Antologi Puisi Catena

Puisi-puisi: Asa Jatmiko

KISAH SATU 

Aku ingin menulis panjang
Desahmu di dadaku semalam
Kadang seperti tergenggam
Kadang seperti tenggelam

Ada bersamamu, sedekat nafasku
Bernyanyi, berdoa, seirama detakmu
Kadang terasa hinggap lekat
Kadang terasa hilang terbang

Aku ingin menulis
Tentang sebuah keinginan membahagiakan
Kadang terasa satu
Kadang seperti satu-satu

Menulis panjang tentangmu
Berabad-abad bersamamu
Untuk satu kisah kita
Kita yang satu






BUKIT RATAPAN ANGIN

Bersimpuh setelah berjalan jauh
Di tanjakan berbatu sebelum jatuh
Angin merendah
Dingin menyergap
Dada terbelah

Masih tercium bau tubuhmu Kaladote
Juga membayang langkah kaki Kalijaga
Manekung di antara rumputan basah
Lalu gemuruh gelisah angin bersimbah

Pucuk-pucuk doa
merambati udara
Ziarah belum sudah
di sini aku mengaduh





IN MEMORIAM

Pelahan lalu tenggelam
Nanti juga ditelan gelombang
Kita tidak pernah bisa abadi
Meski meminta ribuan kali

Lepaskanlah segala ikatan
Agar tak ragu lanjutkan jalan
Ku maafkan segala kesalahan
Biar di sini mekar kenangan

Kebaikan diabadikan
Sampai bertemu di akhir jaman





KAU BILANG PADAKU

Kau bilang padaku: bila aku tak lagi disini
Aku bilang padamu: kau tercatat disini

Kau bilang padaku: bila aku tak kuat lagi
Berjanjilah padaku: kau akan baik-baik saja

Kau bilang padaku: di antara bulan dan matahari
Aku bilang padamu: kau tak akan terganti

Aku telah ada pada setiap kau terluka
Aku ada di tiap erang saat kau tersakiti
Aku akan ada dimanapun kau ada

Kini waktu beranjak dewasa
Bulan dan matahari penuh bercahaya
Dan bunga lagi cantik-cantiknya
Sungguh tak layak mengajukan keraguan

Hari ini adalah bagaimana
Kepercayaanmu dikuatkan





MELEPAS KEHILANGAN

pecah di udara
tangisan kita
melepas pergi
yang kita sayangi

kuantar kau menemui
sekali lagi dan terakhir kali
raut wajah penuh sayang
menitah hingga menatah
dimana kau ditimang

ini tak mudah bagimu
bagaimana menyeka airmata
dentam duka begitu mendera

aku pun akan begitu
bedanya hanya soal waktu
kita adalah manusia-manusia
yang berjalan menuju kehilangan

kawan, tetapi barangkali inilah cinta
manakala kita memberinya kesempatan
untuk bertemu kebahagiaan
barangkali inilah yang kita sebut cinta
manakala kita melepasnya dengan rela
untuk kehilangan selama-lamanya

aku sungguh tak pernah tahu
kenapa setiap cinta, bermakna kehilangan
tetapi aku sungguh percaya
saat kau melepas, mungkin justru kau dapatkan.

Jogja, 20 Sept 2016




PAMFLET MATA KALA

berpasangpasang mata
berpuluhpuluh mata
menatap cakrawala
dengan tangantangan menggenggam waktu
dengan kakikaki berselancar di pelangi

masa kini telah mati
telah terbakar angan dan citacita masa lalu
kita hari ini adalah arang dan kayu bakar
kita hari ini adalah daun dan ranting kering
kita hari ini adalah jalanan sunyi

berpuluhpuluh mata
dengan jari-jemari menari hampa
di etalase pertokoan, di panasnya beton jalanan
di tengah ramainya dunia tanpa bentuk

berjutajuta mata
dengan jalang memaku dan memalu
pada kita yang teriakteriak di ujung tebing

tetapi masa kini
selalu melahirkan kebangkitan baru
berjutajuta pasang mata yang nanar
yang biru, yang lebam ditikam jaman
musti ditawarkan banyak pilihan
musti diberi banyak kesempatan
menggapai langit setinggitingginya

dalam balutan seni
mereka akan berani bermimpi
kanakkanak akan lantang berujar tentang jiwa
para muda bermandi keringat mengolah hati
biarkan mereka merasakan kalah menang

jangan hentikan mereka mengurai tangis tawa
biarkan mengerti beratnya hidup yang dijalani
jangan sayangi mereka atas nama ketakutan
biarkan mereka menari dan melonjak
biarkan mereka jatuh dan melompat

karena begitulah
hidup menyeret kita
untuk semakin menjadi dewasa

jika ada peradaban
kita yakin di situ ada keseimbangan
jika ada peradaban
kita yakin di situ kemanusiaan dimuliakan

jika ada peradaban,
kesenian adalah darahnya
teater adalah jantungnya.

Kudus, 27 Maret 2016.





JUN

yang kuat adalah yang mampu menampung
setiap gelisah dan meredakannya dari dalam
dengan kasih yang pernah kita katakan,
lalu mengeluarkannya ke mulut dahaga
dengan kesejukan tiada tara.

yang liat adalah yang mampu menopang
setiap gelegak kecemasan dan kemarahan
dibuatnya tarian seperti saat ia diciptakan,
lalu dengan belaian ia akan menaklukkan
setiap pertempuran dan pertikaian.

yang perkasa adalah yang mampu berkata,
berterusterang apa yang dirasa,
karena ketakberdayaan selalu milik bersama
seperti awalnya, tercipta mewakili rapuh
agar rapuh bisa dilewati dengan sukacita.

18/8/16





TUGU

mencium bau pemberontakan
merasai panas tungku pembakaran
aku bagai tugu
diam menunggu
hingga reda dan redam semua dendam
hingga perbatasan sunyimu

pernah kujumpai senyum bumi
putih wangi seperti sekuntum melati
jika memang terlahir
karena ingin menjadi badai
akan kuturut hingga nanti menuai
jika terlahir sebagai yang terjanji
akan kutunggu hingga perbatasan sunyi

mencium bau pemberontakan
merasai panas tungku pembakaran
aku bagai tugu
menunggu dan menanti
kau kembali seperti sedia kalamu
sebagai bulan bundar
bulan yang berpijar
sejuk dan cemerlang.

18/8/16





ANGKATAN DARURAT

32 tahun masa gelap
18 tahun gegap gempita tanpa cahaya
Hari ini kita adalah angkatan darurat
Yang dipenuhi kecemasan dan ketakutan.

Jiwajiwa yang lumpuh
Memandang rendah orang lain
Jiwajiwa yang terbelah
Menganggap orang lain tak ada gunanya.

Rumah tak lagi ramah
Berubah menjadi sarang srigala
Ketika pintu dibuka, ia makan apa saja
Makan siapa saja
Seolah hidup bagi dirinya saja
Seolah hidup hanya hari ini saja
Srigala merobek keheningan
Menjadi tangis dan teriakan hampa.

Hari ini kita adalah angkatan darurat
Barisan yang dipenuhi ketakutan
Legiun yang dihasilkan dari kemunafikan masa lalu
Laskar yang mematikan, bagi masa depan.

Seragamnya usus memburai dari perut luka
Tangannya baja hitam berkuku tajam
Otaknya tabung gaz yang siap meledak
Tersulut dengan mudahnya
Bahkan tak perlu tahu untuk apa.

Hari ini kita adalah angkatan darurat
Dengan lengan penuh bintik merah jarumjarum suntik
Kita merasa kuat meskipun sesungguhnya lemah
Kita merasa hebat meski sesungguhnya payah
Kita bobrok
Masa depan kita adalah lelaki tua
Yang tinggal menunggu hari tutup usia.

Hari ini kita adalah angkatan darurat
Dongeng menjelang tidur tak pernah terdengar lagi
Karena ayah sibuk ngurus bini mudanya
Dan ibu kita sibuk mengejar kariernya

Halaman dengan bulan bundar di tengahnya
Sepi
Telah lama kita tinggalkan
Kita lebih banyak bertemu lewat media sosial
Kita berkelakar di grupgrup percakapan maya
Kita semakin tak menganggap penting perjumpaan
Kita semakin sulit mengingat wajah dan nama
Kita seolah didekatkan, tapi kita tak pernah menyadari
kita tengah saling dijauhkan.

Kita telah sekian lama dicekoki untung rugi
Karena di luar semua hanya dihitung untung rugi
Sekolahsekolah sudah dilabeli hargaharga
Tak ubahnya seperti barang di supermarket
Sekolahsekolah tak lagi menjadi ruang pendidikan
Ia tak ubahnya label status sosial
Siapa mampu beli, seolah terbeli harga diri.

Kita menjadi angkatan darurat yang dilepas
Di tengah kawanan srigala
Di padang pembantaian nurani dan akal budi.

Kita adalah angkatan darurat
Angkatan kecemasan akan masa depan
Angkatan ketakutan akan rasa damai
Angkatan yang sakit karena jiwajiwa terbelah.

Orang menggorok leher tetangganya
Anakanak memperkosa gadis beramairamai
Lalu membantainya di ujung malam
Pemuda kalap menyekap pacarnya sendiri
Lalu membuangnya ke selokan, sawah, hutan
Dan di kamar orangtuanya sendiri.
Kita menebar tangis nyeri dimanamana
Ibu mengoyak baju anaknya
Lalu mengelupas keceriaannya di bantal tua.

Semua orang kalap
Semua orang marah
Semua orang menangis dan marah
Tapi habis itu tetap tak ada apaapa
Masih saja ada dan terjadi di sekitar kita.

Kita adalah angkatan darurat
Karena kita telah menyuburkan kecurigaan
Memompa gairah saling benci di antara kita.

Yang satu merasa paling benar dari yang lain
Yang satu merasa berhak menjadi pembenar atas yang lain
Yang satu merasa berhak mengadili yang lain atas nama
kebenarannya sendiri
Kita tumbuh di lahan pekarangan
Yang penuh buluh dan duri
Bau bacin dan amis darah.

Hari ini kita adalah angkatan darurat
Bergegaslah berobat
Bersegeralah bertobat
Kembali pada keindahan sejati
Kembali pada kedamaian sejati
Dimana hati bertemu hati
Dimana muka bertemu muka
Dimana manusia melihat manusia
Dimana kita melihat Tuhan di setiap ciptaanNya.

Kudus, Juni 2016





CINTA PERTAMA RAHWANA

Widawati, matahari belum lagi tinggi
Arga Dumilah belum sempurna tersiram cahaya
dan ibundamu mestinya rindu memeluk bahagia
mengapa Nimas tega lakukan ini?
membakar diri dalam lautan api
tanpa sudi untuk sebentar saja nyawang hati

kucium wangimu sejak kutinggalkan Alengka
seperti hangat kasih Bunda Sukesi
terngiang saat aku remaja di Girijembangan
saat terlunta dan jauh dari pelukan Bapa
dan wajahmu meluruhkan dendam
sepasang mripatmu menyejukkan
amarah pada Danaraja, sementara kupendam

Widawati, mengapa kau pergi tanpa jejak
dalam jilatan lidahlidah api yang menggelegak
kau meninggalkan rasa cinta tanpa belas kasih
kau menampik semua rencana baik
mengapa si buruk rupa selalu harus menghiba
mengapa tak kau dengar sebentar saja,
ada yang luput kau cerna atas apa yang teraba

Nimas, hanya dengan kata bisa kuubah semua
tetapi kata indah yang terbata untukmu terlunta jadi sampah
hanya dengan tatapan mata aku bisa lebur-ratakan Lokapala
tetapi di hadapanmu mataku pejam padam cahaya

Nimas, mengapa aku menjadi salah
ketiku aku memperjuangkan cintaku sendiri?

Kudus, 29 Nov 2016





PEREMPUAN PENCARI DAUN JATI

di tiap jepitan labirin fajar ia menembus dingin
kabut masih enggan beringsut, memeluk ranting
dan pohonpohon sebagai selimut,
perempuan itu ibu, bagi seorang yang rindu pulang.

dijoloknya selembar demi selembar daun jati
dengan kepastian langkah sehari demi sehari
dikumpulkannya selembar demi selembar daun jati
dengan pijar mimpi dan masa depan anakanaknya
diikatnya setali demi setali daunan jati
menjadi senyuman terindah di setiap akhir hari
dikirimnya mereka, bertalitali daunan jati
memastikan masih nyala keberanian hidupnya.

kini senja, dan jangan kau tanya dimana bapak
jika ia sayang, sayangnya tumbuh hijau di hatimu
jika ia takkan datang, sayangnya berkelimpahan
sebagai airmatanya
dan perempuan itu, ibu bagi seorang yang ingin mengadu.

selembar demi selembar daun jati
membungkus halhal penting yang tak abadi
tapi menyelamatkan harihari dari panas hujan
dan memayunginya sebagai keabadian.

selembar demi selembar daun jati
jejak atas kesetiaan perempuan yang mengasuhmu
sebeb perempuan itu, ibu bagi pengembara
rumah hijau bagi gelandangan pencari bintang.

senja daun jati menggaris di cakrawala
lukisan abadi yang kau simpan di dalam jiwa
perempuan itu, ibu bagi seorang yang paling penting
di sepanjang hari hingga tiba senja.

Kudus, 100717





SENDANG WIDODARI

di antara pepohonan, lumut yang basah,
dingin menyusup di antara gerai rambut,
rumputan berkeriap meraih cahaya
karena dari cahaya, tubuh ini terbaca
jika saat ini kau melihatku terluka
inilah dosa, yang tercipta manakala kau
mulai merasa kehilangan separuh jiwa.

di pinggir kecipak telaga, kakiku tertahan
pada telagamu yang menawan hatiku tertawan
segala arah menutup jalan,
dan atap langit menyingkir dari jangkauan,
“aku ingin pulang!”
tempat yang menjadi rumah,
meluruhkan amarah dan kegelisahan,
tempatku menyusun kembali kepercayaan.

dan apabila satu di antara kita
menemukan terlebih dulu tempat pulang
pastikan akan kembali ke sini
kembali mengasuh membesarkan bersama
buah kasih sayang yang sejak semula
berdeburan di jiwa kita,
di tepi sendang widodari mengucur airmata
tak akan habis bertahun-tahun
menyungai dan mengairi kehidupan,
karena sorga dan dosa pertama adalah cinta.

Sendang Widodari, 28 Nov 2016




PERJUMPAAN OMBAK DAN PASIR

melewati gelap, merobek hitam
ombak selatan bersayap bentang biru
menghela kabut debudebu
kental di pusaran hening yang dingin

perjumpaan malam ini
pasir gemulai di sepanjang pantai, laguna
juga yang terbawa angin ke lantai pendapa

seraut wajah lebam dan mabok bulan
sepasang matanya berairmata, darah
duduk bersimpuh di dekat jasadnya
cinta yang jauh, cinta yang berdeburan
cinta yang membuatnya pucat mayat

berjumpa lagi di perbatasan malam ini
berkas sinar berpendar menelisik rumputan
di sana, kembang telon bermekaran
dalam hening dingin menggapai lautan
kisah yang belum usai, seperti patahan malam
selalu melahirkan harapan, pagi matahari

Parangkusumo, 280117



AKTOR

Sepasang mata rabun menyalak kepadamu
yakni kamu yang baginya siapapun tersangka dungu
kebudayaan tak perlu dibela ia baik sejak adanya
Tetapi langit mengirimkan ribuan pisau
ke bawah bantalmu, gigir jurang jelang kematian

Itu yang kau sebut lantip; eja akar jalar ejakulasi
seperti dewa yang tak pernah melap meja makan
lupakah kau, aktor hanya di panggung hiburan
lalu biasa sajalah sebelum dan jika tak ingin sampah
yang pernah di laci besi pernah jimat saban hari
jenguklah, cucumu yang pernah kau tinggalkan

Kudus, Desember 2023





ZAITUN

Petik dari otakku manakala merambati kelelakianmu
sebagai cinta ia bopeng sekujur daun rantingnya
sebab dara hinggap pada tiada, moksa, dan teks
yang subyeknya menguap, terik pekik membantai
klorofil memuai, membangkai di kerling matamu

Ribuan tahun mengoyak buluh-buluh darah
tanah hidup tanah mati ranting zaitun mengeras laras
Kau dan aku memaku sorot mata tak bermakna
dari dalamku zaitun melidah menyeret masa silam
kidung bau bacin yang selalu kita harumkan

Kudus, Desember 2023




BAKAR KAMAR

Dia mesti berkabar tentang dunianya yang hancur
Kepada sepi yang melekat di tembok yang menjamur
Sebab lembab, dan matahari yang selalu menghindar
Memilin jalinan kenangan dalam perca tak beraturan
Kemudian digantung-gantungkan pada paku karatan
Dari sana dilihatnya api, membuat matanya menyala
Membakar kembali setiap apa yang telah ia mulai
Menangis lagi, mengutuk lagi, untuk dibakarnya lagi.

Kudus, Februari 2025




KUDA-KUDA DARI PERUT

Kuda-kuda yang berlari ke arahmu, menembus perutmu
Mencari rumput yang masih liar nan segar, seperti pintamu
Biar lincah dan bergairah, biar lebih liar bernalar
Kamu boleh lupa makan, tak boleh lupa minum obat

Kuda-kuda berlarian dari dalam perutmu, dipicu ragu
Lincah dan gairahnya tak terkendali, liarnya menggila
Mulut mereka berbusa-busa, berbahasa tanpa rasa
Kamu telah lupa makan, minum obat pun kebanyakan

Kudus, Februari 2025





GUMPAL KELAM

Kucumbui sakitmu, yang pelan menjalar
Kuciumi sebagai bingkisan-bingkisan Natal
“aku orang asing di tanah kelahiran,” matamu
Udara menggumpal kelam di aorta
Asap dari perang yang tak kunjung usai
Antara tanah, gagasan dan bengal; bertikai

Lanskap kemarin di bintik hujan harapan
Terperangkap di kaca jendela kamar
“bukankah mawar itu telah mekar?” mataku
Mereka telah menjalani peziarahan panjang
Tak ada jalan pulang, kecuali lanjut pergi
Akan kau akui, hanya aku yang tetap di sini

Kudus, Februari 2025




MANTYASIH

Senja angin kembara berhenti di sini

membawakan sekeping matahari

menjumpai sedulur dan para kerabat

gunung dan rumput, juga batubatu candi


dan sekeping matahari

adalah sebidang mimpi dan harapan

yang tak akan pernah dijual kepada siapapun

adalah tatanan sosial penuh kekadangan

yang telah meraja sebelum Sanjaya

yang telah berdenyut sejak Jawa mula-mula



Paman, kita telah melihat dunia berubah

pemikiran dan pengetahuan berkembang

apakah tyas juga akan ikut berubah?



Kotakota membakar dirinya hingga abu

tetapi apakah kita harus ikut terbakar,

atau malah ikut jadi bahan bakar?



Paman, di sini kita bertaruh jaman

Mantyasih di puncak kegentingan.


Matahari sebentar lagi sunyi

masuk ke dalam pertapaan

manekung kepada Hyang Agung

kemuliaan gununggunung

kebesaran jiwajiwa tumelung tyas



Maka bunga rumputan tampak permata

angin menjelma sabda

pepohonan berkelindan berkawin mantra

kita semua akan terpekur:

semua yang abadi, adalah keagunganNya

ialah puja-puji kepadaNya,
ramai berkarya, sunyi pamrih

semua yang abadi, adalah keagunganNya

ialah iman yang berakar padas

wajah yang memancar sejuk oleh keindahan tyas. 



Hong wilaheng maha cinta

Hidup dan mati kita sebab keagunganNya

Mantyasih, nafas kehidupan penuh welas asih. 




Gedong Sanga, 2022-2024





AGNI PRAJNAPARAMITA

bumi
di sudut sunyi
pijar sukma
jari-jemarinya doa
agni prajna paramita
terlukis cahaya

selembar hidup, terang tanpa cela
hamparan putih nan sederhana
yang merangkum keluasan semesta
sebagaimana awalnya kamu ada
jiwamu jagat kecil yang sempurna

namamu adalah legenda
puncak peradaban atas kehidupanmu
menulis urup menjadi urip

titik demi titik dalam gairah cinta
menjadikan urip yang urup
garis demi garis merangkai kisah
aku tahu, tentu hidup tak semudah kita bicara
gelegak kehendak yang terendam
dalam canting tembaga
harus selaras dengan arah cinta dan kerinduan
melukis keindahan sebagai cahaya penuh warna
hati dan kebajikan meneduhkan matamu
mengarahkan jari-jemarimu di setiap goresan

aku tahu, perjalanan hidup selalu tak sempurna
namun kita selalu berusaha menjangkau adi kodrati
hingga elok nan indah lembaran hidup dan kisah
yang tergelar di selembar kain mori
kehidupan awal yang sekaligus akan mengakhiri

ada pertikaian hati, ada rasa pahit yang harus dialami
ada nglowong, isen, ada mopok
ada saat kita memperbaiki diri, introspeksi
ada ngecos, mengakui kelemahan dan kesalahan
sebagai selembar kain mori kehidupan
manusia mesti menempuh ribuan kelok dan rintang
semua akan mencapai surga dengan pertobatan

batik adalah perjalanan hidup itu sendiri
proses hidup kita mencapai keindahan sunyi
aromamu harum menjulang ke angkasa
dunia mengakuinya
monumen budaya yang sarat makna

bumi
di sudut sunyi
pijar sukma
jari-jemarinya doa
agni prajna paramita
jadilah cahaya.


kudus, 2019-2024




TUAH TAMPAH

•\tyas
cahaya di akarakar bambu pekarangan
batangbatangnya yang menari, memercikan biru
memilin hingga langit
di antara bintangbintang alit

ia, terbang mendekat, melesat meninggalkan gelap
berputarputar di atas bumi yang kamu diami
tua gurat tangan, menganyam tampahmu.
keruh mata, memandang lemah. menutup wajah.
seberkas cahaya itu sosok laksana cahaya.

semenjak itu kelahiran cahaya, merobek selaput gelap.
kecil. manther. pijar.
bunyibunyi yang turut membayi.
mereka sosoknya. meraba wujudnya.

kegelapan tercabik, laksana prahara.
riak-riak gelombang telaga menepi.
menepi. menuju batas sunyi.
permukaannya merentangkan diam
tanpa gerak, menyimpan gerak.
sunyi dan hening kembali berkuasa.

cahaya dan suara melindap senyap.
sunyi tyas, bertumbuh gadis remaja.
matanya telaga. rambutnya meliuk hutan cemara.
buah dadanya gunung kembar perkasa.


\jagat
di batang induk randu tyas terperosok
lingkar hidup, lingkaran pembatas.
ia onggok bayi, yang merupa utuh.
di atas tampah, rasa dan empat sudut menggila.
bergerak di ranah tampah, empunya.
meraih, melonjak, melindung, menghibur
di ranah tampah, terbuai ayunan sudutsudut.

tetumbuhan mendedah ke dalam.
mengacu pada kedalaman.
hidup, serumit perjalanan munuju kedalaman.
tapi kematian, semudah pucuk tunas menjangkau api.
kerapuhan mewabah mudah.
tyas lemah atas tampah.
empat kerabat, asing sekaligus dekat


\hilang
empat kerabat mengepungnya
kidung agung kejayaan jiwa masa lalu
gunung dan samudra yang akrab
langit yang dekat
dan sang guru sejati
yang selalu ada di dalam hatinya.

di sini semua tergelar.
kamu dapat melihat semua yang tergelar itu.
sekaligus menjadi bagian di dalamnya.
di sini semua tumbuh untuk kemudian rapuh.
semua terlahir untuk kemudian mati, di sini.
di tengahtengahnya hidup menjalar
ke seluruh sudut dan sisi yang diingini.

jika tuhan adalah sesuatu dari mana kamu berasal,
maka ia adalah tanah air.
jika tuhan adalah sesuatu dari mana kamu ada,
maka ia adalah sang pencipta.
jika tuhan adalah sesuatu dari mana kamu hidup,
maka ia adalah sang sumber hidup.

kehidupan kita bukanlah kehidupan ekslusif.
kehidupan kita bukanlah kehidupan yang egois.
kehidupan kita juga bukanlah kehidupan
yang bisa memilih apa yang kita sukai saja.
hidup ini adalah pernyataan sikap: menerima segala.
menjadi kehidupan dalam kehidupan itu sendiri.
terimalah segalanya dengan segenap sukacita.

Tyas, jangan bawa tampah sembarangan
aduuh, gawat. bisa kuwalat.
duuh, akan ada apa lagi ini.
menjumpai orang-orang lapar
ia merasa lapar
perutnya membuncit, ia berjalan mengangkang.
mengandung dan melahirkan anak
ritual yang tak diinginkannya semenjak mula
dan di ujung malam, bayinya lenyap.
padam bagai senthir yang ditiup.
bunyi-bunyi entah, mendesing di udara.


\milah
gelap. dan matahari lindap ke bawah semaksemak.
orangorang lamat bergerak, lambat.
lingkaranlingkaran azali yang selama ini dilupakannya.
coreng-moreng rupa dan warna.
tyas gila, ngungun di puncak dampar derita.

orangorang mengambil mikrophon, remote control,
laptop, bermacam telepon genggam, lalu para plastik.
orangorang menampi itu semua.
orangorang memilih dan memilah
sebagai sedarah satu tanah air: tempat pembuangan akhir.
sayup tampah ditabuh
imaji magi. angan kahyangan.
serakan airmata ke tirta kahuripan.


\langgeng
suara sang sabda telah menjelma
terhampar dan tergelar sebagai bukti cintanya
dalam satu rentang ruang dan waktu
malam yang berembun hingga siang yang berbatu
pagi yang bercahaya hingga sore mengantar gulita

dimana kita tumbuh, tanah air yang mengasuh
dimana kita menjauh, tetap di dalam peluk dan rengkuh
dimana cahaya, cahaya, cahaya adalah sumber suaka
dimana suara, suara, suara adalah sumber sabda

remangremang sang tyas menimang rasa
harum seharum sang tyas mekarkan rasa
hingga saat itu tiba, tak ada lagi tangis nestapa
hanya hening wening dalam pelukan rasa sejati
di tanah ini, semua akan kembali.



Kudus, 2016-2024




DES

datanglah lagi kemari, sudut café yang senyap
yang kau sebut damai memapahmu lunglai
jejak kaki keledai, beludru biru dan telapak tangan badai
lepuh dibantai setahun pukulan tak terperi
datanglah lagi kemari, sofa gigitan tikus-tikus
sebab kita tak pernah bisa sesempurna malam ini
bintang dan langit adalah dingin yang hangat
dimana kau dan aku saling dekap

Kudus, 2023




DI ATAS HALUAN CAKRANAWA

Di atas haluan berdua saja kita berdiri
Memandang ombak laut, timbul tenggelam
Menyimpan dendam yang memagut maut
Kulihat sepasang matamu meredup
Seperti matahari yang sebentar lagi terbenam
Kita akan segera sampai di pelabuhan

Kasur dan bantal di kamarmu telah menunggu
Ah, namun rupanya kita mulai terbiasa di sini
Melihatmu selalu terjaga dan sibuk bekerja
Sunyi dan rindu itu, menguap ke udara
Dan aku semakin akrab dengan keringatmu

Kita akan segera sampai di perhentian
Dimana harus berpura-pura kuat
untuk mengucapkan selamat tinggal.

Di atas haluan, dimana berdua saja kita berdiri
Cakrawala membentang ketakpastian
Badai bisa saja tiba-tiba mengoyak buritan
Atau merobek lambung kapal
dan menghempaskan semua bekal
Dan kita terombang-ambing tanpa tambatan
Tanpa nahkoda, dan tanpa masa depan

Sayang, jika aku bisa dan boleh meminta
Aku pasti memintamu untuk tetap di sini
Namun jika pun kita harus berpisah
Biarlah kapal melaju melayari seluruh lautan
Melanjutkan kemurnian nawacita
Nahkoda yang mempertaruhkan jiwa raganya
untuk keselamatan seluruh rakyatnya.

Kudus, 29 Juli 2023




SURAT CINTA UNTUK SAUDARA TUA

Kau terlebih dulu ada
sebagai saudara tua yang setia
Kau terlebih dulu berada di sini
siang malam diam-diam menanti
hingga bunga-bungamu bermekaran
menjadi buah-buah yang ranum
dan tersaji pada saatnya nanti

”Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda,
segala jenis tumbuhtumbuhan yang berbiji,
dan segala jenis pohon-pohon
yang menghasilkan buah yang berbiji.”

Kau terlebih dulu bangun dan beranjak ke dapur
membuka katup-katup klorofil, sepagi itu tungku-tungku menyala
”Aku tidak ingin melewatkan peristiwa-peristiwa penting,
saat nanti berjumpa denganmu,
saat kamu berkisah tentang perjalananmu yang melelahkan,
saat aku mendengar kemenangan-kemenanganmu.”

Ah, aku tidaklah sehebat yang kau sangka
hidupku melata, selalu di bawah dan tak berjarak dengan tanah,
terperosok dalam gelap sejak tahuntahun pertama,
tapi kau baik luar biasa,
tetap menerimaku sebagai saudara
kau menyuapi bibirku yang kering,
hingga aku pulas tanpa berterimakasih.

”Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda,
segala jenis tumbuhtumbuhan yang berbiji,
dan segala jenis pohon-pohon
yang menghasilkan buah yang berbiji.”

Diam-diam kau isi bekalku berkarung rezeki,
kau siapkan setiap pagi,
setiap aku di sini,
setiap aku hendak pergi,
setiap hari.
”Ingat, ya, jangan lupa berbagi,
seperti yang aku lakukan padamu,
lakukan juga kepada sesamamu.”

Kau bahkan terlebih dulu ada
bukan untuk memenangkan segala perkara,
tetapi untuk melestarikan warisan cinta,
Bertumbuh dan berbahagialah senantiasa
Kau saudara yang paling paham suka duka.

Kudus, 20 November 2022




AKU BERTANYA

aku bertanya kepada makanan
dan yang menjawab hanya mie instan
aku bertanya kepada jalanan
yang menjawab barisan motor matik
aku bertanya kepada rembulan
yang menjawab suara jangkerik notifikasi pesan
aku bertanya kepada sejarah
buru-buru dijawab semua
oleh google yang kau sebut simbah
aku bertanya kepadamu
dan kamu diam
yang bicara hanya emoji dan emoticon
aku bertanya tentang kemerdekaan
tapi tak jadi
aku kuatir jika sungguh
tak ada jawaban yang pasti.

Kudus, 27 Agustus 2022




KOPI PANDAN

dia menjauh tak terjangkau sauh
hilang di tengah siang seusai kita senang
senyap gelap kosong kemudian
di kaca masih bayangan sebelum lenyap
dia sendirian sepertimu sehelaian
hidup merambati pembuluh darah sunyi

pandan sehelai kopi hitam teras setaman
aroma pagi cita-cita yang dibangkitkan
di luar itu berjejalan kaki-kaki keserakahan
kalau kita mengungsi bukan karena berlari
dia telah ada menanti di tungku suci
bakaran dosa atas siksa tanggungan diri

Kudus, akhir 2023




PANGGUNG HUJAN

suara riuh sumbang sambang pintu malam
anak itu memanjat sunyi hujan, matanya
menggamit cahaya berkawin suluk mantra

selongsong rapuh dari waktu yang angkuh
membungkus memori untuk seolah ampuh
bungkusan hasil curian yang akhirnya dijual

beringsut dari situ, hujan runcing mematuk
batu-batu panggung becek gagah abu-abu
mengelabui mata yang tersenyum diam

Kudus, akhir 2023




LIRIS LIRIH

selalu saja kau larang aku menciummu
telapak tangan berdekapan cumbui degub

lihatlah, domba terjerat di semak-semak
langit telah hitam tinta perjanjian Kau aku
bakal terhapus lebatnya krisan dan mawar
memenuhi maya mata, “kita abadi dalam
petualangan dan kenangan.”

dengarlah, bintang timur di usia ketujuh
sebentar lagi berlabuh di tepi harapan
begitu sulitkah menyalakan saklar neon
nyalak anjing dari speaker kecemasan
kita menua, “dalam sembahyang beku.”

Kudus, akhir 2023





CATENA

tak putus bersatu mendaraskan ngilu
mengubah ragu jadi kokoh tugu, anggun
dari kejauhan bersinar memandu nelayan
kau meloncat-loncat dari tebing ke tebing
nahkoda angin yang kerap ubah haluan
namun tak putus, pagar doa lebih baja
lalu nanti, fajar mawar Bunda memancar
“telah diinjaknya kepala ular purba.”

Kudus, akhir 2023




CALEG MUDA

“kalau kau bicara kebaikannya, maka dia
belumlah begitu, sebab mata air tak pernah
membicarakan kejernihannya.”
semesta berkabung saat pesta dimulai
orang-orang bertransaksi, menggadai otak
menjaminkan kepalanya kepada para jagal
semua ini tak menyuburkan nuranimu, Nak

“kalau ini bukan dirimu, pulanglah
begitulah petani seusai tanam, istri dan kopi
juga sedikit janji untuk harapan esok pagi.”
semesta bernyanyi saat dirimu kembali
tidur nyenyak tanpa sorak, dan janji kecil
akan digenapi hujan dan matahari

Kudus, akhir 2023





PAMFLET KRETEK

Kita telah mendengar bunyi kemretek
Dari batang demi batang rokok kretek kita
Di telinga. Berabad-abad lamanya
Dan kita masih tak berdaya untuk lantang bersuara

Ratusan ribu hektar ladang tembakau digusur
Diganti lamtoro, ketela, jagung dan sayur-mayur
Atas nama swasembada pangan dan kemakmuran

Sementara harga-harga sembako semakin tinggi
Tembakau yang berakar di tanah para petani
Dibiarkan terlantar dan mati
Karena harus menanam apa yang mereka tidak mengerti

Bagi para petani, tembakau bagai anaknya sendiri
Dimana mereka menghendaki lahir dan hidupnya
Dimana mereka susui dengan kasih sayang
Dimana mereka paling memahami
bagaimana menjaga mandat dan warisan moyang tetap lestari

Kita telah mendengar bunyi kemretek
Dari batang demi batang rokok kretek kita
Dalam setiap perbincangan dan malam sunyi
Setiap ingat wajah kekasih yang tengah berjuang
Tapi kita masih tak berdaya untuk lantang berkata

Lihatlah mereka yang dulu menjajah
Datang dan memperebutkan kita demi rempah
Kini mereka juga sama
Datang dan memperebutkan kita
Atas nama kesehatan
Atas nama etika
Atas nama agama
Atas nama perlindungan anak
Kita tahu ujungnya, kedaulatan bangsa

Kita telah mendengar bunyi kemretek
Dari batang demi batang rokok kretek kita
Di telinga. Berabad-abad lamanya
Dan kita masih tak berdaya untuk lantang bersuara


Kudus, 3 Oktober, 2019


RAMADAN

hilal hingga hilal
purnama nuzul
di hati terdalam

2025