Para Petarung

Naskah Lakon: Asa Jatmiko

Setiap orang adalah petarung.

Tokoh: 

  • BIRAWA
  • RUKMI
  • SULI
  • MARTOSUTO
  • SUKENI
  • PARTIYEM
  • KARSITO
  • WARTIYAH
  • MALIK
  • DEN KARSO
  • ORANG-ORANG TAK DIKENAL

Seting: sebuah waktu dan ruang di entah.

Babak 1. 

ADEGAN DIBUKA DENGAN KOOR PARA AKTOR

Telah tertulis di permukaan embun 
Kelahiran cahaya di ufuk pagi buta
Telah tertulis juga di sana
Engkau mesti memanjat lebih tinggi  

Langit menciptakan badai
Bumi melahirkan dukacita
Dimanakah engkau saat itu?
Dimanakah engkau saat itu?

BIRAWA: (Memanggil nama-nama. Yang dipanggil maju satu persatu, menyisakan Suli.) Martosuto. Sukeni. Rukmi. Partiyem. Karsito. Wartiyah.

BIRAWA: Atas nama Den Karso, saya mempromosikan kalian untuk kenaikan jabatan. Dari yang sebelumnya borong, menjadi harian. Kalian akan dibayar bukan berdasarkan jumlah hasil pekerjaan, tetapi dedikasi, loyalitas dan kepemimpinan. Saya berharap kalian akan semakin bersemangat dalam bekerja, membangun dan membesarkan perusahaan ini bersama-sama.

(Kepada Suli) Kamu harusnya akan lebih giat bekerja. Kawan-kawanmu ini adalah contoh. Kamu perlu belajar dari mereka. Tuntutan jaman, kita harus mampu bersaing dengan kompetitor. Kalau tidak mampu bersaing, kita akan mati dilindas mereka. Mereka akan memperketat pengawasan terhadap pekerjaan kalian. Kalau kamu meleng sedikit saja, tidak mematuhi aturan, saya tidak akan segan-segan memecatmu.

MARTOSUTO: Mas Birawa, saya berterimakasih sekali. Saya berkomitmen untuk loyal pada perusahaan dan menyelesaikan pekerjaan yang dipercayakan kepada saya dengan sebaik-baiknya.

BIRAWA: Bagus, Martosuto. Terimakasih.

SUKENI: Saya dan semua kawan-kawan merasa bersyukur sekali, Mas. Semoga Mas Birawa selalu sehat dan dalam lindungan Tuhan yang Maha Kuasa. Amin.

KARSITO: Kamu tidak usah banyak bicara kalau tidak ada faedahnya.

RUKMI: Tapi ini perlu saya jelaskan agar dia tahu kenyataan yang sebenarnya.

KARSITO: Dia itu punya banyak mata. Kamu tidak perlu memberitahu, dia sudah cukup tahu.

RUKMI: Mas, kamu cukup beruntung termasuk orang yang naik jabatan. Tapi janganlah membuatmu lupa.

KARSITO: Orang punya nasib hidupnya sendiri-sendiri.

RUKMI: Oo..begitu?

BIRAWA: Ada apa kalian ribut-ribut di situ?

RUKMI: Mas Birawa, seharusnya kamu memperlakukan sama semuanya. Kenapa dia tidak kamu naikkan juga jabatannya? Kami semua berangkat dari awal yang sama. Dan dia juga telah berusaha memberikan kemampuan terbaiknya untuk perusahaan ini.

KARSITO: Rukmi, sudah cukup. Mas Birawa, menurut saya ini hanya perasaan Rukmi saja.

BIRAWA: Menurutmu Den Karso tidak adil?

RUKMI: Aku tidak mengatakan begitu. Mas, kamu juga telah melihat sendiri, kan, bagaimana dia selama ini dalam bekerja. Tidak ada yang bermasalah, kan?

SUKENI: Sudah, Rukmi. Sepatutnya kamu bersyukur.

RUKMI: Kamu mengajari aku untuk bersyukur?

SUKENI: Aku mengingatkanmu.

PARTIYEM: Halo… haloooo…. Kawan-kawan semua, kenapa kita jadi ribet. Sudah. Sudah. Mensyukuri anugrah yang kita terima, saya ingin mengundang kawan-kawan semua untuk datang ke rumah saya. Pesta kecil-kecilan. Sebentar kita melepaskan penat, dan besok kita mulai bekerja dengan semangat yang berlipat-lipat. Dan Mas Birawa, dengan hormat saya juga mengundang Mas untuk turut hadir, ya.

WARTIYAH: Ayo Rukmi. Tidak usah berkeras hati begini.

BIRAWA: Sebentar. Rukmi. Jika kamu berkeras menghendaki begitu, aku bisa menyampaikannya kepada Den Karso.

WARTIYAH: Menyampaikan apa?

BIRAWA: Apapun itu, Wartiyah. Yah, mumpung Den Karso masih memilih saya untuk menjadi orang kepercayaannya mengatur kalian. Tinggal mau kalian apa, akan saya sampaikan.

RUKMI: Saya ingin mereka semua juga mendapat kenaikan yang sama. Karena dia orang baik, yang sudah bekerja juga dengan baik selama ini. Den Karso pasti mau melihat kenyataan ini. Apa susahnya?

BIRAWA: Apa susahnya untuk diam? Atau kamu ingin Den Karso membatalkan kenaikanmu? Hati-hati kalau bicara! (Lalu ia bernyanyi)

Kau tak akan mengerti 
Kecuali suatu saat nanti
Musim semi berubah petaka
Bukan imaji atau metafora
Ini kenyataan yang harus dihadapi

BIRAWA MENDEKATI RUKMI: Kalau kamu ingin seperti dia, itu pilihanmu.

BIRAWA PERGI KEMUDIAN DIIKUTI ORANG-ORANG. DARI ARAH LAIN, MASUK SEKELOMPOK ORANG LAINNYA. MEREKA MENJADI SULI-SULI YANG LAIN.

SULI: (bernyanyi)

Kecemasan bisa jadi 
Ketakutan bisa jadi
Dirimu yang belum kembali

Kekuatan bisa jadi
Pengharapan bisa jadi
Matahari yang segera terbit

RUKMI MASUK.

RUKMI: Kenapa kamu hanya diam?

SULI: (diam)

RUKMI: Suli. Mengapa kamu diam saja? Mengapa kamu tidak memprotes ketidakadilan ini?

SULI: Rukmi, apa yang membuatmu bersuara?

RUKMI: Ha?! Ya, karena kamu diperlakukan tidak adil. Kawan-kawanmu naik jabatan, dan kamu sendiri yang tidak. Ini aneh, bukan?

SULI: Kamu marah? Aku tidak. Aku tidak merasa kalau aku telah diperlakukan tidak adil. Semua baik-baik saja.

RUKMI: Suli, semua baik-baik saja?

SULI: (Suli mengangguk) Rukmi, sudahlah. Aku tahu betul, aku baik-baik saja. Kamu tidak perlu kuatirkan aku. Ini adil buatku.

RUKMI: Suli, ada apa sebenarnya? Bukankah selama ini justru Mas Birawa sangat memperhatikanmu? Kenapa tiba-tiba dia seolah berubah?

BUNYI LANGKAH KAKI, SESEORANG (BIRAWA) MASUK. RUKMI LANGSUNG MENYELINAP BERSEMBUNYI.

BIRAWA: Suli, aku sengaja mampir, membawakanmu martabak telor kesukaanmu. Kamu pasti belum makan malam, kan? Ini martabak telor yang di pojok timur alun-alun itu. Kata orang-orang, hanya di situ yang terkenal dan paling enak.

SULI: Aku belum lapar. Bawa pulang saja, untuk keluargamu.

BIRAWA: Aku tidak biasa membawa pulang oleh-oleh. Aku taruh di sini saja. Aku berharap kamu mau, tapi kalau tidak pun tak apa. Biar di sini.

(Mendekati Suli) Suli. Aku ingin tanya sekali lagi. Sebenarnya aku merasa berat untuk menanyakan ini sama kamu. Aku tahu benar apa yang kamu rasakan. Dan itu menyakitkan. Untuk itulah dengan segala cara aku berusaha mempertahankanmu bekerja di sini.

Bagaimana pun Den Karso adalah pemilik perusahaan ini. Majikan kita semua. Aku, kamu dan semua kawan-kawanmu itu sama saja: derajatnya sama sebagai anak buah. Apa yang menjadi perkataannya, menjadi hukum yang harus kita taati. Menjadi perintah yang yang harus kita laksanakan. Tetapi kita tahu juga, Den Karso adalah seorang yang bijaksana dalam memimpin. Jika ada kesalahan-kesalahan kecil, itu saya kira wajar dan manusiawi, kan? Dan kita harus siap untuk menjadi serbet untuk membersihkannya.

Coba saja kau hitung, berapa kebaikan yang telah ia berikan sama kamu. Pastilah tidak sebanding dengan apa yang kita kerjakan untuknya. 

SULI: Mas…

BIRAWA: Singkatnya begini, Suli. Den Karso sebenarnya menyuruhku untuk memintamu pergi dari sini, kalau kamu tidak mau menggugurkan kandunganmu. Sebab ini akan menjadi aib bagi kita semua. Kalau kamu sudah menggugurkan kandunganmu, maka semuanya beres sudah. Kamu akan diperlakukan sama dengan yang lain, juga soal kenaikan jabatan. Suli, aku diminta Den Karso untuk menanyakan sekali lagi apakah kandunganmu sudah kamu gugurkan?

SULI: Mas Birawa…

BIRAWA: Ya, Suli. Kamu tidak usah takut. Kami semua di sini menyayangi kamu.  Aku ada di pihakmu, ingat itu. Kita punya banyak masalah, tapi kita selesaikan satu demi satu. Turutilah Den Karso: apakah kamu sudah gugurkan kandunganmu? Aku tahu yang dibayangkan Den Karso kalau semua ini tersiar menjadi rahasia umum. Den Karso akan wirang, Suli. Dan dampaknya juga kita semua yang kena.

(Suli hanya diam saja.)

BIRAWA: Kabari secepatnya, Suli, biar aku bisa secepatnya bisa memberikan laporan ke Den Karso. Ohya, jangan lupa martabak telornya dimakan, ya.

BIRAWA PERGI.

RUKMI: Suli? Kamu… Kamu?? (Setengah berbisik) Den Karso?

RUKMI TIBA-TIBA MENUTUP KEDUA TELINGANYA, DAN SEPERTINYA SEMAKIN KERAS HINGGA IA SEMPOYONGAN DAN KELUAR.

SULI: (Suli bernyanyi, sementara itu juga muncul sekelompok orang menjadi Suli-Suli yang lain hingga nanti terdengar tangis bayi)

Degub yang kudengar 
lecutan halilintar
bisakah kuredakan
hingga sumsum tulang

Detak yang berdegub
nafas yang tersumbat
mampukah kusenyapkan
dalam nadi yang rapuh

Kecemasan bisa jadi
Ketakutan bisa jadi
Dirimu yang belum kembali

Kekuatan bisa jadi
Pengharapan bisa jadi
Matahari yang segera terbit

BLACKOUT

Babak 2. 

MARTOSUTO MASUK BERSAMA SEORANG PEMUDA BERNAMA MALIK.

MARTOSUTO: Kau tunggu di sini dulu, biar aku periksa ke dalam.

MALIK: (Mengangguk). 

DENGAN BERJINGKAT MARTOSUTO MENCOBA MASUK KE DALAM SEBUAH RUANGAN. TERDENGAR BEBERAPA BARANG JATUH SEHINGGA MENIMBULKAN SUARA. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN MARTOSUTO DENGAN MENENTENG SEBUAH TAS NAMPAK KELUAR DARI RUANGAN HENDAK MENGHAMPIRI MALIK. TAPI KEMUDIAN IA MUNDUR  LAGI KARENA MENDENGAR LANGKAH ORANG MENDEKAT.

KARSITO: He! Siapa di situ?

MALIK: Saya, Pak. Malik. 

KARSITO: Lagi apa di sini?

MALIK: Emm… (bingung). Tadi disuruh Pak Martosuto untuk berjaga di sini.

KARSITO: Tugasmu berjaga?

MALIK: Tidak, Pak. Di bagian produksi.

KARSITO: Sudah berapa lama kamu kerja di sini?

MALIK: Hari ini hari ke 9, Pak.

KARSITO: Busyet!!

MALIK: Cuma tadi sore Pak Martosuto meminta saya untuk berjaga di sini. Saya mau saja, Pak, karena saya juga sedang ada banyak kebutuhan. Jadi pikir saya, saya bisa cari tambahan dengan jaga di ruangan ini.

KARSITO: Martosuto dimana?

MALIK: Nah, itu saya kurang tahu, Pak.

KARSITO: Malik, tidak setiap orang bisa masuk ruangan ini. Hanya orang-orang kepercayaan Den Karso saja, itu pun tidak semuanya. Kamu harus hati-hati. Ada banyak barang-barang berharga dan rahasia di sini. Heran, kenapa Martosuto menyuruh anak ingusan seperti kamu untuk jaga di sini.

MALIK: Saya hanya melaksanakan perintah, Pak Karsito. Malah baru tahu kalau ruangan ini ruangan terlarang.

KARSITO: (Melihat sebuah tas tergeletak di belakang. Kemudian ia mengambilnya.) Kamu tidak sedang berbohong kan, Malik? Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya. Aku juga tidak tahu siapa yang membawamu masuk kerja di ini. Apa maksudmu berada di ruangan ini, aku juga tidak tahu. Tapi jelas, Malik, aku tahu kamu adalah maling.

MALIK: Pak Karsito, beneran, saya tidak mengambil barang apapun di ruangan ini. Bapak lihat sendiri saya tidak membawa apapun.

KARSITO: Kamu cari apa di sini?

MALIK: Kalau saya maling, tentu saya akan bersembunyi dan lari begitu mendengar ada orang kemari, Pak.

KARSITO: Itu kalau tidak ketahuan. Kalau sudah tertangkap basah begini?

MALIK: Tertangkap basah bagaimana, Pak? Saya tidak mengambil apapun. Saya memang butuh uang banyak, untuk hidupku, untuk hidup ibuku, tapi saya bukan maling. Sepanjang hidup saya, Pak, saya tidak melakukan perbuatan mencuri, Pak. Saya bersumpah!

KARSITO: (Mengambil tas yang tergeletak) Aku sangat mengenal tas ini. Posisinya ada di dalam sana. Dan yang punya tas seperti hanya Den Karso.

MALIK: Saya tidak mengambilnya, Pak.

KARSITO: Malik, kamu salah karena kamu orang asing yang berada di ruangan terlarang ini. Kamu juga tertangkap tangan memindahkan tas ini dari posisinya di dalam ruangan dan aku mendapatinya ada di sini. Katakan, kalau bukan kamu, lantas perbuatan siapa? (Tiba-tiba Karsito mengeluarkan pistol dan menodongkan tepat ke wajah Malik). Kamu akan mengakui perbuatanmu, atau kuledakkan kepalamu, Malik?

MALIK: (gemetar ketakutan)

MARTOSUTO KELUAR DARI KEGELAPAN, DAN MENODONGKAN SESUATU PADA BAGIAN BELAKANG KEPALA KARSITO. MARTOSUTO MELUCUTI PISTOL KARSITO.

KARSITO: Martosuto. Ada apa ini? Kamu menyuruh Malik ke ruangan ini? Apa yang sedang kamu rencanakan? Aku bisa memberitahukan ini pada Mas Birawa dan Den Karso, dan kamu bisa dipecat. Kamu sudah melanggar aturan!

MARTOSUTO: Terkadang kita harus mengambil pilihan yang sulit, Karsito. Mengambil pilihan yang semuanya memiliki resiko, dan aku tidak bisa menghindarinya. Birawa yang menyuruhku masuk ruangan terlarang ini.

KARSITO: Untuk?

MARTOSUTO: Untuk perusahaan ini. Perusahaan ini harus diselamatkan Karsito. Apa kamu tahu desas-desus yang pernah beredar, Den Karso menyuruh Suli untuk menggugurkan kandungannya? Dan Suli tidak mau. Den Karso tidak ingin namanya menjadi cemar karena pasti berdampak buruk untuk citra perusahaan. Tapi Suli juga tidak ingin menggugurkan bayi dalam kandungannya, karena itu adalah buah cinta yang hidup, manusia yang harus ia jaga.

KARSITO: Den Karso meminta untuk menggugurkan kandungannya, itu karena Den Karso melihat potensi Suli untuk promosi kenaikan jabatan. Demi karier Suli sendiri. Den Karso menerapkan hal itu tidak hanya kepada Suli, tapi juga kepada setiap pegawainya. Jadi bukan karena Den Karso yang menghamili Suli. Apalagi waktu itu Suli belum bersuami, jelas itu akan membuat citra buruk perusahaan. 

MARTOSUTO: Begitulah yang beredar di masyarakat. Dan yang seharusnya diketahui masyarakat. Yang terjadi sebenarnya, Suli hamil oleh Den Karso.

KARSITO: Hati-hati Martosuto. Ini bisa jadi fitnah. Kamu yakin?

MARTOSUTO: Mungkin. Aku tidak melihat sendiri. Ini kesimpulanku sendiri. Kamu ingat mulai kapan Den Karso jatuh sakit? Itu bertepatan dengan kelahiran jabang bayinya Suli. Sehari sesudah Den Karso tahu, bayi itu lahir kemudian mati. Coba kamu pikir, kenapa Den Karso seakan-akan punya kaitan dengan apa yang dialami Suli dan bayinya? Pasti kematian bayi itu yang membuat Den Karso nge-drop, mulai sakit-sakitan.

KARSITO: Itu asumsimu. Kamu bicara hanya “seakan-akan”. Tidak ada bukti yang menunjukan hal itu.

MARTOSUTO: Terserah. Dan aku khawatir dengan nasib perusahaan ini kalau Den Karso tidak juga membaik kesehatannya.

KARSITO: Alibimu saja!! Kamu berlagak hendak menyelamatkan perusahaan ini, modalmu apa?

MARTOSUTO: Ini (mengambil tas). Aku mengambil beberapa dokumen penting dan akta tanah. Kita tidak tahu perusahaan ini akan mulai goyah. Tetapi paling tidak, aku akan berusaha mencegah. Agar perusahaan ini tetap berdiri tegak, produksi, pemasaran dan semua operasional berjalan lancar. Dan demi itu semua Karsito, kamu akan membantuku kan?

KARSITO: Den Karso memang sedang sakit. Tetapi itu kan siklus wajar, setiap orang mengalaminya. Sehat sakit, suka duka, susah senang… Kamu mengkhawatirkannya seakan-akan Den Karso sudah sekarat! Bajingan kamu!

KARSITO HENDAK MELABRAK MARTOSUTO, TAPI KEMUDIAN DIHADANG MALIK. 

MALIK: Pak! Pak Karsito, sudah! Saya tidak tahu duduk persoalannya, tapi sudahlah. Bicarakan dengan baik-baik, Pak! Pak Martosuto, sudah.

MARTOSUTO: Karsito, kamu tahu siapa Malik?

KARSITO: Anak ingusan yang belum becus bekerja. Dan dia bekerja di sini, kamu yang bawa, kan.

MARTOSUTO: Memang aku yang mengajaknya bekerja di sini. Kasihan hidupnya. Tapi aku tahu betul, jelas dia seorang anak yang rajin, dan kalau kamu mau mengajarinya, aku yakin dia akan bisa mengerjakan pekerjaannya dengan baik di sini.

LALU SATU PERSATU ORANG-ORANG ITU MASUK DAN MEMBELENGGU KARSITO. WARTIYAH, SUKENI, PARTIYEM DAN ORANG-ORANG TAK DIKENAL.

MALIK: Ada apa ini? Lepaskan! Pak Karsito!

KARSITO: Martosuto. Jangan bermain-main? Dasar bajingan bejat kamu, ya!

MARTOSUTO: Wartiyah, Sukeni dan Partiyem, ketahuilah. Orang ini (maksudnya Karsito) telah membuat keributan di sini. Dan orang ini juga yang telah mengambil tas milik Den Karso di ruang terlarang ini. Karsito ini maling. Tikus busuk yang ada di perusahaan Den Karso. (Memberikan pistol Karsito ke salah satu). Bawa Karsito keluar dari kota ini. Lenyapkan!

KARSITO: Ini tidak benar!! Dialah malingnya!! Ini Fitnah!! Fitnah! Aku bersumpah tidak melakukannya!

MALIK: Ee… Bapak-bapak dan Ibu-ibu… Yang terjadi sebetulnya bukan begitu…

MARTOSUTO: (Memotong Malik) Diam, Malik. Kamu tahu apa? Bawa dia pergi dari sini! (bernyanyi)

Kau tak cukup mengerti
Mengapa ini yang harus terjadi
Dialah ayah tubuhmu
Tapi akulah ayah hatimu
Dari rahim yang sama
yang membuat ibumu sengsara
Kau kan segera pahami
Mengapa ini yang harus terjadi

MALIK: (bernyanyi)

Bagaikan dingin pagi yang mencair
Dari daun ke daun lalu tergelincir
Apakah kau yang jadi penolongku
Ataukah kau yang jadi musuh jiwaku
Terserap aku di tanah darah

KOOR:

Kau tak cukup mengerti
Mengapa ini yang harus terjadi
Bagaikan dingin pagi yang mencair
dari daun ke daun lalu tergelincir
Dan terserap di tanah darah

BLACKOUT

Babak 3. 

RUKMI SUDAH BERADA DI PANGGUNG KETIKA LAMPU MENYALA. DARI PENAMPILANNYA, RUKMI NAMPAK SEPERTI ORANG YANG TIDAK TERURUS. LUSUH. HANYA KEDUA MATANYA YANG MASIH NAMPAK BERSINAR.

RUKMI: Melampaui masa demi masa, perjalanan seperti tak ada ujungnya. Akan kemana? Kapan sampainya? Kecuali mereka yang sedang lupa, hidup tidaklah selamanya. Masing-masing antri menanti ajal tiba. Tetapi kehilangan sudah kusandang sejak lama. Kehilangan demi kehilangan. Aku sudah kehilangan sebelum kehilangan. Bahkan kenangan pun, terenggut musnah, entah dimana. Tak lagi memiliki alasan untuk bertahan, sebenarnya sama saja menyiapkan liang istirahat panjang. Tetapi aku tidak boleh menyerah.

WARTIYAH, SUKENI DAN PARTIYEM MASUK. DARI DALAM MEREKA SUDAH MULAI BERBICARA.

WARTIYAH: Aku masih terngiang-ngiang wajahnya meregang nyawa. Kasihan.

SUKENI: Kita sudah sepakat sewaktu perjalanan, kita tidak akan menembaknya, tetapi cukup mengusirnya untuk tidak kembali ke kota ini.

PARTIYEM: Kita hanya melaksanakan perintah Martosuto. Sudahlah! Segala dosanya biar dia yang tanggung.

SUKENI: Bukan masalah dosa atau tidak. Dia juga kawan lama kita. Mengapa kita tidak ada rasa iba sedikit pun. Kita selama ini bekerja, sedikit banyak hasil jerih payah dia dia juga. Hanya karena hal kecil saja kita menghabisinya tanpa ampun.

WARTIYAH: Rukmi, kamu ada di sini? Kamu sudah sembuh? Kamu sedang apa?

RUKMI: Siapa yang telah kalian habisi?

WARTIYAH: Tidak, Rukmi. Kamu salah dengar.

RUKMI: Kalian baru saja membunuh orang?

SUKENI: Tidak, Rukmi. Kami baru saja dari pinggir hutan di perbatasan kota, untuk mengecek langsung bagian pemasaran. Kita semua tahu akhir-akhir ini produksi kita terus-menerus mengalami penurunan.

RUKMI: Begitu. Sudah semalaman Karsito tidak pulang ke rumah. Tidak biasanya dia begitu.

PARTIYEM: Tenang saja, Rukmi, tidak terjadi apa-apa. Mungkin dia sedang ada tugas khusus dari Mas Birawa.

RUKMI: Kehidupan di luar rumah, tak pernah bisa diduga. Ia selalu memberikan kejutan-kejutan.

PARTIYEM: Betul, Rukmi. Dulu kalian sering bertengkar. Eh, tidak tahunya kalian malah dipersatukan kemudian.

WARTIYAH: Kamu pun begitu. Aku sependapat dengan Rukmi. Dulu hidupmu juga tidak karuan, kan?

PARTIYEM: Karena aku ingin berubah, Wartiyah. Aku dulu seorang penjaja sex, lonte, dan berkat bantuanmu, aku sekarang bekerja. Normal seperti orang-orang lainnya. Tetapi kamu tidak tahu, sama seperti pikiranmu terhadapku; aku tetap saja wanita kotor, apalagi sebutannya? Betapapun aku ingin membersihkannya. Tidak apa-apa. Aku berdamai, mengakui bahwa itu bagian dari masa laluku.

Kalian tidak tahu rasanya hidup dibayang-bayangi ketakutan, kelaparan dan kesusahan. Ancaman penyakit mematikan, menghiba pada setiap lelaki yang datang, dan harapan-harapan yang terbakar oleh kerakusan. Tapi aku mencintai kehidupan ini. Betapa pun telah habis semua yang aku punya, aku berusaha untuk mencintai kehidupanku. Ada yang selama ini harus kuperjuangkan.

SUKENI: Partiyem, kita semua juga begitu. Tidak ada yang berangkat dari ada. Kita semua berangkat dari ketiadaan.

PARTIYEM: Tapi kamu tidak pernah mau jujur terhadap dirimu sendiri, Sukeni. Kamu pandai menutupinya. 

SUKENI: Aku hanya tidak ingin orang lain terlibat dalam urusan pribadiku.

PARTIYEM: Biar apa, Sukeni? Agar kamu selalu tampak sempurna di mata orang lain? Atau agar kamu bisa lincah melompat-lompat untuk berpihak? Setiap orang punya masa lalu, punya kesalahan, tetapi setiap orang juga diberi hak memiliki kesempatan untuk memperbaikinya.

SUKENI: Benar. Dan aku ingin memperbaikinya dengan tanpa melilbatkan orang lain, Partiyem.

PARTIYEM: Kamu pengkhianat! Jujur saja, aku tidak pernah benar-benar percaya sama kamu. Kamu selalu mencari jalan penyelamatan untuk dirimu sendiri. 

SUKENI: Selama ini aku bersama kalian. Tidak ada yang aku tutup-tutupi. Apa masalahmu sebenarnya?

WARTIYAH: Sukeni, benarkah kamu yang melaporkan kepada Mas Birawa, Partiyem telah memanipulasi laporan keuangan bagian pemasaran? 

SUKENI: Wartiyah, sudah berkali-kali aku ceritakan soal ini. Transaksi-transaksi keuangan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Dia memang koruptor! Dan aku laporkan ini ke Mas Birawa, justru untuk menyelamatkan Partiyem, agar dia tetap diperbolehkan bekerja di sini.

PARTIYEM: Pecat saja! Kamu lebih senang kalau aku dipecat, kan?

WARTIYAH: Ini bukan soal uang semata, Sukeni. Kepercayaan. Sesudah peristiwa itu tampaknya Mas Birawa kemudian menjadi sangat sulit untuk percaya sama Partiyem.

SUKENI: Itu perasaan saja. Kalau Mas Birawa tidak percaya lagi, Partiyem pasti sudah di-PHK. Buktinya, dia masih di sini, bekerja di perusahaan ini bersama kita.

PARTIYEM: Aku tidak memanipulasi laporan keuangan, Sukeni. Aku tidak korupsi. Aku tidak makan uang haram!!

SUKENI: Lalu siapa? Kamu yang waktu itu bekerja di bagian itu, kamu yang harus bertanggungjawab.

PARTIYEM: Kamu bajingan! (KELUAR)

WARTIYAH: Partiyem! Tunggu!! (MENGEJAR SUKENI)

RUKMI: Mungkin memang dia tidak pulang. Dia memang terlalu keras bekerja, sampai-sampai sering tidak mempedulikan hal lainnya. Lupa waktu, lupa makan, lupa pulang…

SUKENI: Pasti pulang.

RUKMI: (bernyanyi)

Mengapa kesaksian dan peristiwa
Menjadi dua arus yang berbeda
Bukankah kau mendayung sendiri
Sampan kecil dimana kau berdiri

SUKENI: (bernyanyi)

Cakrawala mengaburkan pandang
Bisa saja terpisah meski satu lautan

KOOR (ORANG-ORANG TAK DIKENAL): (bernyanyi)

Akan ditentukan tempat berhenti
Melabuhkan segala perih dan nyeri
Namun di setiap ayunan langkah
Waktu sempat diam
Mempertimbangkan jejak pada tanah

RUKMI: Aku telah menyerahkan sepenuhnya diriku. Berdamai dengan cemas dan ketakutan. Berdamai dengan kematian yang sewaktu-waktu datang.

SUKENI: Terpaksa aku melakukannya, Rukmi. Aku suka tempat ibadah, dan aku suka membantu mereka membangun tempat ibadah. Aku ingin dunia ini hidup dalam kedamaian. Tempat-tempat ibadah perlu banyak didirikan. Dan lihatlah, masyarakat kita yang rukun, karena rohani mereka juga dicukupkan.

RUKMI: Kamu membantu mereka?

SUKENI: Ya, pasti. Perusahaan Den Karso sudah teramat besar. Dan akan sangat keterlaluan apabila mereka tidak peduli dengan masyarakatnya. Berulangkali aku jelaskan ini kepada Den Karso dan tidak pernah ditanggapi dengan sunggguh-sungguh. Tetapi aku berniat baik, agar citra perusahaan ini tetap terjaga. Sudah aku putuskan untuk memanipulasi laporan keuangan bagian pemasaran, agar aku bisa membantu masyarakat membangun tempat-tempat ibadah. Dan masyarakat senang, katanya, “kehadiran perusahaan ini memberi manfaat banyak bagi masyarakat”. Aku salah?

BLACKOUT

Babak 4. 

BIRAWA MEMAPAH SULI MASUK. IA MERASA KESAKITAN PADA BAGIAN PINGGULNYA SAAT BERJALAN SEHINGGA SULI MEMAPAHNYA, UNTUK KEMUDIAN MEMBANTUNYA DUDUK.

BIRAWA: Bagaimana rasanya, sudah semakin membaik?

SULI: (menatap Birawa, seperti menjawab “Ya, semakin baik.”)

BIRAWA: Syukurlah. Pelan-pelan nanti juga kamu akan sembuh, kembali sehat seperti sediakala. Kamu butuh sesuatu? Minum atau makan? Kebetulan aku tadi mampir ke tukang martabak telor di alun-alun, martabak telor yang paling enak dan terkenal itu. Mau?

SULI: (“Tidak. Sudah cukup. Aku masih kenyang.”)

BIRAWA: Ya, baiklah. Martabak telor itu katanya paling enak. Tetapi setiap aku membelinya dan menawarkan kepada siapapun, tidak ada yang mau memakannya. Atau mungkin martabak telor itu hanya enak kalau dimakan di tempat, kalau dibawa pulang menjadi tidak enak? (TERTAWA SENDIRI)

SULI: (Diam, hanya tersenyum saja.)

BIRAWA: Kamu cantik sekali, Suli.

SULI: (“Kamu bicara apa?!”

BIRAWA: Ah, maaf. Maaf, Suli. Tapi jujur, kamu memang cantik. Tidak heran kalau Den Karso tertarik dan jatuh hati padamu. Ah, kalau saja tidak ada Den Karso…

Suli, kamu tahu bagaimana aku selama ini memperjuangkan perusahaan ini? Aku berjuang sendirian, Suli. Dan aku yang selalu berhadap-hadapan dengan Den Karso secara langsung, tidak pernah mendapatkan hak istimewa apapun atau apresiasi apapun dari Den Karso. Ia mengganggap aku biasa-biasa saja. Dari hal kecil sampai soal-soal berbahaya, dari A sampai Z, dari kecil hingga perusahaan menjadi sebesar ini, Suli, semuanya aku. Kamu tahu, sementara dia hanya duduk manis tunggu laporan.

Aku memang dipercaya hingga soal-soal rahasia. Bagaimana cara dia membungkam para buruh yang demonstrasi minta kenaikan upah, bagaimana dia punya taktik curang menelikung musuh-musuh perusahaannya, pajak, semuanya. Bisnis memang telah membuat seseorang menjadi berhati batu, pikirannya uang melulu. Silakan saja, itu pilihannya. Tapi Suli, siapa eksekutornya? Bi-ra-wa. Sehingga setiap resiko, siapa yang menanggungnya? Bi-ra-wa juga.

Aku tidak bisa menerima semua itu, Suli. Dia tidak hanya telah merenggut semua kehidupanku hanya untuk perusahaannya, tapi lebih dari itu, dia secara sadar atau tidak telah merampok segala urusan pribadiku dan membunuh kemanusiaanku. Dia menginginkanmu tanpa mencintaimu, Suli. Kamu tahu kenapa? Sebab dia tahu aku mencintaimu.

SULI: (“Aku tahu, Birawa. Kalau dia mencintai, dia tidak akan memperlakukanku seperti ini.”)

BIRAWA: Tapi aku tidak berdaya. Dia telah menebus mahal untuk kebebasanku sewaktu aku di penjara karena membunuh seorang kepala polisi. Bicaralah, Suli. Kamu pun menyimpan banyak hal untuk disampaikan, kan? Jangan diam saja. Den Karso pasti mau mendengarkanmu.

SULI: (“Aku pun terpenjara, Birawa.”) TIBA-TIBA SULI MERASAKAN KESAKITAN KEMBALI, DI PINGGULNYA.

BIRAWA: (Mendekat. Bingung.) Suli. Suli..

SULI: (Tidak apa-apa. Aku menerima semua perlakuannya kepadaku.”)

BIRAWA: Ya, kamu sendiri tidak pernah mau menjelaskan kepadanya. Kamu sama sekali tidak pernah mau untuk membela diri sedikit saja. Kenapa Suli?

SULI: (“Aku ingin berjalan ke sana, dekat jendela.”) SULI MENYERINGAI SAKIT KETIKA DIA BERUSAHA BERDIRI SENDIRI)

BIRAWA: Suli, mau kemana? Sebentar, biar aku bantu. (SAMBIL MEMAPAH) Sebenarnya, sejak kapan kamu mulai merasakan sakit begini, Suli?

SULI: (“Sejak Den Karso menginginkanku.”)

BIRAWA MEMAPAH SULI UNTUK KEMUDIAN BERJALAN MENDEKATI JENDELA. SULI MEMANDANG KE LUAR DAN MENGHIRUP UDARA SEGAR, RAMBUTNYA BERKIBARAN. TAK LAMA KEMUDIAN TERLIHAT MATA SULI MENITIKKAN AIR MATA. SAAT ITULAH NYANYIAN KOOR TERDENGAR.

KOOR:

Mimpi-mimpi orang kecil sudah dituliskan
Mengapung tak berkesudahan
Tak juga mencapai kenyataan

Jangan-jangan takdir kita sudah digariskan
Mengapung tak berkesudahan
Seperti ancaman. Ancaman.

SULI:

Sedekat udara kekasih menemani
Sejauh tangan tak kuasa mengusap
Wajah itu hidup tapi membisu
Dia yang mengangkatku dari jurang
Dia juga yang membuatku jalang
Sebab dia hanya menginginkan
Pelampiasan dendam dan amarah
Tanpa pernah mencintai sesungguhnya.

KOOR & SULI:

Jangan-jangan takdir kita sudah digariskan
Mengapung tak berkesudahan
Seperti ancaman. Ancaman.


Jangan-jangan takdir kita sudah digariskan
Mengapung tak berkesudahan
Seperti ancaman. Ancaman.

MALIK MASUK

MALIK: Pak Birawa. Maaf mengganggu. Bapak diminta menghadap Den Karso. Kalau bisa secepatnya.

BIRAWA: (Tergeragap. Dan kemudian memapah Suli duduk kembali.) Malik. Ada apa?

MALIK: Saya kurang tahu, Pak.

BIRAWA: Kamu tahu aku ada di sini?

MALIK: Ah, iya, maaf, mungkin Pak Birawa lupa: Bapak pernah mengajak saya ke sini sebelumnya. Jadi saya tadi langsung kemari, dan benar Bapak ada di sini. Oh iya, tadi Den Karso juga sempat menanyakan kabar Suli. Apa kabar Bu Suli?

SULI: (“Ya, baik.”) TERSENYUM.

MALIK: Kalau sudah sehat, Den Karso juga sebenarnya ingin bertemu dengan Bu Suli.

BIRAWA: Tidak usah. Biar Suli di sini saja.  Dia belum sehat. Biar aku yang mengurusnya. Tahu apa Den Karso tentang Suli, ha?

MALIK: Saya hanya disuruh, Pak.

BIRAWA: Katakan: tidak perlu bertemu! Semakin ke sini aku juga makin muak sama dia!  Kamu tahu, Malik, kita semua sudah muak dengan dia yang kerjaannya hanya menyuruh, menyuruh, lantas menghakimi dan menghukum kalau tidak sesuai dengan kemauannya. Kalau kamu berani, katakan itu sama Den Karso!!

MALIK: Pak Birawa orang kepercayaan Den Karso. Tidak sopan kalau saya yang mengatakannya demikian. Sekali lagi, saya hanya suruhan.

BIRAWA: Den Karso memang telah menyelamatkan hidupku. Tetapi apakah kemudian berhak untuk memiliki kehidupanku? Dia mungkin juga telah mengangkat Suli dari ketidakberdayaan. Tetapi apakah dengan demikian Den Karso lantas berhak berbuat seenaknya terhadap Suli?

SULI: (“Mas Birawa… Kamu tidak boleh bicara seperti itu.”)

BIRAWA: Aku tidak peduli lagi, Suli. Kalau dia tidak percaya lagi sama Birawa, aku tidak peduli. Kalau dia mau mengembalikan aku ke jeruji penjara sebagaimana dia mengambilku dulu, lakukan saja. Aku sudah bosan menjadi kaki tangan Den Karso, tetapi tidak memiliki hati. Aku ingin menghidupi kehidupan ini dengan pikiran dan hati yang merdeka!!

SULI MENANGIS. IA PELAHAN BERDIRI DAN DENGAN KESUSAHAN BERJALAN MENDEKATI BIRAWA UNTUK MEMEGANG TANGAN BIRAWA.

BLACKOUT

Babak 5. 

MALIK BERDIRI, DAN NAMPAK DEN KARSO DUDUK DI DEPANNYA. MALIK SAAT INI BERPAKAIAN SERAGAM KEPOLISIAN.

MALIK: Begitulah yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Pak. Perusahaan ini sudah sangat besar, terkenal, bonafide dan menjadi ladang penghasilan bagi banyak orang. Saya khawatir kedatangan saya malah akan membuat perusahaan ini guncang, Pak. Tapi saya kira, Bapak tidak hanya orang yang super kaya, tetapi juga seorang panutan. Saya ikut saja perintah Bapak.

DEN KARSO: Malik. Panggil saya “Den Karso” saja.

MALIK: Iya, Pak. Eh, Den Karso, siap!

DEN KARSO: Semua laporan yang kamu sampaikan, aku terima, Malik. Orang-orang melihat hari ini untuk kehidupan hari ini. Sementara aku melihat hari ini untuk kehidupan besok. Itu yang seringkali disalahpahami oleh mereka yang ada di perusahaanku. Seolah-olah aku adalah orang yang harus disingkirkan. Bukankah itu pikiran bodoh yang mengada-ada, Malik.

MALIK: Benar, Den Karso. Seharusnya mereka berpikir, bahwa mereka bisa terus melanjutkan kehidupan yang layak yang mereka rasakan itu karena Den Karso. Dan mereka harusnya paham, tidak semua orang memiliki kebaikan seperti Den Karso. Tapi, silakan saja, itu urusan mereka. Saya datang ke sini, memenuhi undangan Den Karso, dan siap melaksanakan perintah!

DEN KARSO: (TERTIDUR)

MALIK: Den Karso…

DEN KARSO: Aku sudah lelah, Malik. Aku ingin memulai lagi dengan membuat perusahaan yang baru, dari nol, dimana gairahku hidupku mengalir kembali. Tetapi itu tidak mungkin apabila mereka masih ada. Aku benar-benar ingin yang benar-benar baru. (JEDA) Kamu habisi saja mereka semua.

CAHAYA MEREMANG. DARI SEBUAH SUDUT TERDENGAR LANGKAH KAKI DAN SESEORANG MASUK: HANTU KARSITO, DENGAN KENING YANG BOLONG AKIBAT DITEMBUS PELURU.

KARSITO: Den. Den Karso.

DEN KARSO (DALAM KEADAAN SADAR TIDAK SADAR). Ehm… ya?

MALIK: Den. Den Karso bicara dengan siapa? Den Karso… Bangun…

KARSITO: Sebagai sahabatmu, aku sudah berusaha tetap setia terhadapmu. 

DEN KARSO: Apa yang kamu inginkan Karsito?

KARSITO: Semua ini berujung-pangkal pada dirimu, Den Karso. Kamu tidak memahami setiap orang memiliki perjuangan masing-masing, yang dibela mati-matian. Merekalah orang-orang yang tidak kamu kenal. Tetapi terkena dampaknya karena ulahmu.Mereka orang-orang yang tidak memiliki nama, orang-orang yang hanya memiliki mimpi-mimpi sederhana. Dan bersamamu di sini, kamu telah merenggutnya.

DEN KARSO: Apa maumu, Karsito? 

KARSITO MENDEKATI MALIK. MALIK SEPERTI TERSUGESTI MENGIKUTI: MENGAMBIL PISTOLNYA DAN MENODONGKANNYA KE ARAH DEN KARSO. LALU TIBA-TIBA TERDENGAR BUNYI LETUSAN PISTOL. DEN KARSO TERJUNGKAL DARI DUDUK TIDURNYA DAN TERGELETAK.

BLACKOUT

MUSIK DAN KOOR:

Para Petarung selalu bertarung
Nyala gairah yang meledak di jantung
Para Petarung tak selalu beruntung
Tapi hidup adalah medan tarung

Ada yang harus dijaga
Ada yang harus dibela
Setiap orang adalah petarung

Para Petarung tak pernah dikenal
Percikan api di sumbu peradaban
Para Petarung tak ingin dikenal
Warisan nilai dan teladan berkorban

Ada yang harus dijaga
Ada yang harus dibela
Setiap orang adalah petarung

Ada yang harus dijaga
Ada yang harus dibela
Setiap orang adalah petarung

– TAMAT –

Kudus, 2025