Naskah Lakon: Asa Jatmiko
Tokoh:
– Tyas
– Orang Kesatu
– Orang Kedua
– Orang Ketiga
– Orang Keempat
– Buah Hati
– Orang Kelima
– Orang Keenam
– Orang Ketujuh
– Orang Kedepalan
– Wandi / Winda
– Orang-orang.
BABAK KESATU: TYAS
VISUAL MULTIMEDIA
Memperlihatkan cahaya-cahaya fosfor di akar-akar pohon bambu. Terdengar gemerisik daun-daunnya, pohon-pohon bambu yang menari tertiup angin dalam gelap di kebun bambu. Batang-batang pohon bambu. Lalu naik menuju langit, dimana kerlap-kerlip cahaya bintang di tengah gelap. Di sana muncul tampah. Seperti terbang mendekat, kemudian melesat meninggalkan gelap. Dari sisi lainnya muncul tampah yang terbang berputar, berputar, hingga menyerupai globe. Globe itu semakin mendekat, membesar, lalu terlihat bumi dari ketinggian.
Guratan tangan yang tua, terlihat dari jarak amat dekat. Tangan yang tengah menganyam bambu yang nantinya menjadi tampah. Lalu berbagai cuplikan proses pembuatan tampah diperlihatkan. Raut wajah yang tua, terlihat dari dekat. Sepasang mata yang keruh memandang lemah. Orang itu mengangkat tampah tersebut ke depan mukanya, hingga dari depan terlihat tampah itu menutupi wajahnya. Dari sisi dalam, sepasang matanya menatap celah-celah anyaman memberkas cahaya. Melihat lebih dekat, mengikuti berkas cahaya tersebut, lalu melihat ke tempat-tempat jauh. Lalu pelan menuju gelap, yang kemudian seberkas cahaya muncul memperlihat seperti sesosok tengah ada di atas tampah di bawah
seberkas cahaya.
Di dalam sebuah lipatan waktu, gelap yang ada, dimana-mana. Kegelapan itu seperti keadaan saat-saat pertama pejamnya kelopak mata. Dimensi tanpa ruang dan tanpa waktu. Sesekali kilatan-kilatan cahaya. Sesekali celeret-celeret suara. Entah dari mana. Muncul dan lenyap, menghiasi cakrawala gelap.
Semenjak itulah kelahiran cahaya. Merobek selaput gelap. Kecil. Manther. Pijar. Kemudian diikuti beberapa suara semacam bunyi-bunyi yang turut membayi. Mereka-reka sosoknya. Meraba-raba wujudnya sendiri. Kegelapan tercabik, meronta sebagai prahara pertama. Untuk beberapa saat saja, kemudian seperti riak-riak gelombang telaga yang menepi. Menepi. Menuju batas sunyi. Hingga menjadikan permukaannya merentangkan diam, seperti tanpa gerak meskipun sebenarnya menyimpan gerak. Dan perlahan, sunyi dan hening kembali berkuasa.
Cahaya-cahaya dan suara-suara melindap dalam senyap. Menyatukan kehendak untuk melanjutkan sunyi menjadi Tyas. Memeliharanya hingga bertumbuh serupa gadis remaja.Telaga menjadi matanya. Buah dadanya gunung kembar perkasa. Rambutnya meliuk bagai hutan cemara. Cahaya dan suara yang telah menyatu, kemudian jatuh tepat di atasnya. Mereka tak mampu menahan diri, untuk berpegang teguh kepada janji untuk tetap suci, hasrat untuk menjadikan keheningan menjadi keindahan merasuki urat syahwatnya.
STAGE
Panggung gelap dan sunyi. Sesekali terdengar bunyi, kadang jauh kadang terdengar dekat. Tyas terperosok pada sebuah lingkaran yang terukur karenanya menjadi terbatas. Lingkaran yang menempatkannya pada sebuah kehidupan. Ia menggerakkan tubuh rapuhnya, mengalirkan darah dan nafsunya, kebencian dan kecintaannya bahkan derita dan bahagianya untuk dikaitkan pada ruang dan waktu yang terbatas. Pada keadaan yang terbatas. Pada pilihan-pilihan yang tidak menawarkan sesuatu melebihi batas lingkaran. Tidak melebihi batas kemampuannya.
Tyas selayak bayi. Yang kemudian mulai bergerak-gerak kecil, kemudian berangsur
menjadi seorang pribadi utuh. Sementara Tyas bergerak di atas tampah, mengejawantahkan segenap rasa, empat sosok mulai terlihat. Mereka juga tengah bergerak di atas tampah masing-masing.
Orang Kesatu:
Tyas
Orang Kedua:
Tyas
Orang Ketiga:
Tyas
Orang Keempat:
Tyas
Suara-suara itu seperti memanggil Tyas, juga seperti bermaksud menenangkan hati Tyas. Seperti memperingatkan, dan juga seperti sekedar membuat lelucon. Empat sosok itu bergerak, meraih, melonjak, melindungi, menghibur Tyas dalam perwujudan geraknya masing-masing. Namun terbatasi: dari atas tampah.
Tyas sesekali merespon. Mereka sesekali berinteraksi. Suara-suara itu semakin rapat dan keras terdengar. Ini akhirnya membuat Tyas seperti terombang-ambing, terseret ke sana-kemari ke arah sumber suara. Dari rasa senang, tertawa, berangsur menjadi bingung dan menangis. Tyas lemah dan lemas di atas tampah.
Sebagaimana tumbuhan yang mendedah hidup hingga ke dalam. Karena tumbuh tidak pernah ke atas, tidak pernah mengacu pada ketinggian. Hidup, sebagaimana tumbuh, ialah perjalanan ke bawah sekaligus ke kedalaman Tyas itu sendiri. Tetapi kematian, kerapuhan dan ketiadaan selalu dicapai dengan mudah, mengatas dan meninggilah. Semudah pucuk-pucuk daun menjangkau matahari.
Waktulah yang kemudian menjereng pengertian-pengertian, menjadi kepahaman dan kesadaran. Hingga Tyas mengerti, dia tidaklah sendiri. Di tengah lingkaran masing-masing, ia merasakan kehadiran empat kerabatnya. Dari gelap ke remang menjadi terang, mereka bergamitan sebagai kerabat yang asing sekaligus dekat.
BABAK KEDUA: MULAI KEHILANGAN
Keempat kerabat Tyas, mengepungnya. Memberikan dirinya menjadi pelindung sebelum kemudian mereka terhilang dari pandangan. Menelusup di bawah kesibukan dan keributan duniawi sehingga mereka terlupa. Meski tak hilang, mereka berjalan merana serupa sendirian mengawal Tyas yang mulai berubah warna.
Di dalam ketakberdayaan pada mulanya, secara bergantian maupun bersamaan mereka membuat Tyas bergembira. Tersenyum dan tertawa, atau menangis tiba-tiba karena terlarut oleh kisah yang diperdengarkan padanya. Pada saat seperti itu pulalah, empat kerabatnya mengidungkan kidung agung tentang kejayaan dan keagungan jiwa di masa lalu, tentang gunung dan samudra yang akrab, tentang langit yang dekat dan tentang guru sejati yang sesungguhnya tak pernah menjauh darinya.
Musik masuk.
Empat sosok itu mendekat ke Tyas dan melingkarinya. Tyas seperti mematung, hening dalam samadinya. Kemudian empat sosok itu mengangkat tampah yang diduduki Tyas, dan membawanya ke sisi tengah bagian belakang.
Orang Kesatu:
Di sini semua tergelar. Kamu dapat melihat semua yang tergelar itu. Sekaligus menjadi bagian di dalamnya. Di sini semua tumbuh untuk kemudian rapuh. Semua terlahir untuk kemudian mati, di sini. Di tengah-tengahnya hidup menjalar ke seluruh sudut dan sisi yang diingini. Termasuk hidupmu, Tyas.
Tyas:
Aku tahu. Dimana Tuhan?
Orang Kesatu:
Ada di setiap apa yang kamu lihat.
Tyas:
Dimana?
Orang Kesatu:
Jika Tuhan adalah sesuatu dari mana kamu berasal, maka ia adalah tanah air. Jika Tuhan adalah sesuatu dari mana kamu ada, maka ia adalah sang pencipta. Jika Tuhan adalah sesuatu dari mana kamu hidup, ia adalah sumber hidup.
Tyas:
Dimana? Dimana Tuhan?
Orang Kesatu:
Tyas.
Tyas:
Jadi aku sendirian? Aku sendirian? Aku selama ini sendirian?
Orang Kesatu:
Aku bersamamu. Kamu tidak sendirian.
Tyas:
Dimana Tuhan? Semenjak aku di sini, aku sendiri. Aku ditinggalkan seorang diri. (menangis) Aku mendengar kemarahan-kemarahan. Mendengar letupan dendam. Mendengar tangis yang tak bisa dihentikan. Itu amat menakutkan. Aku mendengar semua itu sendirian. Aku melihat bau amis darah. Melihat asap kematian mengepul seperti cerobong pabrik. Aku melihat pembantaian, melihat mereka saling menggorok leher. Aku melihat amuk kebencian dan gelegak dengki diliarkan. Itu amat menyedihkan. Aku melihat itu sendirian.
Orang Kesatu:
Tyas..
Tyas:
Dimana Tuhan?
Orang Kesatu:
Kamu harus kuat dan teguh. Kuat bagai inti pohon jati. Teguh seperti gunung. Disitulah kamu akan menemukan jalan keselamatan.
(Musik masuk. Orang Kesatu keluar panggung. Terdengar nyanyian: Lesung Jumengglung. Orang Kedua masuk panggung membawa tampah yang berisi gunungan (tumpeng) lengkap beserta lauk-pauknya. Mendekat ke Tyas, yang kemudian memotong ke bawah gunungan itu, lalu membagi-bagikannya ke semua orang (termasuk ke penonton). Musik masih bertalu.)
Orang Kedua:
Kita makan bersama. Makan bersama. Mari!! (sambil menawarkan ke penonton untuk mengambil makanan yang diinginkan)
(Setelah dirasa cukup, diakhiri mereka berlima makan bersama melingkari tampah tadi, hingga habis. Orang Ketiga maju ke tengah membawa tampah yang telah kembali kosong.)
Orang Ketiga:
Kehidupan kita bukanlah kehidupan ekslusif. Kehidupan kita bukanlah kehidupan yang egois. Kehidupan kita juga bukanlah kehidupan yang bisa memilih apa yang kita sukai saja. Hidup ini adalah pernyataan sikap kita, menerima segala. Menjadi kehidupan dalam kehidupan itu sendiri. Maka menerimalah
dengan segenap sukacita.
(Lalu tiba-tiba tiga sosok yang lain berlari ke arahnya, berusaha merebut tampah yang tengah dipegang Orang Ketiga. Mereka bertiga kemudian larut di dalam pertengkaran-pertengkaran kecil. Kadang tampah itu dilempar ke kawan satunya, kadang tampah itu dibuatnya sebagai mainan; berbagai mainan. Lagi seru-serunya mereka saling berebutan dan bermain, tiba-tiba juga Tyas berdiri merebut tampah itu.)
Tyas:
Katanya hidup itu menerima?!
(Lalu ia menaruh tampah itu di kepalanya dengan posisi terbalik, dan pergi keluar panggung.)
Orang Kesatu:
Tyas!
Orang Kedua, Orang Ketiga, Orang Kesatu:
Tyas!
Orang Keempat:
Jangan bawa tampah sembarangan seperti itu! Aduuh, gawat! Bisa kuwalat! Hmm…akan ada apa lagi ini?
(Mereka berkata-kata sambil keluar panggung. Kemudian panggung gelap.)
Pesona akan keindahan yang sementara sifatnya, membuai dan melenakannya. Tyas tergerus oleh butuh ragawi, dimana selalu tunduk oleh waktu yang tak pernah mau berhenti atau menanti. Menjelajah lebih cepat, mendapatkan lebih cepat, menghasilkan lebih cepat, menikmatinya secara kilat dan hilang kemudian dalam sesaat. Virus telah menyatukan koloninya untuk mengajarkan dan mempropaganda Tyas, bahwa hidup adalah kenikmatan sesaat.
Empat kerabatnya tersingkir oleh empat sudut mata angin yang menawarkan rasa suka dan kepuasan panca indera. Keindahan yang ternikmati dalam waktu cepat, sekaligus merusak dalam waktu cepat pula.
Mata memuaskan retinanya akan penglihatan-penglihatan yang baru, yang membuatnya terbuai. Mata menunjukan dirinya sebagai pemangsa yang haus dan serakah.
Telinga memperdengarkan pendapat-pendapat yang hanya menguntungkan dirinya. Dan seolah menjadi penderitaan ketika mendengar dirinya terlunta, merayapi jalan panjang kehidupan. Telinga menunjukan kepadanya, ia berhak mendapatkan seperti kemudahan yang dipunyai orang lain. Dan sekaligus berani memberontak secara buta, karena ia merasa berhak, tanpa mempedulikan orang lain.
Angan membuka kamus kehidupannya. Ada banyak pilihan di antara hal-hal baik dan hal-hal buruk. Tetapi Angan selalu mengatakan untuk selalu menjadi yang paling di antara yang lain. Berbicara, berpikir, beradu pendapat dan memimpikan sesuatu sebagai upaya mendapatkan jenjang paling buat dirinya. Angan mementingkan satu hal, sekaligus melenyap hal-hal lainnya. Angan tidak selalu utuh menjadi dirinya.
Rasa menjadi impresi cecapan, gesekan dan persinggungan.Rasa yang menunjukan diri merdeka, terkungkung dalam batas-batas ragawi semata. Mengeksplorasi ribuan kecapan, menjelajah banyak panorama kesakitan dan buaian. Rasa menjelma menjadi hasrat yang memabukkan.
Panggung yang gelap, kembali terang.
Empat sosok lainnya muncul. Dan Tyas ada di tengah-tengah mereka, sebagai seorang wanita masa kini yang memiliki “semuanya”.
Orang Kelima:
Tyas, kamu lihat sendiri, dunia begitu cepat bergerak dan berubah. Kalau kamu tidak mengikuti perubahan itu, kamu akan disebut sebagai orang yang ketinggalan jaman. Menerima dengan lapang dada untuk meninggalkan semua yang di masa lalu. Merelakan semua itu terlepas dari sekujur hidupmu. Hidupmu di masa lalu, kearifan dan kebajikan di masa lalu, boleh kau tengok sesekali. Tetapi tak bisa kau yakini kebenarannya hari ini. Karena hari ini adalah hari ini.
Orang Keenam:
Itu pun kamu harus melakukan perubahan dengan cara secepat-cepatnya. Tidak bisa dengan bersantai-santai. Memang tidak perlu terburu-buru. Tetapi juga tidak bisa terlalu lama menunggu dan banyak berpikir. Setiap perubahan langsung membutuhkan respon yang cepat pula. Itu jika kamu mau menikmati kehidupan saat ini. Atau kalau tidak, pilihannya akan jatuh ke tangan orang lain.
Orang Ketujuh:
Dunia kita hari ini adalah sekumpulan orang-orang yang memimpikan tiket kereta api cepat di stasiun-stasiun. Kamu mesti mempersiapkan semuanya dengan segera. Uang, peralatan, perbekalan, dan juga pisau belati jika perlu. Kamu tidak akan tahu siapa kawan siapa musuhmu.
Orang Kedelapan:
Wan! Layani Tyas dan bantu dia untuk segera meraih cita-citanya. Ada tiga titik di panggung, dimana tiga titik tersebut masing-masing ada dua orang atau lebih, dalam profesi: para sahabatnya, orang-orang kantor, lapak pedagang di pasar.
Tyas berjalan diikuti seorang asistennya yang sekaligus tukang riasnya. Asistennya bernama Wandi atau Winda, berjalan tergopoh-gopoh di belakang Tyas sambil membawa beberapa tas, dan sebuah kursi. Ke tengah para sahabatnya, Tyas bersendau-gurau. Dari bergosip tentang seorang sahabat yang selalu gagal punya kekasih, hingga memperbincangkan soal politik. Semua hal dibahasnya kemudian menjadi bahan olok-olok mereka. Kemudian pada saat secara tidak sengaja salah seorang dari mereka menyebut nama Tyas, ndilalah tidak kebeneran: Tyas tersinggung. Tyas tiba-tiba tertawa dan semua kembali tertawa. Pada saat tertawa, Tyas menyumpalkan kain ke mulutnya.
Orang-orang kantor yang didekati Tyas, satu persatu pergi. Meninggalkan Tyas dan seorang boss. Mereka “bermain” di bawah meja, minum kopi bersama, mabuk. Lalu boss itu tergeletak kaku dengan kepala di atas meja. Tyas pergi dengan awut-awutan, tangannya memegangi perut seperti kesakitan.
Di sebuah lapak di pasar, Tyas menjumpai orang-orang lapar. Ia memberikan sisa makanan dan minuman yang dibawanya. Tas-tas yang dibawa oleh Wandi, ia bagi-bagikan kepada mereka semua. Juga pakaiannya sendiri, dilepas dan diberikan kepada orang. Tyas kembali dalam kostum awal. Melihat itu, Wandi lari meninggalkannya.
Tyas masih terus memegangi perutnya. Semakin tak tertahankan sakitnya. Lalu ia berjalan mengangkang ke tengah panggung, serupa sedang hamil. Darahnya berleleran saat ia jalan, membekas di lantai. Tyas mengandung dan melahirkan anaknya. Sebuah ritual yang mungkin tak dikehendakinya. Maka pada suatu malam, bayi yang tengah ditimangnya, lenyap.Hilang entah kemana. Padam bagai senthir yang ditiup, gelap tiba-tiba. Hanya bunyi-bunyi entah dari dunia mana, mendesing bersliweran di udara.
BABAK KETIGA: MEMILIH – MEMILAH
Pagi dengan celeret warna khasnya, memburai di jagat raya. Orang-orang berlalu-lalang. Bersibuk dengan geliat kehidupan masing-masing. Dari orang-orang dalam sebuah rumah. Rumah antar rumah. Kelompok rumah dengan kelompok rumah yang lainnya.
Di sumur, di telaga, di sungai-sungai yang menjamah desa, orang-orang bertegur-sapa. Mereka mencari apa yang disebutnya harga diri, mencari apa yang disebutnya jati diri. Mereka mencari nama mereka yang seakan terhilang dari muka bumi.
Pembicaraan-pembicaraan di bawah pohon, di tengah sawah, di ladang-ladang, berhiaskan senyum tawa dan tangis bahagia. Demikian juga pembicaraan di pasar-pasar, di pabrik-pabrik, di sekolah-sekolah, di pasar loak dan di tempat-tempat sampah selalu mencerminkan keintiman dan kesungguhan. Wajah-wajah penuh binar sukacita. Seloroh dan sendau-gurau mengalir alamiah, dari sekedar mengolok kerbau dungu hingga canda beraroma eksotik.
Dari angkasa, terdengar suara-suara seakan dari jauh. Mendekat. Pembicaraan-pembicaraan dari dalam microphone: radio, televisi, telepon, komputer, berdesing bersliweran memenuhi mereka. Adegan-adegan film, berita-berita teroris, iklan-iklan yang mempropagandakan kecepatan, kekuatan dan ketepatan. Jagat raya dipenuhi pembicaraan-pembicaraan dari jauh, yang sepintas terasa mendekatkan.
Mereka bernafsu memilikinya. Menanggalkan apa yang selama ini telah dimilikinya. Bergegas menjadi orang pertama: memiliki teknologi berarti menjadi setengah dewa. Serba dimegahkan. Serba dicepat-jadikan.
Orang-orang menjadi lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Menjadi lebih sibuk untuk dirinya sendiri. Bahkan rasa kemanusian tak terendus sedikit pun meski di depannya darah segar muncrat dari kepala orang yang terkapar, bayi menangis yang dibiarkan, teriakan ketimpangan dan kemiskinan yang menggerogoti mental sebagian orang-orang terbengkelai di pinggir jalan.
Tyas menuruni tangga. Masih menangis tersedu, anaknya yang hilang saat ditimangnya, belum ketemu. Ia menghardik saudaranya, melata di bawah kaki-kaki penguasa, meronta dalam padang sunyi kurusetra sebelum bharatayudha, bernyanyi lirih penuh duka di sepanjang jalan desa, dan menjadi buas ketika menatap siapa saja.
Ia berontak dan menyalak. Merebut dan merampas setiap lingkaran bunyi dan lingkaran tontonan yang memabukkan. Ia membanting seluruh microphon yang berdering mendesing dengan suara-suara asing. Orang-orang sakau, orang-orang mempertunjukan kesakitan dan ketagihan yang menyakitkan. Orang-orang serupa tak berdaya ketika mereka tiba-tiba harus kehilangan apa yang digenggamnya. Hingga hening. Hingga hening. Hingga semua mata tertuju kepadanya tanpa bergeming. Gelap. Dan matahari lindap ke bawah semak-semak.
Orang-orang lamat bergerak, lambat. Mengambil lingkaran-lingkaran azali yang selama ini dilupakannya. Dalam coreng-moreng rupa dan warna. Sementara Tyas semakin gila, ngungun di puncak dampar derita.
Orang-orang mengambil microphon-microphon, remote control, laptop, bermacam telepon genggam, dan juga segala jenis makanan asing yang mewariskan bakteri dan virus yang memberangus pencernaan dan ulu hati. Orang-orang menampi semua di tempatnya masing-masing. Orang-orang memilih dan memilah mana yang memiliki hubungan sedarah dengannya sebagai satu tanah air.
Sayup-sayup tetabuhan dari lingkaran-lingkaran itu terdengar. Dari imaji menuju magi. Dari angan menuju kahyangan. Dari serakan airmata menuju sungai tirta kahuripan. Maka pada kesunyian kesekian, terdengar tawa seorang bocah dari kegelapan. Dari ketinggian yang gelap. Mereka terus melakukan tetabuhan. Sementara beberapa yang lain mencorongkan sentolopnya ke sana kemari, mencari dimana sumber bunyi.
Saat itulah Tyas terhenti dari limbungnya. Ia seperti mendengar tawa yang tak asing bagi kupingnya. Suara yang menenangkan hatinya. Suara yang begitu ia rindukan di sepanjang hidupnya.
BABAK KEEMPAT: LANGGENG
Jika berinisial hidup, maka sesungguhnya hidup. Dia tidak mengenal lahir, maupun mati. Ia mengejawantah. Ia menjelma. Ia tercipta atas sebuah siklus purba. Ia mengada. Dan begitu selama-lamanya.
Orang-orang dengan masing-masing cakra yang dimilikinya, mengoreksi masa lalu. Meski tidak ketemu apa yang telah keliru, mereka merasa tetap ada yang janggal di dalam jelajah kehidupannya. Mereka tidak menemu, karena kekeliruan telah mengalir bersama darah, bersama udara yang dihirupnya, bersama jalan yang dilaluinya, menjadi dingin yang membungkus saat tidurnya.
Doa kembali sebagai doa. Mantra kembali sebagai mantra. Umpatan kembali sebagai umpatan. Keluh kesah kembali sebagai keluh-kesah. Sebagaimana kebahagiaan yang juga dikembalikan pada rasa yang tidak direkayasa, yakni ketika orang-orang menemukan kemanusiaannya. Dan Tuhan, dan Kegelapan, dan Cahaya, dan Suara, dan Kesunyian selalu dan akan tetap berada di tempatnya: Tyas, dimana jarak tak lagi terukur dimana ruang tak lagi melekat pada apapun.
Orang-orang menyunggi dirinya dalam adab yang terus bergulir. Beberapa di antaranya berpasangan dan menempatkan masing-masing menjadi bagian yang tak terpisahkan. Beberapa yang lain masih sibuk mencari dimana batas, dimana akhir, dimana kata selesai mewujud sempurna.
Jagat raya dipenuhi satu lingkaran besar. Cahaya-cahaya jatuh dalam garis-garis, penuh seperti hutan cahaya. Lalu asap mengepul dari bumi. Seperti migrasi embun di kala pagi, menuju angkasa. Tyas menunjukan tarian kehidupan, di tengah belantara cahaya. Anaknya yang telah tumbuh dewasa menirukannya, menterjemahkannya ke dalam bahasa yang dipahaminya. Keduanya kemudian menjadi panorama hidup, dimana kekuatan diambil dari setiap tarikan dan hempasan, kecepatan diserap dari setiap pengertian dan kepahaman, ketepatan didudah dari penyerahan total apa yang telah dimilikinya.
Di dinding angkasa, cahaya-cahaya mewujudkan dirinya menjadi bulan, menjadi bintang, menjadi komet, menjadi gugusan galaksi. Bergerak dalam harmoni yang tak terpahami. Tyas nampak di antara cahaya-cahaya. Lalu di antara suara-suara. Sebagai yang tak pernah berakhir. Sebagai kelanggengan.
Suara sang sabda telah menjelma
Terhampar dan tergelar sebagai bukti cintaNya
Dalam satu rentang ruang dan waktu
Malam yang berembun hingga siang yang berbatu
Pagi yang bercahaya hingga sore mengantar gulita
Dimana kita tumbuh, tanah air yang mengasuh
Dimana kita menjauh, tetap di dalam peluk dan rengkuh
Dimana cahaya, cahaya, cahaya adalah sumber suaka
Dimana suara, suara, suara adalah sumber sabda
Remang-remang sang tyas menimang rasa
Harum seharum sang tyas mekarkan rasa
Hingga saat itu tiba, tak ada lagi tangis nestapa
Hanya hening wening dalam pelukan Rasa Sejati
Di tanah ini, semua akan kembali.
–TAMAT–
Kudus, 2016