAN PENGIKUT 2. DIIRINGI MUSIK CEOS. DISERTAI BUNYI KLAKSON MOBIL YANG SALING BERSAHUTAN.
DATUK SUKU:
(Berdiri di depan pintu). Hari ini adalah hari yang tepat untuk berunding.
MAK:
Tidak. Silakan keluar dari rumah ini. Kalian yang pernah mengsuir kami! Tak salah kami mengusir kalian. Ini rumah kami!
ATAN:
(Mendekati Mak).
TIMAH:
Siapa? Siapa engkau.
DATUK SUKU:
Sungguh tak ada perasaan. Sanggup mengikat anaknya seperti ini.
ATAN:
Itu urusan kami. Silakan keluar jangan jejaki sepatu engkau ke dalam rumah ini.
MAK: Selangkah masuk ke dalam rumah ini. Maka keruh yang akan terjadi. (Badan Mak gemetar mukanya merah. Matanya tajam).
PENGIKUT 1:
Satu pincang, dan dua perempuan. (Seperti mengancam). Berpikirlah.
PENGIKUT 2:
Kasihan, anak laki-laki yang baik mendapat pukulan keras dari seorang Ayah yang biadab.
ATAN:
Jangan urus tentang masa lalu aku.
PENGIKUT 2:
Sekedar mengingatkan saja. Biar tahu langit itu tinggi.
ATAN:
Tak perlu diingatkan.
MUSIK CEOS BERBUNYI. LAMPU SEDIKIT REDUP.
DATUK SUKU:
Kalian hanya mentimun. Jangan pula hendak mendekati durian. Pasti akan tercakar. Berunding dengan baik lebih beradab.
MAK:
Kalian pasti ingin merampas tanah warisan kami.
TIMAH:
Lepaskan ikatan ini.
PENGIKUT 1 DAN PENGIKUT 2 INGIN MASUK UNTUK MELEPASKAN IKATAN TIMAH.
ATAN:
Cukup sampai di situ saja langkah kaki kalian. (Menghentikan Pengikut 1 dan Pengikut 2 yang ingin melepaskan Timah).
DATUK SUKU:
Kami datang untuk berunding. Bukan untuk mengeruhkan suasana.
MAK:
Saya tidak pernah percaya perkataan kalian.
PENGIKUT 1:
Jangan terlu egois dalam memutuskan sesuatu.
PENGIKUT 2:
Di mana rasa kemanusiaan diletakkan? Sehingga tega mengurung anak perempuan dan mengikatnya?
ATAN:
Itu urusan kami. Rumah tangga kami.
DATUK SUKU:
Cukup jangan terlau tenggang. Tarik nafas. Bawa bertenang.
TIMAH:
(Gelisah).
PENGIKUT 1:
Hal yang dilakukan kalian sudah melanggar hukum. Telah melakukan kekerasan terhadap anak.
MAK:
Tak ada hukum untuk rumah tangga.
DATUK SUKU:
Apakah kami tidak dizinkan untuk masuk ke dalam rumah ini?
ATAN:
Tidak!
TIMAH:
Saya tidak gila, lepaskan ikatan ini. Tolong!
PENGIKUT 2:
(Melangkahkan kaki ingin mendekati Timah). Izinkan aku untuk melepaskan ikatan anak itu.
ATAN:
Jangan! (Menatap tajam).
MAK:
Jangan sentuh anak saya.
PENGIKUT 1:
Apa perlu kami berlaku kasar? (Menahan geram ). Tak punya rasa kasihan. Lihat anak itu tangannya merah bekas ikat yang begitu kuat.
MAK:
Saya yang melahirkan dan membesarkannya. Jadi urusi kehidupan kami. Jangan coba-coba menasehati. (Mengambil cangkul di dinding).
PENGIKUT 2:
Jangan cedrakan masa depan anak Mak Cik!
MAK:
Itu tak perlu diingatkan, saya sudah tahu.
TIMAH:
Tolong lepaskan.
PENGIKUT 1 DAN PENGIKUT 2 MENCOBA MELANGKAH LAGI.
MAK:
Jangan sampai cangkul itu hinggap di kepala. (Mengancam, sambil mengangkat cangkul).
ATAN:
Awas Mak, cangkul itu tidak kokoh. Nanti matanya jatuh.
MAK:
(Mak menurunkan cangkulnya).
DATUK SUKU:
Sudahlah. (Menenenangkan Pengikut 1 dan Pengikut 2). Kita datang ke sini bukan untuk berperang.
PENGIKUT 1:
Betul. Tapi ini masalah kemanusiaan.
PENGIKUT 2:
Atas nama kemanusiaan yang sama-sama tinggal di bumi Siak ini. Kita patut manasehati dan mengadili masalah penyiksaan anak Datuk.
ATAN:
Tak ada atas nama kemanusiaan!
MAK:
Kalau atas nama kemanusiaan, mengapa kalian tega mengusir kami. Sehingga kami ke pinggiran. Berada di rumah pinggiran ini. Setelah itu, hari ini kalian datang lagi ingin mengusir kami dari pinggiran ini.
ATAN:
Tak ada kemanusiaan. (Mukanya merah menyimpan amarah).
MAK:
Bicara kemanusiaan. Tapi diri tak ada kemanusiaan.
DATUK SUKU:
Bukan kami mengusir, tapi menempatkan ke tempat yang lain. Dan tidak menempatkan dengan kekosongan belaka. Tapi kami beri uang untuk penggantinya. Kalau tidak izinkan kami masuk ke dalam rumah ini. Kami izin undur diri. Tapi kami akan datang lagi. Walaupun pintu tidak terbuka lebar untuk kami.
DATUK SUKU SERTA PENGIKUT 1 DAN 2 KELUAR PANGGUNG. BUNYI MESIN PABRIK BESERTA BUNYI PESAWAT TERDENGAR LANTANG.
TIMAH:
Lepaskan, cepat lepaskan tangan ini. Saya tidak gila, saya tidak membuat kalian khawatir. (Menggoyang-goyangkan tubuhnya. Menggerakkan kakinya kemudian menjerit-jerit). Di mana keadilan ini, mengapa saya mendapatkan hal yang tidak saya inginkan. (Menangis).
LAMPU PELAN-PELAN MULAI REDUP. BIAS-BIAS CAHAYA MEMERCIKKAN DIDING MUKA RUMAH PINGGIRAN. SUARA-SUARA ORANG-ORANG KAMPUNG DARI LUAR PANGGUNG TERDENGAR HEBOH SEKALI. SEPERTI SUARA YANG KELUAR DARI LORONG YANG TERBUKA. BUNYINYA DATANG KEPADA YANG MEMPUNYAI TELINGA.
SUARA DARI LUAR PANGGUNG:
Pantas saja tak pernah terlihat anak perempuanya. Rupanya diikat. Dipasung di dalam rumah. (Lama-lama suara itu semakin ceos dan menjauh). Begitu pula cara mendidik anaknya. Memang tega betullah seorang Mak sosok keibuan setega itu. Anak perempuannya cantik.
SUARA DARI LUAR PANGGUNG:
Tapi mereka itu memang keluarga tertutup. Tak mau bergaul dengan kita. Tapi pembesar negeri ini sering berkunjung ke tempat mereka. Siapa sebenarnya mereka itu.
SUARA DARI LUAR PANGGUNG:
Dengar-dengar dari mulut ke mulut, mereka itu masih keturunan Sultan. Berdarah bangsawan. Mungkin itu yang membuat mereka tak mau bergaul dengan kita.
SUARA DARI LUAR PANGGUNG:
Kalau mereka berdarah bangsawan, tak mungkinlah hidup di pinggiran ini. Tak mungkin sesederhana kehidupannya. Entahlah susah juga kita untuk menilai dengan orang yang tertutup seperti mereka.
TIBA-TIBA SUARA KESIBUKAN ORANG-ORANG DARI LUAR PANGGUNG HILANG. LAYAR BERWARNA PUTIH TURUN DARI ATAS. MENUTUPI RUMAH PINGGIRAN.
LAMPU TERANG KEMBALI. BUNYI KENDERAAN SIBUK TERDENGAR. DATUK SUKU, PENGIKUT 1 DAN PENGIKUT 2 DUDUK DI ATAS KURSI.
DATUK SUKU:
Kalau kita ingat jasa Sultan, maka kita tidak akan bisa untuk membujuk mereka untuk pindah.
PENGIKUT 1:
(Berdiri di atas kursi). Mereka juga keras pendirianya. Mereka sudah berpengalaman dengan rencana yang akan kita lakukan.
PENGIKUT 2:
(Memikul kursi). Semua orang, sudah mulai cerdik dalam menyikapi pergerakan kita.
DATUK SUKU:
Kita harus menjadi sosok yang pemaksa. Walau pun berlawanan dengan budaya Melayu. Demi kepentingan harus dilakukan.
PENGIKUT 1:
Memaksa mereka pindah? (Berjalan membawa kursi ke tangah panggung).
DATUK SUKU:
Iya!
PENGIKUT 2:
Demi uang? (Berdiri di atas meja).
DATUK SUKU:
Demi memajukan dan mengembangkan negeri ini. Tak ada niat yang lain.
PENGIKUT 2:
(Turun dari meja). Tapi cara kita ini tidak patut disebut sebagai pekerjaan manusia. Sebab tak ada tenggang rasa.
PENGIKUT 1:
Sudahlah. Lanjutkan saja, sudah terlanjur basah. Lebih baik basah semuanya.
DATUK SUKU:
Betul! Pantang melangkah surut ke belakang.
PENGIKUT 2:
Terasa jadi pemburu.
PENGIKUT 1:
Engkau saja yang merasa jadi pemburu.
DATUK SUKU:
Sudahlah, kalau hendak ikut keputusan kami. Mari, kalau tidak silakan pergi.
PENGIKUT 2:
(Diam saja, berjalan mondar-mandir).
PENGIKUT 1:
Kenapa mondar-mandir? Bingung, takut, cemas? (Tersenyum sinis).
DATUK SUKU:
Kalau engkau tak ikut jadi pemburu, engaku akan kehilangan pekerjaan.
PENGIKUT 2:
(Mengangkat kursinya, lalu berjalan keluar panggung).
DATUK SUKU:
Kenapa dia pergi?
PENGIKUT 1:
Mungkin cemas, dan serba salah dalam menentukan keputusan.
PENGIKUT 2:
(Masuk kembali ke dalam panggung). Pemburu itu haram, pekerjaan ini pekerjaan pemburu. (Keluar panggung kembali).
DATUK SUKU:
Haramlah, katanya. Padahal ini juga pekerjaan dia selama ini. (Tertawa).
PENGIKUT 1:
(Tertawa).
LAMPU REDUP. LAYAR PUTIH TERANGKAT KE ATAS. TAMPAK RUMAH PINGGIRAN. TERLIHAT JUGA SOSOK TIMAH YANG SUDAH BEBAS DARI IKATAN.
TIMAH:
Saya lepas. Saya bebas, jangan diikat lagi. Jangan mengekang kehidupan saya. (Lalu keluar panggung).
MUSIK GAMBUS LANTANG BERBUNYI.
LAMPU MATI.
Rimbo Panjang, 2024
——————

Joni Hendri
Penulis kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus Jurusan Teater AKMR. Dan juga alumnus Jurusan Sastra Indonesia FIB-UNILAK. Karya-karya berupa naskah Drama, Essai, Cerpen, dan Puisi. Sudah dimuat di beberapa antologi dan media seperti: Jawa Pos, Riau Pos, Solo Pos, kompas.id,basabasi.co, dan lain-lain. Terpilih sebagai penulis muda Emerging Writers BWF 2024 katagori puisi. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau. Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.