“Air Mata Air” – Film sebagai Cermin Kesadaran dan Ruang Refleksi

Esai: Imam Khanafi

ANGIN lembut menyusup di sela-sela rumpun bambu yang menjulang tenang. Daun-daun tipisnya sesekali bergesekan, menimbulkan suara lirih seperti bisikan yang menjaga kesunyian senja. Di bawah teduhnya, puluhan orang duduk rapi di atas kursi bambu yang disiapkan panitia. Tidak ada deretan bangku empuk, tidak ada pendingin udara—hanya suasana alami yang terasa hangat sekaligus khidmat. 

Saya mengambil tempat di salah satu kursi itu, menatap layar yang lebar yang berdiri sederhana namun tegar di depan semua orang di ruang terbuka. Lampu-lampu kecil tergantung di beberapa sudut, menambah nuansa magis yang tak saya temukan di bioskop-bioskop modern. Ini bukan sekadar pemutaran film. Ini perayaan sunyi yang mengajak penonton menanggalkan dunia luar, masuk ke ruang yang lebih dalam: ruang batin, ruang kesadaran, ruang perenungan.

Satu per satu film pendek diputar, dan seperti tetes-tetes air di mata seorang penyair, cerita-cerita itu jatuh perlahan ke hati kami. Tak ada suara gaduh, tak ada derai tawa berlebihan, hanya desahan napas dan mata yang tak berkedip, menandai keterlibatan emosional yang tulus. Beberapa orang duduk berdampingan tanpa sekat, dipersatukan oleh sesuatu yang melampaui kata: rasa. Di balik layar-layar itu, saya merasakan aliran yang lebih dari sekadar visual dan audio—ada aliran makna yang menggugah, mengendap, lalu membesar menjadi kesadaran kolektif tentang kemanusiaan dan alam.

Festival Film Anak Bangsa (FFAB) 2025 di Balai Budaya Rejosari bukan hanya memutar film—ia memutar ulang ingatan kita yang nyaris beku, menghidupkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang telah lama kita kubur dalam rutinitas: siapa kita? untuk apa kita hidup? dan sejauh apa kita telah menjauh dari bumi dan sesama? Dalam suasana intim dan sederhana ini, saya merasa seperti sedang berada di ruang kelas filsafat, tapi gurunya adalah para sineas muda, dan materinya adalah kehidupan itu sendiri. Saya tidak menonton film; saya sedang diajak berpikir.

Sebagai masyarakat awam yang lebih sering dijejali berita-berita politik, sensasi selebritas, dan suara gaduh media sosial, kehadiran di tengah hutan bambu ini menjadi kejutan yang menyentuh. Saya menemukan film bukan lagi sebagai tontonan pelarian, melainkan sebagai cermin—yang memantulkan wajah kita yang sebenarnya, lengkap dengan luka, tanya, dan harapan. Film-film ini tidak bicara keras, tidak menggurui, tapi mereka mengajak kita berbicara pada diri sendiri. Dan di sanalah, saya merasa tergugah untuk menulis esai ini. Sebagai bentuk terima kasih, sekaligus sebagai ikhtiar untuk merekam kembali jejak-jejak refleksi yang ditinggalkan oleh air mata air itu.

‎‎Filsuf Jerman Hans-Georg Gadamer pernah menekankan bahwa seni adalah medan hermeneutik—suatu ruang di mana makna tidak hadir secara final, tetapi senantiasa dibentuk dan dibentuk ulang melalui pengalaman yang dialami oleh penikmatnya. Maka, menonton film bukanlah kegiatan pasif, melainkan perjumpaan yang dinamis antara teks (film) dan subjek (penonton). Dalam ruang terbuka yang dikelilingi hutan bambu Balai Budaya Rejosari, FFAB 2025 menjelma menjadi arena perjumpaan semacam itu. Ia bukan sekadar festival film pendek biasa, melainkan semacam ziarah batin, di mana pengalaman estetis bertaut erat dengan pengalaman eksistensial.

Saat film-film para sineas muda diputar, saya menyaksikan bagaimana mereka—melalui kamera dan montase—mencoba merekonstruksi dunia. Mereka mencatat luka-luka yang tak selalu tampak di permukaan, menanam benih-benih harapan dalam narasi yang lembut, dan menyulam kembali memori kolektif yang nyaris tercerai. Film-film ini tidak berteriak, tetapi berbisik. Tidak menggurui, tetapi mengajak menyimak. Dalam pengertian Gadamerian, mereka menghadirkan horizon-horizon makna yang terbuka, menantang saya sebagai penonton untuk tidak sekadar memahami, tetapi untuk dialektis—untuk berdialog dengan pengalaman saya sendiri.

Tema “Air Mata Air” pun bukan hanya metafora puitik, melainkan juga bisa dibaca sebagai epistemologi. Dalam kerangka pemikiran Timur, terutama dalam filsafat Taoisme, air bukan sekadar unsur alam. Ia adalah lambang kebijaksanaan tertinggi. Air tidak melawan arus, tetapi tetap mampu membentuk batu. Ia tidak keras, tetapi justru karena kelembutannya, ia menyusup ke ruang-ruang yang bahkan cahaya tak mampu menembusnya. Dalam Tao Te Ching, Laozi menulis: “Yang paling lembut mengatasi yang paling keras.” Dalam konteks ini, film menjadi “air”—ia meresap ke dalam, membentuk kesadaran, dan menyembuhkan secara sunyi.

Film-film dalam FFAB 2025 banyak berbicara tentang relasi—sebuah kata kunci dalam filsafat eksistensial dan etika. Ada relasi manusia dengan alam, yang seringkali retak karena keserakahan. Ada relasi antargenerasi, antara anak dan orang tua, antara warisan dan keberlanjutan. Ada pula relasi antara luka dan pemulihan, yang tidak disampaikan melalui ledakan emosi, tetapi melalui detail-detail kecil: tatapan mata, percakapan lirih, suara-suara latar yang samar tapi menggigit. Film-film ini, dengan segala kesederhanaannya, menjadi seperti air hujan yang jatuh ke tanah—tidak heboh, tapi menyuburkan.

Pengalaman menonton di tengah hutan bambu itu menjadi semacam kairos, momen yang tidak hanya kronologis, tapi juga penuh kualitas. Di sana, waktu tidak dihitung lewat jam, tapi lewat kedalaman rasa. Setiap film seperti menjadi pintu kecil menuju dunia yang lebih besar. Saya diajak masuk ke dalam dunia yang tidak asing, tapi juga tidak sepenuhnya saya kenal. Saya mendengar kembali suara alam, suara ibu, suara anak-anak, dan—yang paling penting—suara hati saya sendiri. Dalam situasi ini, seni film bertindak sebagai medium aletheia, dalam istilah Heidegger: memperlihatkan kebenaran yang tersembunyi.

Maka, “Air Mata Air” bukan sekadar tema festival, tetapi juga prinsip penciptaan dan penerimaan. Ia menjadi lambang dari sesuatu yang mengalir dan menyucikan: kesedihan yang tidak mematahkan, tapi menyadarkan. Di tengah dunia yang sering keras dan tergesa, festival ini menghadirkan kelembutan sebagai kekuatan. Film-filmnya mengajarkan kita untuk mendengar yang sunyi, melihat yang tersembunyi, dan merasakan yang halus. Dan di sanalah seni film mencapai titik paling filosofisnya: ketika ia tidak hanya menghibur, tetapi juga menyingkap—menjadi cermin kesadaran, dan ruang refleksi yang mendalam.

Bagi Martin Heidegger, puisi dan seni bukan sekadar ekspresi, melainkan aletheia—proses pengungkapan kebenaran yang selama ini tersembunyi. Dalam pandangannya, seni adalah tempat di mana dunia “terbuka” dan menunjukan dirinya secara otentik. FFAB 2025, bagi saya, menjelma menjadi ruang aletheia itu. Di tengah gempuran sinema arus utama yang kerap mengabdi pada algoritma pasar, festival ini justru menghadirkan film-film yang jujur secara eksistensial. Tak semua sempurna secara teknis, namun keotentikan rasa dan keberanian menyuarakan yang sunyi menjadikannya lebih dari sekadar tontonan—ia menjadi peristiwa.

Film-film dalam FFAB 2025 menyuarakan yang tak dikatakan dan menampilkan yang kerap disembunyikan. Ini mengingatkan saya pada gagasan Jacques Rancière tentang distribution of the sensible, bahwa seni berperan dalam mengatur ulang apa yang bisa dipikirkan, dikatakan, dan dirasakan dalam ruang publik. Para sineas muda ini—dengan segala keterbatasannya—telah menantang batas itu. Mereka tidak hanya menyampaikan narasi, tetapi memetakan ulang medan persepsi kita. Film menjadi praksis estetis sekaligus politis, yang menyelusup ke dalam kesadaran kita tanpa harus bersifat demonstratif.

Struktur acara FFAB pun tidak hanya menonjolkan hasil akhir, tetapi juga membuka jalan pada proses kreatif. Program “Bincang Film” bersama para juri seperti Fanny Chotimah, Asa Jatmiko, dan Rendra Bagus Pamungkas menjadi bentuk praksis dialogis dalam pengertian Paulo Freire. Freire menyebut pendidikan sejati sebagai ruang liberasi, bukan instruksi satu arah. Dalam diskusi-diskusi ini, terjadi pertukaran gagasan lintas generasi dan lintas pengalaman—antara pelaku film dan penonton, antara yang berpengalaman dan yang baru belajar. FFAB menjadi bukan hanya festival, tapi juga forum pedagogis yang memanusiakan.

Ketika Cornel Innos, sang stage manager, berbicara tentang kerja kolektif di balik layar, saya justru teringat konsep metafisika dari Gilles Deleuze: bahwa yang menentukan bukanlah yang tampak (actual), melainkan yang memungkinkan (virtual). Apa yang kita nikmati di layar atau panggung adalah hasil dari banyak potensi dan hubungan yang bekerja secara laten: komunikasi, kompromi, bahkan konflik. Dalam hal ini, kerja kolektif festival mencerminkan logika rizomatik Deleuzian—struktur yang tak hierarkis tapi berjejaring, hidup bukan dari pusat, melainkan dari percabangan yang terus tumbuh.

Sementara itu, pernyataan Irianto Gunawan yang menyebut air sebagai jejak sejarah dan emosi membawa saya pada pemikiran Walter Benjamin. Dalam “Theses on the Philosophy of History,” Benjamin menolak pandangan sejarah sebagai sesuatu yang linier. Ia melihat sejarah sebagai ruin, medan yang penuh retakan dan fragmen. Film-film yang diputar dalam FFAB menangkap retakan-retakan itu: rumah yang runtuh, alam yang rusak, keluarga yang renggang, dan identitas yang remuk. Mereka bukan cerita utuh, melainkan serpihan-serpihan waktu yang direkatkan oleh sensibilitas generasi baru.

Dengan demikian, film dalam FFAB bukan hanya media ekspresi, tetapi juga arsip emosional dan politis. Mereka menyimpan trauma, harapan, dan transformasi sosial dalam bentuk yang bisa dirasakan ulang oleh generasi mendatang. Mengutip Susan Sontag, menonton adalah bentuk partisipasi etis: kita tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga menjadi bagian dari dunia yang sedang dipulihkan. FFAB, melalui sinema, memberi kita cara baru untuk melihat—dan lebih dari itu, untuk merasakan. Dan dalam ruang bambu yang sederhana itu, saya merasa sedang mengalami kebenaran, bukan dalam bentuk doktrin, tapi dalam bentuk getar.

Sebagai masyarakat yang hadir bukan sebagai sineas, bukan sebagai panitia, saya merasa tak membawa apa-apa selain rasa ingin tahu. Namun pulang dari FFAB, saya seperti membawa penuh kantong makna yang tak bisa dibungkus oleh kata-kata biasa. Maka, saya menulis ini sebagai ucapan terima kasih—terhadap semua yang telah menciptakan ruang, menghadirkan layar, dan memberi waktu bagi kami yang hanya ingin menonton tapi pulang dengan lebih dari sekadar tontonan.

Saya masih mengingat langkah kaki saya ketika pertama kali memasuki kawasan Balai Budaya Rejosari. Di depan sana, gerbang sederhana berdiri dengan kain putih yang tertata rapi, melambai pelan ditiup angin. Gerbang itu bukan sekadar dekorasi, melainkan semacam penanda batin: bahwa saya akan memasuki ruang di mana hal-hal sederhana menjadi sumber kebijaksanaan. Kain putih itu seperti doa yang diam, seperti lembar kosong yang siap ditulisi oleh pengalaman baru. Dan benar saja, begitu duduk di kursi bambu yang disiapkan panitia, saya seperti dibuka oleh film-film yang kemudian diputar.

FFAB 2025 bukan hanya menghadirkan film pendek, melainkan perasaan yang panjang. Setiap cerita yang ditayangkan terasa jujur, bahkan ketika ia masih kikuk atau mentah secara teknis. Saya merasa para pembuatnya tidak sedang mencari tepuk tangan, melainkan sedang berbicara dengan jiwanya sendiri. Dan dari situlah kekuatannya berasal: dari keberanian menyatakan diri, dari ketulusan mengajak penonton masuk tanpa banyak basa-basi. Film menjadi ruang perjumpaan, bukan pertunjukan.

Apa yang saya tonton bukan hanya adegan dan suara, tapi juga potongan kehidupan yang seolah pernah atau sedang saya jalani. Di situlah letak kekuatan kolektif sinema. Ia tidak mengenal status sosial atau latar belakang akademik. Ia mengalir, seperti tema besar festival ini: Air Mata Air—yang bisa berarti kesedihan, bisa juga berarti kesadaran. Keduanya sama-sama bening, dan sama-sama bisa menyentuh dasar terdalam dari siapa pun yang bersedia diam sejenak.

Diskusi setelah pemutaran film menjadi titik penting yang tidak bisa saya lupakan. Di sana, film tidak selesai saat layar padam, justru baru dimulai. Dialog antara pembuat dan penonton, antara juri dan peserta, menjadi refleksi bersama. Saya merasa tidak sedang diajari, tetapi diajak berpikir. Saya merasa dihargai, meski bukan siapa-siapa dalam dunia film. Dan mungkin di sanalah letak keindahannya—FFAB telah membuat kami yang “biasa” merasa ikut memiliki pengalaman yang luar biasa.

FFAB juga mengingatkan bahwa dalam dunia yang begitu gaduh dan cepat hari-hari ini, masih ada ruang untuk duduk pelan-pelan, menyimak, menafsir, dan merenung. Ia bukan hanya festival, tapi jeda yang dirayakan. Tempat di mana waktu tidak dikejar, melainkan dipeluk. Di bawah rimbun bambu, di atas kursi sederhana, saya merasa bahwa kebudayaan tidak perlu gedung besar atau panggung megah—cukup ruang yang hangat, dan niat yang tulus.

Kepada semua yang telah bekerja dalam senyap—dari penyusun acara hingga penjaga konsumsi, dari juri hingga moderator diskusi—saya ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih telah menciptakan panggung yang jernih, untuk pesan yang bening, dan untuk air yang terus mengalirkan cerita-cerita terbaik dari anak negeri. Dan kepada gerbang kain putih itu—yang masih terbayang sampai hari ini—terima kasih telah menjadi pintu menuju kesadaran. (*)

—————-

Imam Khanafi

Penulis tinggal di Kudus, aktif menulis esai dan cerpen

*) Artikel di atas juga dimuat di Suara Merdeka (25/5).

SM 250525

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *