Naskah Lakon: Asa Jatmiko
Tokoh:
- Langit (Laki-laki, 30 tahun)
- Sri (Perempuan, 25 tahun)
- Bapak (Laki-laki, 50 tahun)
- Koh Alung (Laki-laki, 45 tahun)
- Warjo (Laki-laki, 29 tahun)
- Zelda (Perempuan, 30 tahun)
- Beast
- Box
- Pak Kiai (Laki-laki, 50 tahun)
- Beberapa Orang/Kuli/Warga
Sinopsis:
Langit seorang laki-laki sekaligus suami Sri yang hidupnya ingin memperjuangkan kehidupan ideal, di tengah kenyataan hidupnya yang pas-pasan. Desakan kebutuhan ekonomi, membuat Langit tak punya banyak pilihan, atas bantuan Warjo menjadi seorang petugas pembersih kaca gedung bertingkat milik seorang pengusaha di Ibukota.
Kehidupan ideal yang dimimpikan dan kenyataan kehidupan yang dihadapi Langit, menghimpitnya dalam pergumulan-pergumulan pelik di dalam dirinya. Di atas ketinggian tergantung-gantung pada gedung bertingkat, Langit bertemu dengan masa lalu dan dirinya sendiri.Ia mengadu, meminta keadilan dan ia harus menghadapi realita hidupnya.
PANGGUNG YANG SEMULA GELAP KEMUDIAN PERLAHAN MEMPERLIHATKAN LANGIT TENGAH DUDUK SEORANG DIRI, TERGANTUNG-GANTUNG DI KETINGGIAN PADA SEBUAH “ACCESS ROPE” – LEBIH MIRIP SEPERTI AYUNAN. CAHAYA HANYA JATUH KE WAJAH LANGIT, DAN DI SEKELILINGNYA GELAP.
SE: TERDENGAR SUASANA KESIBUKAN KANTOR, SEPERTI: DERING TELEPHON, ORANG BERCAKAP-CAKAP, KERTAS-KERTAS YANG DIBACA ATAU DISOBEK, DERIT KURSI YANG DITARIK, DAN SEBAGAINYA – YANG KEMUDIAN PERLAHAN BUNYI ITU BERGESER MENJADI BUNYI SUASANA DENTING PALU MEMUKUL BESI, ABA-ABA TERIAKAN PEKERJA, SUARA KENDARAAN BERAT, SUARA MESIN-MESIN BESAR, DAN SETERUSNYA.
DI TEMPATNYA DI KETINGGIAN ITU, LANGIT MELEPASKAN IKATAN TALI-TALI YANG MENGIKAT TUBUHNYA, LALU MELEPAS HELM PROYEKNYA DAN MENCANTOLKANNYA PADA SEBUAH CARABINER ATAU SEJENISNYA.
LANGIT:
Tergantung-gantung. Antara awan-awan.
Bergantung-gantung. Mendung liwang-liwung.
Sepi siapa.
BAPAKNYA TETIBA MUNCUL DI SISI PANGGUNG YANG LAIN.
BAPAK: Apa yang baru saja kamu katakan? Kesedihan? Penyesalan? Mengutuk kehidupan?
LANGIT: Semua sudah aku lakukan. Semua sudah aku coba. Tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Selalu saja ada yang memprotes. Selalu saja aku yang salah. Selalu saja ada yang menyebutku egois.
BAPAK: Siapa yang protes, Langit? Siapa yang menyalahkanmu? Egois? Tapi kamu memang egois, kan?
LANGIT: Bapak tidak pernah bersungguh-sungguh untuk mendukungku.
BAPAK: Begitu?
LANGIT: Ya!! Bapak hebat di mata mereka! Omongan Bapak jadi rujukan. Diiyakan dan dianut, solutif. Tapi tidak bagiku, Pak. Bapak tidak hebat sama sekali. Bapak banyak membantu mereka, tetapi sama aku, anakmu sendiri, mana pernah?
BAPAK: Masa mudamu saja masih jauh. Kamu terlalu dini untuk menyebut dirimu sudah selesai. Jalan masih panjang yang belum kamu lewati. Seperempatnya saja kamu baru melewatinya. Dan kamu sudah menyalahkan semua orang. Jujurlah kepada dirimu sendiri!
LANGIT: Aku menghormatimu, Pak. Tetapi Bapak juga harusnya tahu, setiap jiwa punya kehidupannya sendiri. Bapak sudah melewatinya, mestinya mengerti akan hal itu. Dan Bapak juga seharusnya paham, tua dan muda itu bukan soal usia.
BAPAK: Kamu ingin menyebutku orang tua yang kekanak-kanakan?
LANGIT: Bapak hanya terlalu cerewet untuk mengurusi hidup orang lain.
BAPAK: Kamu itu anakku!!
LANGIT: Lantas? Lantas apa jika aku anakmu, Pak? Bapak berhak untuk mengurusi kehidupanku? Bapak merasa berhak untuk menentukan apa yang harus aku pilih?
BAPAK: Silakan! Tapi kamu berhak diam untuk mendengarkan orang lain bicara.
LANGIT: Oo, begitu? Dan Bapak akhirnya harus tahu kenapa aku menjadi seperti sekarang ini: hidup melata seperti ular yang selalu dihindari setiap orang, kemana pun pergi harus secara sembunyi, dan saat bertemu orang-orang mereka menghindar ketakutan. Kalau perlu mengambil batu untuk melempariku. Bapak hanya bicara, tetapi aku yang menjalani. Sakit, Pak! Sakiit!!
BAPAK: Oo, jadi semua yang menimpa dirimu saat ini adalah kesalahanku? Aku menginginkan kamu tumbuh semakin dewasa. Menjadi manusia yang bermartabat, bukan pintar menghujat. Aku menginginkan kamu menjadi manusia yang sukses melebihi aku, bukan pintar ngeles seperti itu.
LANGIT: Buat apa? Semua ini buat apa, Pak?
BAPAK: Buat bekal hidupmu tentu saja.
LANGIT: Aku sudah bilang, semua itu tidak ada gunanya, Pak. Tidak ada gunanya. Gelar sarjanaku tidak mempengaruhi kehidupanku. Bapak lihat sendiri, aku malah semakin terpuruk. Sudah, Bapak tidak usah banyak ceramah lagi. Ceramah bukan menyelesaikan masalah.
BAPAK: Setiap orangtua memiliki harapan kepada anak-anaknya, Langit. Dan ketika orangtua itu melihat anaknya bertumbuh, harapan itu bisa tetap menjadi harapan, bisa juga berubah menjadi kecemasan. Ketahuilah, keduanya berujung sama: kebahagiaan anak-anaknya.
LANGIT: Aku muak!! Aku sudah muaak!!!
TERIAKAN LANGIT MENYISAKAN AMARAH MELUAP-LUAP NAMUN HANYA MEMBENTUR SUNYI. NAMPAK ISTRINYA, SRI, PERLAHAN MENGHAMPIRINYA.
SRI: Kamu tidak boleh bicara kasar begitu, Lang.
LANGIT: Kasar? Mana kata-kataku yang kasar. Ini kemerdekaan berpendapat, Sri.
SRI: Tapi bagaimanapun kita harus melihat niat baiknya.
LANGIT: Begini jadinya terlalu mendengar niat baik, Sri. Aku menjadi rapuh untuk menghadapi kenyataan hidup. Kenapa aku tidak dibiarkan belajar memilih dan menentukan sendiri. Semua serba Bapak. Semua serba orangtua. Kamu lihat aku, aku menjadi orang gagap.
SRI: Kamu terlalu pesimis memandang hidup, Lang.
LANGIT: Ya. Mungkin. Tapi mungkin juga karena selama ini aku dikondisikan, sehingga aku selalu pesimis memandang kehidupan.
SRI: Semua sekarang bergantung kepadamu. Sebentar lagi anak kita lahir, Lang. Bukankah kamu senang? Kita akan segera memiliki anak pertama, yang pasti akan membuat keluarga kita semakin bahagia.
LANGIT: Kamu ingin anak laki-laki, atau perempuan?
SRI: Kamu sendiri?
LANGIT: Kalau aku…
SRI: Buatku laki-laki atau perempuan, tidak ada masalah. Aku akan menerima semuanya sebagai anugrah terindah dalam hidup kita. Kalau dia laki-laki, aku yakin dia akan kuat dan tampan seperti kamu. Kalau anak kita perempuan, dia akan mempunya kecerdasan seperti kamu.
LANGIT: Sebenarnya, aku belum cukup siap untuk memiliki anak.
SRI: Maksudmu? Kamu tidak menginginkannya? Berani-beraninya kamu mengatakan itu kepadaku, Lang. Itu sangat menyakitkan!!
LANGIT: Kenyataan memang menyakitkan, Sri. Aku hanya ingin bicara jujur, kita belum siap.
SRI: Belum siap bagaimana? Kamu ingin aku menggugurkan kandunganku, begitu? Alangkah tidak bertanggungjawabnya kamu sebagai seorang suami, Lang.
LANGIT: Hidup kita berdua saja sudah kesulitan seperti ini. Kamu tega melihat anak kita juga ikut hidup menderita? Dia anak-anak, Sri, beda dengan kita. Mungkin kita bisa mendustai rasa lapar dengan tertawa, tetapi anak-anak?
SRI: Lang, selama ini aku bekerja siang malam untuk kita. Kamu makan tidur di rumah, aku tidak pernah persoalkan. Silakan kamu menikmati hidupmu. Tapi untuk anak kita, kamu bahkan tidak bisa merasa bahagia? Hatimu sudah mati?
LANGIT: Kamu bilang aku menikmati hidup? Sangkamu aku menikmatinya? Lontang-lantung seperti ini, kamu pikir aku menikmati? Melihatmu bekerja siang malam, kamu pikir aku menikmati? Pikiranmu buruk kepadaku, ya? Oo, aku tahu, selama ini ternyata kamu tidak ikhlas melakukannya, Sri.
SRI: Lang, ini bukan soal ikhlas dan tidak ikhlas. Hidup itu berjalan terus. Mau tidak mau kita harus menghadapinya.
JEDA
LANGIT: Aku akan pergi ke kota. Mencari kerja.
SRI: Lang… (MENGHELA NAFAS) Tetaplah di sini, bersamaku. Biar aku yang bekerja mencari nafkah. Tetaplah seperti hari-hari kemarin, kamu di sini bersamaku. Semua akan baik-baik saja. Aku akan bekerja seperti biasanya, mengerjakan pekerjaan serabutan di perumahan-perumahan. Kalau kamu bilang aku tidak ikhlas, dengarlah: aku ikhlas. Bukankah ini semua buat anak kita?
LANGIT: Mencari pekerjaan memang tidak mudah. Tidak semudah politikus bicara dan menjanjikan lapangan kerja.
SRI: Apa hubungannya dengan politisi. Sudah, fokus saja mengurusi diri sendiri.
LANGIT: Itulah maksudku, Sri. Kesulitan hidup yang kita rasakan ini, menurutku bukan disebabkan oleh kita-kita juga. Ada tangan-tangan besar yang tak kasat mata, menempatkan kita untuk hidup seperti saat ini. Dan mereka melakukan upaya-upaya ini secara sistematis, terstruktur dan masif.
SRI: Kata-katamu persis yang aku dengar dari kamu saat kamu masih mahasiswa… Dan selama itu perjuanganmu belum berhasil sampai saat ini?
LANGIT: Buktinya, kita mengalaminya sendiri.
SRI: Jadinya bagaimana? Kamu jadi akan berangkat ke kota untuk mencari kerja, atau untuk demo?
LANGIT MENCEK LAGI APD YANG DIPAKAINYA, SEBENTAR KEMUDIAN IA TELAH BERGANTUNG-GANTUNG, DAN SETING BERUBAH DENGAN LATAR BELAKANG SEBUAH GEDUNG. LANGIT MENGARAHKAN GONDOLANYA KE SAMPING. LANGIT SAMPAI DI TITIK TERTENTU UNTUK KEMUDIAN MULAI MEMBERSIHKAN KACA.
BEBERAPA SAAT KEMUDIAN TERDENGAR KESIUR ANGIN KENCANG. SESEKALI JUGA TERDENGAR DERIT KAWAT BESI BAJA YANG DITARIK TEGANG ATAU SEPERTI BERGESER SEDIKIT. SESEKALI TERDENGAR SUARA RIBUAN BURUNG-BURUNG KECIL YANG SEOLAH MEMBENTUK KOMPOSISI-KOMPOSISI TARIAN MASSAL, NAMPAK DI KACA GEDUNG. KEMUDIAN SELURUH PANGGUNG BERANGSUR GELAP, MENYISAKAN CAHAYA KE LANGIT DENGAN PANDANGAN MATA KOSONG TERPAKU.
PADA SEBUAH RUANG DI MASA LALU LANGIT.
WARJO: Aku sudah mencoba cari, Lang. Dan tidak ada. Kecuali kalau kamu mau kerjaan yang aku tawarkan kemarin.
LANGIT: Makasih Warjo. Aku sudah merepotkanmu.
WARJO: Jadi, kamu mau terima?
LANGIT: Tidak ada pilihan lain.
WARJO: Aku senang mendengarnya. Percayalah, kalau kamu mau tekun dan bekerja keras, ini tidak akan berlangsung lama.
LANGIT: Petugas Pembersih Kaca Gedung bertingkat.
WARJO: Ya, benar sekali, Lang. Nanti aku ajari hal-hal teknis yang harus kamu kuasai, dan itu mudah. Yang penting kamu punya nyali.
LANGIT: Kamu dulu juga jadi pembersih kaca Gedung bertingkat sebelum akhirnya seperti sekarang ini?
WARJO: Kebetulan tidak, Lang. Aku sejak awal aku di bagian ini.
LANGIT: Ehm. Bekal pengetahuan memang tidak bisa menentukan nasib, ya. Setahuku kamu hanya lulusan sekolah dasar.
WARJO: Orang bilang aku “bejo”, Lang. Iya, dan aku setuju, aku memang orang yang beruntung saja. Tapi, menurutku kamu bisa menunjukan siapa dirimu, Lang. Kamu orang yang berpendidikan tinggi. Maka tadi aku bilang, kerjaan ini pasti buatmu hanya sebentar saja.
LANGIT: Manusia yang terlalu banyak menanggung beban. Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup mengangkat diriku sendiri berikut beban yang kubawa di pekerjaan ini. Sudah terbayang beratnya. Gedung-gedung semakin tinggi. Aku merayap pada dinding-dindingnya yang curam.
LANGIT: Kamu sekarang sukses. Kerjanya di kantor. Semua orang membanggakanmu.
WARJO: Tapi tidak ada satu hal pun dalam diriku yang berubah. Aku tetap temanmu. Dan aku tetap menganggapmu temanku.
LANGIT: Aku tidak ingin menilaimu. Kamu menjalani hidupmu dengan setiap upayamu. Kamu memilih apa yang harus dan tidak harus kamu lakukan, atas kehendak bebasmu. Aku menghargaimu.
WARJO: Langit, kamu tidak usah berbelit. Seperti bicara sama siapa, kamu ini. Aku Warjo, tukang ngarit rumput buat kerbau-kerbau milik Pak Lurah.
LANGIT: Dan kamu adalah Warjo yang telah menjadi penolongku sehingga aku punya pekerjaan di sini. Kamu yang menolongku juga pada saat istriku butuh bantuan untuk biaya persalinan.
WARJO: Sudahlah. Apa yang aku lakukan karena kamu adalah teman. Kamu juga banyak menolongku. Langit, tidak semua orang mau untuk bekerja seperti kamu sekarang ini. Bergelantungan di ketinggian, dan aku tahu taruhannya adalah nyawa. Aku sendiri tidak mampu, Langit, dan tidak setiap orang mampu, tapi kamu mampu. Aku rasa, itulah kekuatanmu terbesar yang kulihat sama kamu. Kamu berani menaklukkan dirimu sendiri, atas rasa takut, dan juga atas ancaman kematianmu.
LANGIT: Aku sebenarnya tidak mampu, kalau mau jujur. Tapi katamu aku harus berani. Untuk berani, tak butuh ijazah tinggi, kan? Untuk bisa berani, hanya butuh ketololan dan kekonyolan. Dari atas ketinggian aku kemudian tahu, semakin tinggi posisi semakin banyak hal yang bisa kita lihat. Menawarkan banyak kemewahan visual yang tidak bisa dapatkan saat di bawah. Di atas ketinggian itu, aku juga semakin mudah merasa kosong.
WARJO: Langit, kamu tidak boleh seperti itu saat bekerja. Pikiran kosong akan membuat kamu lupa, kamu harus fokus. Bahaya buat keselamatanmu, Lang. Saat kerja, fokus, jangan melamun.
LANGIT: Aku ingin pulang.
WARJO: Langit, kalau kamu kangen sama keluarga, kamu kan bisa menelpon mereka. Video call. Kalau setiap kangen kamu pulang ke kampung, kapan kamu akan mengumpulkan uang, menabung sedikit demi sedikit. Toh apa yang kamu kerjakan di sini akhirnya juga buat anak istrimu.
LANGIT KEMBALI KE GONDOLANYA. PANAS DAN ANGIN YANG KENCANG DI ATAS. GONDOLA AKAN BERGESER KE BAGIAN KACA LAINNYA. WARJO MENGHILANG DARI PANGGUNG. TIBA-TIBA TERDENGAR TALI BAJA ITU BERDERIT, LANGIT DI GANTUNGAN BERGOYANG-GOYANG. LANGIT KETAKUTAN.
BEBERAPA SAAT KEMUDIAN KEADAAN KEMBALI TENANG, LANGIT MELANJUTKAN PEKERJAAN. SESAAT KEMUDIAN BERUBAH SUNYI. MENYISAKAN DESAH NAFAS DAN DEGUB JANTUNG LANGIT. LALU DI RUANG MASA LALU IA MELIHAT PARA KULI BANGUNAN MENJELANG JAM ISTIRAHAT.
DI SAAT INI, LANGIT BEKERJA BERSAMA MEREKA SAMA-SAMA SEBAGAI KULI BANGUNAN TENGAH MEMBANGUN SEBUAH RUMAH. NAMPAK DI PANGGUNG SEKITAR 6 LAKI-LAKI DAN 2 PEREMPUAN. JIKA MEMUNGKINKAN ADA KOREOGRAFI GERAK PARA PEMAIN DIIRINGI MUSIK/LAGU YANG MENGGAMBARKAN KEGEMBIRAAN.
MUSIK/LAGU:
Gung liwang-liwung, seperti gunung
Cakra berputar di hatinya, berdesing di otaknya
Gelar gulung riwayat kembara manusia
Ada saatnya peluang datang
Di saat lain tak temui jalan
Telah berkali-kali mati dan hilang
Dan ternyata kita tak sendirian
Bergerak saja turuti garisnya
Gembira apapun keadaannya
Yakin saja pada kaki dan langkah
Semesta berikan jalannya
TIBA-TIBA SEORANG KULI TERJATUH.
KULI: Aduh… Aduuh!!
SEMUA KULI LAINNYA MENDEKAT DAN MENGGOTONGNYA KE TENGAH.
KULI: Aduuh… Aduuh!!
KULI: Kamu kenapa?
KULI: Makannya hati-hati!
KULI: Dia terlalu ngoyo!
KULI: Aku juga bilang apa, sedikit-sedikit saja.
KULI: Aduuh… Aduuh!!
KULI: Bawa ke rumah sakit.
KULI (YANG KESAKITAN): Ndak usah. Nanti juga sembuh. Aduuh… Aduuh..!!
PARA KULI SIBUK MEMBANTUNYA. ADA YANG MEMBETULKAN DUDUKNYA, ADA YANG MEMBEBAT KAKI DENGAN KAIN, ADA YANG MENGAMBILKAN AIR MINUM, DAN SETERUSNYA MEREKA BERUSAHA MENOLONG.
KULI: Kalau tidak mau ke rumah sakit, kamu jangan bilang-bilang ke mandor lo.
KULI: Kalau sampai ketahuan, dan kita ndak bawa ke rumah sakit, kita semua nanti yang disalahkan.
KULI: Kamu sendiri gimana?
KULI: Aduuh…. Aku di sini saja. Kalau besok aku ndak kerja, aku ndak dapat uang.
KULI: (MEROGOH SAKU CELANANYA DAN MEMBERIKAN UANG) Mas, ini aku ada sedikit uang. Mas pulang saja sana, istirahat, pijet.
KULI: Ndak usah. Nanti juga sembuh. (BEBERAPA SAAT KEMUDIAN MATANYA BERKACA-KACA, MENANGIS).
LANGIT: Ini sudah ndak bener. Kerja tanpa dibekali alat pengaman. Apa mereka ndak tahu resiko kecelakaan kerja?
KULI: Tahu.
KULI: Cuma pura-pura ndak tahu aja.
KULI: Kita itu kuli-kuli rendahan. Upahnya pas-pasan.
KULI: Tapi soal keselatan, kan penting.
KULI: Penting. Tapi lebih penting masuk kantong sendiri.
KULI: Dikorupsi?
SEMUA DIAM.
LANGIT: Aku tidak betah di sini.
KULI: Akan kemana?
KULI: Di tempat lain belum tentu ada pekerjaan.
LANGIT: Iya. Tapi aku akan keluar saja. Kita banting tulang seperti ndak ada harganya sama sekali.
KULI: Hahaha… Tapi kita juga bisanya apa? Tidak bisa apa-apa. Sudah terima saja. Jangan gengsi!
LANGIT: Aku tidak gengsi!
KULI: Kalau tidak gengsi, ya udah, terima saja. Kerja apa adanya, yang bener.
LANGIT: Aku tidak gengsi. Kalian saja yang tidak punya otak!
KULI: Apa kau bilang? Kamu punya otak, mungkin, tapi kamu jelas tidak punya hati.
LANGIT: Apa lagi ini? Kamu sudah menyebutku gengsi, sekarang tidak punya hati. Sebutkan, apa lagi, bajingan?!
KULI: Kalau kamu punya hati, kamu tidak akan meninggalkan pekerjaan.
KULI: Kau mau kasih makan anak istrimu dengan batu? Nih, batu!! Makaan!! Bawa pulang sana!!
MEREKA MENGEROYOK LANGIT, HINGGA AKHIRNYA LANGIT TERKAPAR. ORANG-ORANG MENINGGALKAN LANGIT YANG TERKAPAR SEORANG DIRI. IA MERASA MELIHAT SRI DI DEKATNYA.
SRI: Lang…. Kalau kamu merasa capek, pulanglah sebentar. Kamu laki-laki, dan aku mengandalkanmu.
TIBA-TIBA TALI BAJA PENGGANTUNG GONDOLA MLOROT SEBELAH. LANGIT BENAR-BENAR KETAKUTAN. TETAPI OPERATOR GONDOLA MENYARANKAN AGAR LANGIT MEMPERBAIKINYA DI ATAS. PEMBICARAAN ANTARA LANGIT DAN OPERATOR BERLANGSUNG TEGANG KARENA KEDUANYA SAMA-SAMA PANIK AKAN TERJADI KECELAKAAN.
WARJO: Kabar baik, Koh. Semua customer menyatakan puas dengan hasil kerja perusahaan. Bahkan banyak di antara mereka mau untuk menjadi pelanggan tetap.
KOH ALUNG: Tapi jangan lepas dari pengawasan, Jo. Anak-anak kita itu kalau tidak diawasi, kerjanya seenaknya sendiri. Berapa kali aku mendapati mereka malah ngorok padahal masih jam kerja.
WARJO: Iya, tenang saja, Koh.
KOH ALUNG: Semester kedua aku pengin mengembangkan usaha. Tidak hanya jasa bersih-bersih kaca gedung bertingkat seperti sekarang ini saja.
WARJO: Usaha apa itu, Koh?
KOH ALUNG: Kalau bisa kontraktor atau developer lah.
WARJO: Wah, ide bagus itu, Koh. Ehm, apa ndak kepikiran untuk ikut investasi di IKN, Koh?
KOH ALUNG: Bercanda kamu, duitku belum cukuplah. Biarkan mereka para konglomerat, aku yang kecil-kecilan saja.
WARJO: Eh Koh, serius. Informasi A1, saya ada kenalan yang bisa kita ajak negosiasi kalau koh Alung mau.
KOH ALUNG: Ah, kalau lewat belakang meja, aku ndak mau ah. Orang-orang sekarang sudah cerdas dan kritis. Aku mau bisnis dengan cara yang baik-baik saja.
WARJO: (TERTAWA) Koh Alung bisa berkembang pesat seperti saat ini, apa dengan cara baik-baik saja. Jujur…
KOH ALUNG: Eh, itu bisa dilakukan pada orde-orde terdahulu. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Niat baik untuk membantu saja bisa masuk pasal gratifikasi, Jo… Kita sudah ndak bisa macem-macem lagi. Sudahlah, daripada kita hancur, mending kita berbisnis dengan cara yang baik-baik saja.
KOH ALUNG: Aku punya ambisi besar untuk mengembangkan bisnis ini lebih jauh lagi. Mungkin ke bidang-bidang baru. Kayaknya memang kita perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Termasuk pejabat pusat.
WARJO: Sudah saya bilang, Koh, saya punya beberapa koneksi di sana, Koh. Kalau perlu, kita bisa menggunakan cara-cara yang tidak terlalu konvensional.
KOH ALUNG: Bisnis memang mengharuskan kita untuk beradaptasi dengan segala situasi. Tapi, ingat, kita tetap harus menjaga reputasi perusahaan.
WARJO: Tentu, Koh. Maksud Koh Alung, kita harus pintar-pintar bermain, bukan? Oh iya, Koh. Ini ada pengajuan pinjaman, mohon untuk dibantu Koh.
KOH ALUNG: Kamu sudah berkali-kali aku bantu, Langit. Kamu tahu sendiri itu kan? Sekarang kamu datang lagi untuk ngutang lagi?
LANGIT: Tolonglah sekali ini saja, Koh. Aku janji tidak akan minta tolong lagi.
KOH ALUNG: Aku tidak butuh janji itu. Yang aku butuhkan, kepastian kamu mengembalikan pinjamanmu, itu kapan?
LANGIT: Ya, secepat mungkin, Koh. Aku kan harus mengumpulkan dulu.
KOH ALUNG: Langit, begini lo. Bukannya aku tidak mau bantu kamu. Tidak sama sekali. Tapi semua orang kan perlu yang namanya berjuang. Kamu tahu arti kata berjuang?
LANGIT: Tahu, Koh. Akan juga sedang berjuang, Koh.
KOH ALUNG: Berjuang itu fokus. Kamu bilang berjuang, tapi apa yang kamu lakukan sama sekali jauh dari kata berjuang. Dulu aku juga seperti kamu, hidup susah. Tapi aku keras berjuang. Bahkan sampai tidak peduli waktu, pokoknya kerja kerja kerja. Tidak sedikit teman-teman mengajak pergi setiap akhir pekan untuk bersenang-senang. Dan aku pengin menikmati seperti itu, Langit. Tapi aku bertahan untuk tidak ikut menikmati. Dengan susah payah aku mendapatkan hasil, sedikit demi sedikit, lalu dengan mudahnya aku habiskan seketika untuk foya-foya? Ooo…tidak!!
LANGIT: Ya, Koh. Perasaan saya juga ndak pernah foya-foya…
KOH ALUNG: Itu contoh saja. Berjuang itu begitu. Harus keras terhadap diri sendiri! Kerjaan saja tidak pernah beres! Kamu itu memalukan! Bereskan dulu kerjamu!!
KOH ALUNG DIIKUTI WARJO KEMUDIAN PERGI. TASNYA KETINGGALAN. LANGIT MENDEKATI TAS ITU DAN BERMAKSUD MEMBUKANYA. BARU DIA PEGANG, ZELDA DATANG.
ZELDA: Kamu sudah bosan kerja di sini?
LANGIT TERGERAGAP. IA DIHADAPKAN PADA KEHADIRAN ZELDA, KEKASIHNYA PADA SAAT MASIH KULIAH.
ZELDA: Aku sudah mencarimu kemana-mana? Rupanya di sini. Apa kabarmu? Kamu masih ingat aku, kan?
LANGIT: Kamu siapa ya?
ZELDA: Aku Zelda.
LANGIT: Zelda. Aku tidak punya teman bernama Zelda. Siapa kamu sebenarnya?
ZELDA: Aduh, kamu itu sudah pikun rupanya. Sekarang aku dipanggil Zelda, dulu namaku Rohaya.
LANGIT: Rohaya?
ZELDA: Iya. Sudah ingat? Sekarang panggil aku Zelda saja.
LANGIT: Rohaya. Kamu yang jadi sekretaris di BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dulu? Ini kamu?
ZELDA: Kamu presiden BEM-nya, aku sekretarismu. Tapi di luar kegiatan kampus, kamu memanggilku “say…”
LANGIT: Owh… Dimana kamu sekarang, Rohaya?
ZELDA: Zelda
LANGIT: Oh iya, Zelda. Tapi kenapa kamu mengubah namamu?
ZELDA: Karena aku saat ini bukan aku yang dulu.
LANGIT: Begitu ya…
ZELDA: Aku sudah meninggalkan aku yang dulu. Bahkan sudah melupakannya. Sebab aku tidak ingin masa laluku menjadi citra buruk bagiku saat ini. Aku juga sudah tidak aktif berkoar-koar mengkritik pemerintah, seperti ketika masih mahasiswa. Ah, aku malu kalau aku mengenang masa itu. Kita berkobar-kobar turun ke jalan, memperjuangkan hak-hak rakyat.
LANGIT: Bukankah apa yang kita lakukan itu baik, kenapa harus malu.
ZELDA: Dan ternyata sikap kita keliru, Langit. Apa yang kita perjuangkan tidak lagi penting baik buruknya, mulia dan tidaknya, karena toh akhirnya kita harus bersekutu dengan mereka yang mau membantu kita.
LANGIT: Membantu? Kita tidak ada yang membantu. Ketimpangan sosial ini terjadi secara sistematis.
ZELDA: Aku tidak menggarisbawahi “membantu”, aku menekankan kata “bersekutu”. Idealisme kita tiba-tiba sampah, begitu kita mendapatkan roti setelah seharian menahan rasa lapar.
LANGIT: Aku tidak mengerti maksudmu.
ZELDA: Ayolah. Kamu itu cerdas! Jangan pura-pura blo’on begitu. Kamu memilih tidak mau bersekutu dengan mereka, dan kamu harus menjalani hidup susah seperti saat ini. Ini bukan soal kekuatan besar yang melakukan upaya sistematis untuk memojokkan hidupmu. Ini pilihanmu sendiri, kan?
LANGIT: Apa maumu?
ZELDA: Sebagai teman baik, sebagai mantan terindah, aku merasa kasihan melihatmu seperti ini. Ikutlah bersamaku.
ZELDA KELUAR, MASUK BEAST DAN BOX. BEAST, TAK LAIN PERWUJUDAN KETAKUTAN DAN BOX PERWUJUDAN ATAS KETIDAKPASTIAN.
BEAST: Mau kemana? Bersembunyi?
LANGIT: Siapa kamu?
BEAST: Borokmu!
LANGIT: Kamu jangan main-main!!
BEAST: Kau pikir kau tidak punya borok? Borokmu jauh lebih bau, lebih bacin. Bikin muntah, tahu!
LANGIT: Aku tidak pernah mengenalmu. Kamu jangan main-main! Dan aku tidak segan-segan menghabisimu kalau kamu kurangajar.
BEAST: Aku kurangajar?! Pikirmu kau tidak kurangajar pada saat menginginkan uang yang bukan hakmu?! Pikirmu kau normal pada saat bernasfu membunuh temanmu? Pikirmu kau punya adab ketika kamu sangat berhasrat menginginkan istri temanmu?
LANGIT: LANGIT SANGAT TERSINGGUNG. MEREKA SALING BERGELUT, BERGULING- GULING. Apa kau bilang, anjing?! Berani-beraninya kamu menuduhku serendah itu! Kamu seolah-olah lebih tahu aku daripada aku sendiri, memangnya kau siapa!! Anjing!!
BEAST: HANYA TERTAWA MELIHAT LANGIT BERTINGKAH SEPERTI ANAK KECIL YANG LAGI MENGAMUK. Kamu terkejut mengetahui kenyataan dirimu yang sebenarnya? Kamu memang rendah!! Kamu lucu sekali saat melihat tumpukan uang, ngiler kayak anjing kurap yang kelaparan! Matamu menyala melihat temanmu yang sukses! Kamu cemburu kepada teman-temanmu yang nampak bahagia. Bukan cemburu, ya, kau sakit hati! Itu alasanmu sehingga kamu bernafsu menghabisinya? Untung saja kau tidak dihabisi warga!
LANGIT!: Semua tidak seperti yang kamu pikirkan, orang asing!! Dan benar sekarang aku menjadi sakit hati, tapi sama mulutmu! Kata-katamu ngawur! Apa sebenarnya yang kamu maui?
BEAST: Aku? Bagaimana kalau aku menginginkan tubuh istri temanmu? Tubuhnya semok, montok, Kalau berkata-kata, suaranya merdu di telinga. Ya, aku menginginkannya! Bagaimana?!
LANGIT: Biadab! Kau bajingan!!
BEAST: TERTAWA. DAN KEMUDIAN LARI KARENA LANGIT KEMUDIAN AKAN MENGHARDIKNYA. BOX YANG SEDARI DATANG LANGSUNG TIDURAN, SEKARANG BANGUN.
BOX: Kau selalu begitu. Mengeluh, mengumpat, mengamuk seperti setan. Tapi lalu bersembunyi. Kamu tidak pernah ingin melihat dirimu sendiri.
LANGIT: Apa? Kamu lagi, ikut-ikut bicara. Hei, kau dengar, aku tidak tahu siapa kalian. Jangan sesekali mengomentari hidupku. Aku tidak pernah mengganggu kalian. Jatuh bangun dan semua pengalaman, aku sendiri yang hadapi. Sudah, kau tidak perlu ikut campur.
BOX: Duduk di sini, di sebelahku. Aku akan menceritakan sesuatu kepadamu. Apa sebenarnya yang tengah kamu cari?
LANGIT: Aku tidak tahu.
BOX: Kakimu sudah melangkah, dan kamu tidak tahu hendak kemana. Itulah kenapa aku tidak suka dengan kamu. Aku terpenjara di antara mimpi dan rasa bersalahmu, antara jangkauan dan ketakberdayaan. Kamu tahu aku tidak kekal! Aku pasti akan mati! Dan seluruh hidupku akan dihabiskan di sini?! Di satu tempat yang sunyi dan tanpa keindahan sama sekali?!
LANGIT: Hidup, semakin lama semakin menakutkan.
(TIBA-TIBA DIA MULAI MENANGIS) Setiap orang jadi ancaman buatku. Aku tahu, aku tidak berdaya menghadapi kenyataan hidup. Terlalu sakit. Terlalu pahit. Terlalu parah. Aku tidak memiliki harapan untuk kembali.
BOX: Itu pilihan bebas, sebagaimana telah kamu lakukan selama ini.
LANGIT: Kenapa aku dilahirkan sebagai pemberontak?
BOX: Kenapa?
LANGIT: Karena itulah yang membuat hidupku rusak. Jiwaku menjadi liar. Setiap pemikiranku tercium bagai bau kotoran menyengat, membuat semua orang membuang muka. Aku terjebak!! Aku tidak mampu kemana-mana lagi untuk melanjutkan hidup.
BOX: Siapa yang menjebakmu?
LANGIT: Kamu! Kamu yang telah menjebakku! Seharusnya aku tidak peduli dengan ucapanmu. Kamu yang telah membuat aku berhenti di sini, membuatku merasa bersalah, membuatku merasa harus menghentikan langkah.
BOX: Selama ini, buat apa kamu hidup?
LANGIT: Aku lelah, aku putus asa, aku tidak ingin kemana-mana. Tidak usah mengajakku berdebat tentang hidup.
BOX: Kamu ingin hidupmu sukses?
LANGIT: Tidak!
BOX: Kamu ingin bahagia?
LANGIT: Juga tidak!!
BOX: Lalu apa yang kamu inginkan dalam hidup?
LANGIT: Aku tidak ingin terjebak lagi.
ZELDA MASUK.
BEAST: Siapa yang menjebakmu?
BOX: Kamu memang tidak berguna!!
ZELDA: Pecundang!!
BEAST: Sampah!!
LALU KETIGANYA PERGI.
LANGIT: TIBA-TIBA MEMANGGIL MEREKA YANG TELAH PERGI. Hei!! Kalian akan kemana?! Ayo ke sini, kita tuntaskan perbincangan kita!! KEMUDIAN LANGIT BERBICARA KEPADA DIRINYA SENDIRI: Tergantung-gantung. Sendiri. Sepi. (MULAI SEDIH/MENANGIS) Dia bilang aku tidak berguna? Pecundang? Sampah? Sukses dan bahagia, kurasa bukan itu akhir dari kembara yang kuinginkan.
Ya, benar: aku merindukan makna. Hidup yang bermakna. Ya, hidup yang bermakna.
LANGIT DI DALAM GONDOLA, BERSAMA SUARA-SUARA DARI HT, TENGAH BERGERAK TURUN. KEMUDIAN BLACKOUT.
PANGGUNG MENAMPILKAN SUASANA TAHLILAN DI SEBUAH KELUARGA. BEBERAPA WARGA TAMPAK SIBUK MENGATUR INI-ITU.
ORANG: Pak Kyai koq belum datang? Sudah kamu hubungi, kan?
ORANG: Sudah. Mungkin sebentar lagi.
NAMPAK KOH ALUNG, WARJO TENGAH BERBICARA DENGAN SRI.
SRI: Saya tidak itu, kalau malam itu merupakan malam terakhirnya, Jo. Malam itu dia sempat nelpon sampai larut malam. “Katanya mau berangkat pagi, koq jam segini belum tidur?” Aku lihat jam sudah di atas jam 12 malam. Padahal sorenya, Langit juga sempat videocall untuk lihat anaknya. “Tidur besok saja di bus. Kalau sekarang tidur, kuatir malah bangun kesiangan,” katanya.
WARJO: Kamu ndak ada firasat apa-apa, Sri? Langit bilang apa?
SRI: Seingatku ya biasa saja. Tiap minggu memang begitu kebiasaannya. Menelpon, lalu videocall sama anak. Cuma kemarin, dia bilang memang sudah dapat tiket bus untuk pulang. “Koq tiba-tiba mau pulang ada apa?” tanyaku. “Aku kangen Mamak. Kepengin nyekar di kuburannya,” katanya gitu. Batinku, agak aneh dia tiba-tiba merasa kangen sama Ibunya. Tapi aku bilang ke Langit, “Besok aku ke pasar untuk membeli bunga untuk nyekar.” Siangnya sesudah pulang dari pasar, aku dapat kabar kalau busnya kecelakaan di tol. Aku hubungi handphone-nya, ndak nyambung-nyambung. Sampai akhirnya tiga hari yang lalu sebuah ambulance datang.
WARJO: Ya, Sri. Ya sudah. Kamu yang sabar dan tabah, ya. Semoga Langit husnul khatimah.
KOH ALUNG: Kami ikut berdukacita, Mba Sri. Kami juga terkejut mendengar kabar Langit kecelakaan di tol. Langit itu orang baik. Dia sempat pamit memang, mau pulang sebentar untuk nyekar ke makam ibunya.
WARJO: Langit sempat pamit ke Koh Alung. Yahhh, biasa, sambil nge-bon.
SRI: Ohya? Langit punya hutang berapa, Koh?
WARJO: Kalau dihitung ya banyak.
KOH ALUNG: Jo, sudah. Sri, soal itu tidak usah dipikirkan. Aku anggap Langit tidak ada hutang sama saya. Ini ada sedikit sumbangan dukacita untuk Sri dan anak, tidak banyak, tetapi terima saja sebagai ungkapan rasa kehilangan kami atas kepergian Langit. Keberanian dan ketelatenan Langit untuk menjalani pekerjaan yang aku berikan, itu buatku sudah merupakan pengorbanan yang besar juga. Bergelantungan di ketinggian dengan resiko yang tinggi, tidak semua orang mau. Tapi Langit mau, dan dia bekerja keras untuk itu. Sekarang aku yang merasa kehilangan, karena saya akan kesulitan juga untuk mencari orang seperti Langit, yang mau melakukan pekerjaan itu.
ORANG: Pak Kyai sudah datang.
PAK KYAI: Maaf saya datang terlambat.
SRI: Tidak apa-apa, Pak Kyai. Kami semua menunggu Pak Kyai.
PAK KYAI: Kalau begitu kita mulai saja tahlilan-nya, ya. Assalamu’alaikum Wr., Wb. Bapak-Ibu dan saudara sekalian, malam ini kita mengadakan tahlil, tiga hari kepergian Langit. (Dan seterusnya…)
DOA TAHLIL BERLANGSUNG, DAN CAHAYA PANGGUNG MULAI REDUP HINGGA BLACKOUT.
–TAMAT–
Kudus, 2024