Tak Retak

Antologi Puisi: Asa Jatmiko

Puisi-puisi di bawah ditulis dalam rentang waktu 2005-2015, diterbitkan dalam sebuah Antologi Tak Retak.

Judul Buku: Tak Retak
Penulis: Asa Jatmiko
Kata Pengantar: Arswendo Atmowiloto
Cetakan Pertama: Mei 2016
Tebal Hal: xviii + 136
Penerbit: Iniibubudi
ISBN: 978-602-70232-0-8

Preambule

hening, tak berdenyut
ketika ganggang dan lumut
menyatu berpagut

memapah jalan ke Venesia
berhias pelangi di cakrawala
mutiara tetaplah dalam jiwanya

muram jalanan, pijar di dalam
langit di jiwa, langit di badan
dan biji bertunas bumi
menyusuri sungai sunyi
bertahan hingga keabadian






Berlayar

di perjumpaan kita
aku menemukan samudra
dalam sepasang mripatmu
yang berkacakaca
yang jernih telaga

dalam sepasang mripatmu
sore tenggelam
dan langit merona
aku menemukan samudra
melayarkan rindu
tinggalkan tepi dengan segera

di dalam sepasang mripatmu
aku menemukan samudra
dengan camar seribu cerita
nyanyi paus menempuh jauh

aku tahu, mripat itu
satu tatapan seribu penglihatan
sayang, aku hanya ingin kau percaya
lalu layarkan aku di samudramu.





Kutuk

berkeriapan
di permukaan genangan
aku ingat malam itu
menonton kethoprak
dengan sebumbung tuak
berkasberkas cahaya
sebagai ikanikan berenangan
merubungi wajahmu
mencaricari sepotong bulan
untuk makan sepanjang malam

jalanan banyak berlubang
aku menyibak dengan limbung
pernah kulewati jalan setapak itu
jalan setapak menuju rumahmu
yang kini kering garang
dihajar kemarau panjang

banyak yang telah lupa rupanya
sumursumur yang dulu berlimpah
airnya meluber hingga terasmu
telah siasia menjangkau waktu
terkapar di lantai dedaunan rumput
tersekap dan tak ada jalan kembali
langit gosong

kueja lagi batu demi batu
pecah tanah dan bau belut
hanya setangkai bunga rumput
berpendar dalam sunyi
kaukah itu?
tak kering tak lekang tak layu

maka malam ini
isilah bumbung tuakku
dengan mataairmu
biar menyungai kembali
mengisi sumursumur itu
dimana anakanakku
takkan lagi kekeringan.





Alienasi

kini kau akan sedikit lebih mengerti
lagu ombak siang malam yang mengibarkan rambutmu
sayap patah merpati yang tersangkut ranting kering
menjadi tak berarti
seperti ribuan katakata dari buku sajakku
yang menggelembung bagai balon busa
yang ditiupkan anakanak kecil
lalu pecah di kebun belakang.

aku meloncat keluar dari jiwamu,
karena aku ingin lihat dirimu yang sesungguhnya
saat kau membersihkan halaman rumah
dari daundaun yang lelah
aku telah mengembara
ke tempattempat yang tak kau pahami
bertamu dan bertanya kepada rumput hijau,
tapi tak jua ketemu kau di situ?!

semua ini kesiasiaan, sayang
jika kau hanya menakar keringat
menimbang beban yang semakin memberat
dan di tikungan jalan kau rubuh
menikamnikam diri dengan seribu penyesalan

jangan, sayang
dengarlah pengembaraan ini
matahari yang tegar menyeret cakrawala
dimanakah rasa lelah ia timbang
pucukpucuk angin yang setia memimpin musim
dimanakah rasa bosan ia tanggalkan

dan kini lihatlah dirimu
pohon tak pernah menghitung
berapa puluh ia akan berbuah
bunga tak pernah menjerat diri
untuk sebuah keindahan
dan engkau, kenapa menangis di tepi jalan
sementara kau tahu angin perubahan melintas
bagai arus deras sungai
mampu menghanyutkan siapa saja

masuki dirimu saat matahari miring
175 derajat ke cakrawala
dan hanya bila dirimu adalah jiwa yang merdeka
yang riap dengan irama bendhe perjuangan
yang gemuruh dengan angin tegar yang mengasuh musim
yang lapang seperti langit
menyediakan matahari bangkit
dengan penuh kemuliaan
dari ufuk timur jiwamu.





Tapal Batas

jika jalan
patah sudah
kemana kaki

jika malam
pecah sudah
kemana hari

jika angan
tumbuh kembali
kemana angin

jika cinta
pulang kembali
kemana hati

jika engkau
tanyakan aku
dimana dirimu

jika engkau
tanyakan engkau
disitulah dirimu
tak pergi
tak pulang
di sini
membaca bintang
mencatat sungai
kita akan menuai
di ladang sajak.




Swara di Suralaya

dan menggelayut swara tetabuhan
menggiring perginya sang jendral
yang pernah menodongkan tongkatnya
ke hidung pribumi yang tak seiya,

entah slendro, entah pelog
tangis dikabarkan dari puncak giri
entah slendro, entah pelog
klothekan bocahbocah pangon

bertemu swara di suralaya
menghentikan lawatan sang jendral
menuju muara
di situ ia masih sempat terpana
hidup sungguh begitu nikmatnya
kalau saja ada kesempatan kedua
akan dirampungkannya segala
atau dirampoknya segala
sampai kita menyerahkan cinta.




Malam Sehelai Sayap

dan malam beringsut membawa sehelai sayap terlepas
aku teringat kemarin kita menangis di tepi ranjang
melukis kegetiran hidup di kayukayunya
pada celana dalam yang terserak sebuah lagu melayang
dan menjadi puisi masa lalu,
mengapa kita tak pernah berhenti meratap?

malam ini sehelai, besok sehelai lalu lusa dan esok lusa
tak ada satu kesempatan bagi kita mencaci dunia
setelah peristiwa terpatah bagai helaihelai sayap
kita tak pernah tahu dimana akan dijatuhkan
meski telah belajar dan diajar bertahan
angin santer dan reranting berduri
tajam meluluhlantakkan hingga tak berdaya.




Senja Mata

dia menaruh lekaklekuk tubuhnya
di atas pangkuanku yang ilalang
aku pun bilang padanya langit masih tinggi
dan kemarau hari ini pasti segera berganti.
dan kau sok penyair romantis, sahutnya.

lalu pada lengkung pelangi
aku menyeberangi sunyi kata
melalui geletar sayapsayap capung.
senja mata melukis tubuh rimbunan bunga
mungkinkah aku telah keliru menangkap getaran itu?

kau yang terkapar dibantai matahari,
juga aku nanar di ujung matamu
tak ada yang bisa membangunkan
kecuali khayalan yang meluber dari batas gelas.




Bunga Kopi

kau pasti juga sudah tahu
bagaimana wangi bunga kopi.
aroma yang membangkitkan musim semi
tercampur dari bau tanah sesudah hujan
sesendok pagi dan selengkung pelangi
di atasnya, tersenyum seorang bidadari.

setelah hujan berharihari
bukit dipenuhi ribuan kuntum bunga kopi
wanginya menyiram seluruh muka bumi,
putihputih menggaris rantingrantingnya
ngingatkan bahwa musim segera berganti

kau pasti juga sudah tahu
wanginya melegakan, lumpuhkan keangkuhan
seperti doa airmata, wanginya meneguhkan
mempertegas keyakinan setiap pendakian.




Ronce Simpul

lalu setiap simpul
akan menyambung pada simpul berikutnya
seperti rumahrumahan kardus mainan anakku;
kokoh saat talitemali bertemu dan memisah.
kita rayakan akumulasi peristiwa demi peristiwa
hingga sebagai rumah kita terjerat tempat ini.

dan nanti jika matahari mulai lelah
dengan tubuhnya yang mulai lumer dan tua
tangan tak cekatan lagi
membuat simpulsimpul peristiwa indah
sebagaimana hari ini
aku akan berlagak sebagai penyair
yang kemana pun pergi membawa buku alamat
atau seperti gadis yang tak pernah lupa
menyelipkan cermin kecil di dalam dompetnya
atau paling tidak aku tak akan pernah melupakan
sehelai rambutmu
terbakar matahari di ngarai usiaku.




Waru Jelaga

kurasa jelaga telah menepi ke batas kota
menggantikan daundaun waru lunglai
ditarik ulur antara dogma dan nafsu
rekreasi di lingkaran aroma bau kencing penjagal
atau malah ideologi patriarkis dan feminis
telah membuang mereka dalam keranjang sampah
di pasarpasar hewan.

di bawah waru jelaga
mereka membicarakan kerlap merkuri
kerlip dian penjaja bakwan-tahu-pisang goreng.
di atas pertigaan
mereka ditertawakan papan iklan benderang
kurasa inilah keakraban yang memilukan
sebuah pesta di tengah kota mati.

terpinggir. dan akrab.
air kencing – kotoran binatang – sayur membusuk
mereka menghuni dunia yang sisa itu sebagai kewajaran
yang terselip hingar kota yang semakin tak tahu diri.




Laron Pecundang

langit yang cerah lalu hujan tibatiba
tanah membuka dadanya yang bidang
menerbitkan laronlaron berkeriapan sayapnya
mencari cahaya menuju cahaya.

hanya saja mengapa kau masih duduk di sini
mengurai beban rumah
menerbitkan laronlaron pecundang dari matamu
untuk minta diri dibakar sunyi.

aku lebih pecundang
mendekap pipimu dalam lukaku
aku lebih pengecut
meraih tanganmu dalam lumpurku.

kesedihan melahirkan duka
kekejaman menerbitkan derita
dan esok hari kita mengabarkan kepada dunia
sudahlah, kita jalani saja!




Burung Hitam

burung hitam adakah kau cuma bayang
bicara dalam gelap berkicau dalam temaram
jika kau nyata
ayo kita makan bersama dan bersulang anggur tua
biar kita bicara dalam terang.

burung hitam adakah kau cuma bayang
tak peduli jinak atau liar sergap aku di bawah nyala lampu
aku kirim jua sepotong kue dan salam hangat

burung hitam jubah malam tangan gelap
mata cekung mencorong dalam igauan
apa yang kau cari?
bukankah segaris nama baru perlu dirayakan
bersulanglah untuk sebuah pertarungan.




Randu Alas

sudah rabunkah matahari pada kupukupu,
sayap patah
tersekap di rimbun daun tak kau pedulikan
anggun dalam megah pucukpucuk menjulang
batang tua gemuk membungkuk
tumbuh dalam riap mayatmayat
kubur atas kejayaan dan megahmu kini
lingkar pagar tua pucat pasi
menakutnakuti setiap yang datang dengan hati.

sudah rabunkah matahari pada akarakar menggelembung
meretakkan bangunan dindingdinding rumah
dimana kelak kami akan ziarah.




Lari Perawan

teriaklah pada tebing
dan akar pohonan yang telanjang menjadi lelaki
menyelinaplah ke sana, dan ceritakanlah semua
hanya bulan sabit yang mampu mengawinimu

ranjang putih semenjak malam pertama
masih mengambar aroma kembang wijaya
ia tetap bagai lukisan mimpi, yang tak pernah
bisa dimasuki siapapun juga
sebelum mimpi membuka pintunya sendiri bagimu.

bulan sabit di balik tirai, tergantunggantung
bagai nyala merah lampion di pojokan cakrawala
termangumangu membungkam diri
siang telah mempertemukan cinta palsu
di meja pelaminan yang (kebetulan) kau pilih ungu
tapi kembang wijaya telah mencatat dengan tinta
menjadikan putih seluruh ranjang di kamarmu

teriaklah pada tebing, cepat nyatakan cinta
pada siapa saja asal bukan dia
akar pohonan yang seketika lelaki
menyediakan kolong bagi sebuah pelarianmu.




21.23 Wib

tapi lihatlah,
mawar bertunas di atas remah bara
tegaktegar meski ranjang beranjak tua.




Dunia Pelacur

pernah, dan mungkin masih
di rembang petang
kerlapkerlip lampu disko
diiringi irama ndangdut dari tape recorder jangkrikan
bagai berpasangpasang mata
memanggilmanggil
“hai asa, mampir dong!
kita ngobrol
bersama sebotol oplosan bir dan congyang
kacang dan tahu susur milikku
ketrampilan kecil hasil warisan ibuku
ibuku mewarisinya dari nenekku
jangan remehkan nenekku
ia selir seorang mantan bupati pesisir.”

begitulah aku terjerat
entah karena ia seorang perempuan
yang punya bibir merah dan bersusu montok
atau karena ia trampil memasak
atau karena ia cucu seorang selir
tapi nyatanya aku kini tertawan
apalagi siang yang aku makimaki
telah membakar tubuhku
menyayatnyayat kulitku
hingga bernanah
berdarah
bau amis kenyataan hidupku
tak bisa kututupi meski dengan cendana atau kasturi
meski pula dengan tata bahasa sekelas puisi
bahasaku telah kacau
hingga aku hanya mengenal engkau, pelacur
sebagai puisi terindah yang pernah kubaca.

“hai asa, mampir dong!
kita lanjutkan minum berdua!”
dan aku menatap matanya
betapa mengejutkan
semalam kulihat bercahaya
kini kulihat redup berjelaga
semalam engkau begitu muda
kini kulihat engkau begitu renta

aku pun mampir
dan mabok
ideide di batok kepala
meluber dan ndledek membasahi celana
ah, betapa dunia begitu indah begitu sederhana.
aku pun tersampir di atas tubuhmu
dan menyerahkan ideide besarku
ke dalam sebuah sumur kegagalan.

ketika aku menjamahmu
engkau seolah bernama cinta
kini saat aku berjarak denganmu
engkau seolah tak bernama apaapa
dan entah, aku seperti tersadar
ada yang telah hilang dari diriku
ada yang telah ia curi dari diriku




Relawan 5,9 Skala Richter

kami temui wajahwajah bergurat duka
sebab kehilangan saudara tercinta
di antara puingpuing rumah mereka
tendatenda darurat memelihara harapan
kami temui jiwajiwa nyaris roboh pula
seperti daun kering terbawa kemana laju angin
dengan sorot mata yang memandang kosong
duka ini memang sangatlah berat disangga
bahkan tak terdengar sapa kleneng andong
yang biasanya merayap di antara gelak tawa
membelah ruasruas jalan imogiri
yang mengantar peziarah ke makam rajaraja

gedunggedung sekolah, masjidmasjid dan gerejagereja
tak mungkin bisa dipakai lagi
temboknya hancur, berdiri miring, atapnya ambrol
namun siswasiswa mesti harus terus belajar
adzan harus pasti berkumandang
nyanyian misa dan kebaktian harus pasti didengungkan
rasa syukur dan pasrah akan kemahabesaran Tuhan
tak boleh lumpuh atau mati di antara puing berserakan
meski menelusup dari bawah tenda apa adanya
meski beralas tanah dan rumput kering berdebu,
ini saatnya untuk kita mengakui
betapa kita sungguh tiada berdaya adanya
kami hadir bukan sebagai turis domestik yang eksotik
bukan sebagai peziarah yang ingin tampil simpatik

kami hadir sebagai rekan dan saudara
yang ingin membantu apa yang kami bisa,
menyapa dengan hati agar bisa tersenyum kembali
karena luka akibat gempa itu bukan terasa di tubuh saja
tetapi juga tembus ke relungrelung hati
dan kami ingin jadi sederhana saja
ialah pemantik api semangat hidup
yang tak boleh meredup.




Pagi Sebuah Panti

di belakang makam Sari
hatiku diperam sunyi
fajar dengan lampu nyala
satusatunya di ujung jalan
dan lelaki berkopiah putih
di bawah pohon mangga
merenda helai demi helai
meronce kuntum demi kuntum
dengan senyuman
istrinya yang usianya lebih tua
sudah terdengar suaranya
dari balik dinding batubata
sembari menjemur kainkain rukuh
nyirami bungabunga yang meluruh

dan ketika langit benarbenar merah
anakanak burung yang ditinggalkan itu
bercericit keluar dari sarang
membawa suara khasnya masingmasing
membawa wajahwajah penuh cahaya
menggumuli tawa renyah lelaki tua
merunduk di bawah katakata ibu asuhnya
demikianlah setiap pagi
hingga tiba nanti
pagi dengan aroma dan warna
yang persis terlukis di mimpi mereka
padam saat senja menjelang
tetapi niscaya berjejak
membekas di tulangbelulang
menyusup di relung hati terdalam.




Hujan Debu

sungai air mata
luber ke jalanjalan kota
rembes di kain jarik bunda

debu air mata
menghujan di kampung halaman
menghitam di caping bapa

ampunilah kami
ampunilah kami
tangis ini belum juga berhenti
nyusup di antara hujan debu
memohon lindunganMu.




Matahari Terbit

fajar di gigir muria
puluhan anakanak
dari masa lalu yang kelam
menggendonggendong bulan
dari kamar tidur mereka
yang lusuh berserakan
ke halaman mushala
yang tertampar matahari

berebut mencium tangan sang kiai
wajah yang langit pagi
senyum yang mengantarkan
hari ke pelukan anakanaknya

aku sendirian
terpaku
tanpa menciummu.




Lelaki Sunyi
-untuk Fariz Hudaya, dan Ayah lainnya

tak ada rasa letih pada wajahmu
meski kau tahu bakal mati jua di sini
setelah merenangi sungai
riamriam terjal dan tajam itu
bahkan sepucuk citacita
yang terhempas entah dimana
pada dahi anakmu yang sakit
masih sempat kau tulis doa
masih senyum pula untuk seluruh hari
yang segera menua.

hidup seringkali hanya sederhana seperti itu,
dan cakrawala seringkali terbaca tak sengaja.

lalu aku kembali berhenti
betapa aku tak sekuat engkau
meladeni kenyataan
tak serajin engkau menganyam
sebatang demi sebatang ranting hambar
menjadi karya kehidupan yang bermakna.




Api Rumah Toleh
-bersama Abdullah Firdaus

membaca masa lalu
terbaca jelas ia di pihakmu
sebagai garis takdir
bersama dan kehilangan
memilih titik nadir
memijak di keheningan
menjunjung harga diri
hingga di langkah terakhir
menjinjing kepercayaan
dengan penuh tanggungjawab
sebab ia serupa air mata
yang mudah tumpah oleh luka
mendengarkan api bicara
melalap lembar demi lembar asa
tapi ia telah menggantinya
dengan tujuh aksi nyata
yang ditanam di kebun belakang
lalu matahari kembali berotasi
menjalani kehidupan sederhana
keinginan sederhana
atas kebutuhan sederhana
seperti suburnya pohon bahagia
sederhana dan berumur purba

pagi dengan keheningan
melupakan sebentar kopi pahit
pupus daun pohon merah
mencatat sebagai hadiah indah
“dia bersamamu,” senantiasa
mengiringi berabadabad kisah
untuk dijadikannya keranda
pengantar bagi mempelai
yang masih setia menunggu
di depan pintu gerbang surga.




Indonesia, Lelaki Paruh Baya

indonesia, lelaki paruh baya
rumah mungil di bawah trembesi
dimana catatan alamat surat sahabat telah dilarung
ketika ancaman hari depan menjadi sarapan pagi
dimana aroma wangi tanah basah telah banyak menguap
ketika setiap malam tidur menjadi saat yang menakutkan

berhektarhektar ladang
menumbuhkan pucukpucuk harapan
bagi mulutmulut besar
tapi tidak bagi penyair, bagi Ibunda
bagi anakanak yang percaya kepada hati nurani
berhektarhektar ladang membunga percik api kemarahan
karena angin telah berhembus
mengabulkan doa penjual nama

indonesia, lelaki paruh baya
tabur bunga di pusara ibunya
dengan bunga yang tak dipetik,
tapi dipungutnya setelah gugur
di tiap senja di bawah trembesi,

juga di pusaran mimpinya
hingga terbenam dalam sunyi dendam yang tertahan
rumah mungil pun mengabut
bidadari kecil menangis di sudut
Ibunda dengan wajah lebam berhias di kaca retak
matahari terus membakar ladangladang
memaki ladangladang
lelaki menelusup pintu
dan teronggok di bawah celah atap
mencaricari bulan.




Daun Telinga yang Perawan

ingin aku membisikkan kata
di ujung daun telingamu yang perawan
hitamnya masa depan
susahnya membebaskan diri dari ketakmampuan
aku berharap banyak darimu
matahari yang menguak gelap kehidupan
dan hanya suara belalang
tersisa hingga engkau anggukan kepala

barangkali aku ayah yang ceroboh
membagi cerita pahit kepadamu
dan mengandaikan keindahan
mesti direbut dengan tangan keras
padahal mestinya aku tersenyum
demi telingamu yang perawan
dan anggukan kepalamu
yang sesungguhnya mengiris hatiku

aku membisikkan kata yang lain
yang terakhir kali
di ujung daun telingamu yang masih perawan
tentang kekuatan cinta yang harus dipercaya
tentang matahari yang menerbitkan keberanian.




Innocensie

tidurmu buku. hutan masa silam.
cahaya berkerlipan dari ujung rambutmu.
masuk dan jatuh ke dalam.
senyum dan tawa saat kau belia.
kadang aku sendiri tak puas.
“bahagiakah kau?”

lempang. lurus. lalu bintang.
rindukan perjalanan ini.
kita.
pelita di gulita.
terbaik dari yang pernah kita punya.

tidurmu mengungkap sejarah panjang.
aku yang tak ingin lelah. tersenyum.
kau punya sesuatu bagi dunia.
katakan!
di situ nama menggenapkan hidup.
dimana kau tinggal.
bersama cinta.
“kau akhirnya!”




Indonesia, Anak Lelakiku

indonesia dalam jantung bocah 11 tahun
berdetak lambat seperti jarum jam di stasiun
kereta yang ditunggu membawakan mainan
tak juga muncul
bersama jutaan bocah lainnya
bermain, meski bermain sudah tak lagi berhati
hanya semakin menjauhkannya dari kampung halaman.

rumah mungil dan trembesi menyimpan kenangan
sunyi memanggil mengajaknya mati
lalu cakrawala berpelangi jelaga, sehitam keluh kesahnya:
”Aku ingin melihat hutan, Ma…
membelai harimau dan orang utan”
mengapa ruang telah dimampatkan
hingga jantung berdetak lamban?

dia tertidur dalam remang cahaya
di antara Matematika dan Agama
lalu ia bermimpi menulis sebaris email
untuk kenalan barunya:
”Apa kau mengenal Indonesia, seperti aku mencintainya?”

kereta tak jua datang,
hanya deru angin menggetarkan pohonan
tapi di mimpinya, ia melihat kereta telah melaju kencang
tapi tak berhenti lama
dan tak menghampirinya.




Indonesia, Anak Perempuanku

anak perempuanku selalu mencabikcabik Indonesia
pada setiap pagi dan senja, dan masih di bawah trembesi
sebab rumah yang selalu buat singgah, serasa terbelah

siang menciderai matahari, bulan pun terluka malam
dan anakku menggenggam berbie
bernyanyi di kamar mandi
menirukan sebuah lagu yang terisak seorang pengembara:
”mengapa aku harus lelah karena cemburu?”

indonesia menyusup dalam nadinya yang bercahaya
seperti seekor kunangkunang di dalam botol kaca
meronta!
pecahkan kaca meskipun bertaruh nyawa.

sebentar lagi saja, waktu akan melahap habis harapan
bahkan cintanya, sebab di rumah
ia tak lagi menjadi anugrah
sembari melarung dua buah sekoci
di tepi sungai coklat
yang mengalir di bawah trembesi,
terdengar anakku lirih bernyanyi,
”tak usah banyak, pintaku cukup satu:
Satu tetapi berarti – Satu tetapi abadi”.




Doa Kampung Halaman

ranting patah
ranting kering
daun yang menguning
air bergemericik
tanahtanah terbelah
berdebu
menyampaikan proklamasi virus
proklamasi virus
di padang kuruksetra
di medan peperangan
di ladang pembantaian
mereka telah pancang bendera
perang akal sehat dan logika
perang cuaca di musim kemarau
perang batin di tengah budaya galau
perang nurani di hidup yang gamang

kita telah banyak kehilangan
telah banyak kehilangan
telah lama kehilangan
telah jauh kehilangan
hingga kita musti merayap, merangkak, melata
hingga kita bersimpuh di atas genangan airmata
hanya untuk sebuah nilai cinta
untuk sebuah cita cita
untuk sebuah harmoni hidup
engkau – aku – kita – semua
tumbuh di lahan persemaian yang semestinya
pulang
pulanglah
ranting patah
kembali
kembalilah
ranting kering
ke sini
ke kampung halaman kita sendiri
berkumpul dan bersendaugurau kembali
dengan barongan yang gairah
dengan saron yang nyaring
dengan tangan penari yang gemulai
dengan ekspresi teater dan sastra yang murni
dengan lirikan kekasih yang aduhai

tanpa rekayasa
tanpa keinginan dan pamrih dipuja
mengalir dan mengairi sawah kehidupan
menghijau dengan bulir bernas-berisi
menghampar di belakang rumah kita
adalah masa depan kebudayaan yang sesungguhnya.




Ini Sorga bagi Kita

masih kuingat jalan mendaki itu, naik menuju puncak,
meniti ungu coklat kehidupan di puncak Muria;
jiwaku terhempas seperti serat kapuk randu yang terlepas,
lalu terbuai gelak daun tawa pohonan nyanyi rumput
menjemput sapisapi di atas kepala petani,
riang anakanak kecil berlarian menggaris pematang.
begitulah aku menziarahi hari lalu.

biru dan tenang seperti alur sungai merayu batubatu,
lalu gema dzikir melambung dari rumahrumah santri
mengumpulkan jiwajiwa dalam satu bumi,
adzan meluncur dari kubahkubah masjid
mengumpulkan jiwajiwa dalam satu langit,
lalu sayup shalawat merayap dari mulut ribuan peziarah
yang tiada henti melawat masa lalu untuk benah hari ini.

kawan, betapa aku sungguh tak ingin segera bergegas
meninggalkan kehijauan ini dalam hirukpikuk kota.
ini sorga, dimana jiwaku terpuaskan oleh sebuah pesona.
apa yang akan kukenang jika Kudus pun melindap dari
kenangan dan tersumbat di aorta generasi bisu? Ini sorga
dimana jiwajiwa terpuaskan oleh sebuah pesona.




Sayap Malaikat

engkau mengangkatku dalam kepaksayap malaikat
serupa bayi; tubuh lilin – tubuh telanjang
dan terlukis ilalang di tepian poripori kulitku.

hangat dalam peluk lambungmu yang halus
mulutku garing memerih dikibas angin kering
engkau terus mengangkatku dari sunyi paling tebing.

kekasih, sayap malaikat di bola matamu
mengapungkan lukaluka.




Rumah Kita

rumah yang kubangun
dari cinta yang tumbuh
yang kuberi ruang
dan kurawat di setiap saat
memang bukan dari kaca
atau marmer istimewa
kadang solfatara
mengapung di atas asbak
dan menyela perbincangan
temboknya berlumut
lumut yang bisa bicara
coretan dinding
yang berbisik dalam gelap
lalu potpot yang seakan diam
menjaring informasi gerimis
gelas dan dentingnya
melempar fenomena
di tengah kepongahan

lalu aku hanya membiarkan
semuanya menjulur ke langit
menjalar ke tanah tanah basah
atau menjala semua ikan ikan
yang terbawa angin senja
di situlah kami tumbuh
hingga tak mengenal mati.




Teronggok di Gudang

rasanya telah cukup lama teronggok di dalam gudang
debu melekat menebal dan lukaluka dipenuhi karat
rasanya terlalu berat untuk tidak berkata aku telah usang
wajahwajah telah menjadi asing di setiap perbincangan

ada rindu seperti kau menjamahku dahulu
dan mendengar jerit tawa yang jujur di halaman
tapi ada cemas jika kau menyentuhku sekarang
aku tak lagi menjadi sesuatu yang kau inginkan

teronggok sudah di dalam gudang
tergeletak seperti barang rongsokan

hanya saja, entah kenapa engkau selalu hidup di sini
bersama keliaran jiwaku yang kesepian
jujur saja aku selalu gagal menulis surat untukmu
karena terlalu banyak katakata yang hilang makna
seperti bunga di etalase
seperti peristiwa di setiap sinetron Indonesia
seperti lima ratus dua puluh empat puisiku di korankoran
menjadi sebuah kemunafikan tak berujung-pangkal

aku masih mencoba mempercayaimu
sebagai kidung yang berlagu setelah adzan
sebagai kleneng lonceng sebelum altar bermadah
aku masih ingin mendengar kau membuka pintuku
meski diamdiam,
sebagai pengharapanku akan udara segar di jiwaku

datang, datanglah engkau kekasihku
ke dalam sebuah gudang
dimana teronggok aku di sana
sebagai rongsokan yang tak lagi berdaya
jika engkau sebuah cinta
aku percaya engkau mau memahami dosadosa.

jamah, jamahlah aku kekasihku
ke dalam jiwaku yang penuh luka
jika engkau sebuah cinta
engkau pasti mau menerimaku apa adanya.





Jalan Menara

jejakjejak. batubata membiru.
tua lumut. sumber airmata.
juga kau dan aku melangkah tua.

“dengar suaranya!”
bulbul mematuk tiap bongkah waktu.
wangi jeruk nipis, melati deodorant,
lalu asin keringat hasil perasan siang.
“hai!
berbaring di sini!”
di samping tahta.

jubah merah. lampion. bertalu bedug.
di penghujung hari perjuangan.
kau lambaikan tangan, dari seberang.
“aku telah berdosa!”





Route
riuh. arisan. derai tawa semalam.
sandal jepit terbungkus plastik.
lalu sedikit gincu lima ribu. pagi masih kabut.
“marva,
sebutlah satu nama!”

sekujur neon bergetar.
dan kekupu terjerat.

tikungan. akar pohonan telanjang.
sobekan koran pagi.
“marva!” lantang.
bibir merah menyala. Senyum rembulan.
terdengar tangis.
di rendaman air comberan.

“marva!
berlarilah!”
berderap. di perutnya bayi keempat.
matahari memanggilmanggil.




Roh Sungai

tepi serayu.
tepi nil.
tepi musi.
tepi sunyi.

pancar sinar yang jatuh beku.
riak membuang syak.
rindu reronce rah ragaku.

seperti lorong panjang.
perempatan gelap.
hidup membawa jalannya.
berhenti pelan. berhenti seketika.

sepanjang pengharapan.
menanti di sudut kesunyian.
Rah mengenang Roh.
bersenyawa di keabadian.




Kerkof

marmer dingin.
tersimpan ingin.
beku ini.
bukalah.
seroja dan dupa.
membungkus.
cangkang kehidupan.

tak ada kehendak. cium.
atau lepaskan saja.
pilih mati.
atau sembuh seperti sedia.
cemas, sedih cuma warna.

arah. segala mengarah.
jatuh di detik terakhir.
dia akan tetap memelukmu.
senyum abadi.
sembuh. sembuhlah.
karena dia telah menanti.




Memandang Prambanan

aku tak percaya kau selesai dalam semalam
jika mereka yakin kaulah yang tercantik, puan




Singgasana Ratu Boko 12 Siang

itulah kenapa mereka suka di sini
di atas awan menepi (sembunyi?)
jauh dari bisikbisik debu
jauh dari suara yang tak dimau
jauh dari liar lahar dingin merapi
jauh dari kasakkusuk pejalan kaki

di sini adem
ademnya memabukkan
tibatiba ingin disapa prajurit jaga
tibatiba ingin di paseban ada bedhaya
tibatiba ingin mengintaimu mandi
di salah satu telaga
tibatiba ada kehendak kuasa
dimana tak seorang pun menolak
tapi juga tak seorang pun membenci

itulah kenapa mereka suka di sini
di atas awan menepi (sembunyi?)
jalan nanjak memarkan telapak kaki
kerikil tergelincir
di ketinggian ini
janganjangan (justru) sebuah jurang dalam
sehingga kita mesti mendaki lagi
ke tempat abhaya benarbenar tak ada
di situ ademnya menjadi vihara
para sudra mengolah derita dengan gembira

oh, dindingdinding batu berlumut
batubatu berserak, rumah bagi koloni semut
carutmarut hidup bukanlah di kehidupan
carutmarutnya ada di hilangnya harapan
dan hening ada di hati yang mengolah hidup
di sini, abhayagirivihara bermetamorfosa
menjadi jiwa yang menengadah ke cakrawala.




Lembaran Daun

lembaranlembaran daun
yang bergurat, coklat dan keriput
bergambar epos para perempuan
menjangkau menggamit hidup
sebelum mulut penuh memagut
di selangkangan.




Jalan Cinta

akhirnya aku menjumpaimu di sini
di antara wangi kenanga dan warna biru
berkubang dalam satu gerabah
sebentar berhenti dari perjalanan yang rumit
dan kita telah meronce semua itu
menjadi perhiasan sanggulmu dan jemariku

cinta bukanlah sekadar sajak, kekasihku
bahkan bukan keindahan itu sendiri
di dalam satu gerabah
kita bertukar jawab dengan jujur
aku menjumpai huruf yang tercipta di hatimu
kamu pun akan tahu betapa ringkihnya aku
di sini kita beradu rasa cemas
karena kenyataan memang lebih menyakitkan

turunlah, kutunggu kamu di sini
berkubang dalam satu gerabah
agar kita tahu pantaskah kita bernama cinta

kekasihku,
cintaku sederhana, hanya satu, tetapi selamanya.




Artefak Cinta

sudah tertulis di atas batu,
hanya cinta sehebat waktu.
aku rakai pikatan, membangun ini candi.
seluruh kekuatan dan perhatian tercurah di sini.
engkaulah prameswara,
datang dan membaca relief dan artefaknya.
kau akan tahu,
yang terbaca di puncaknya adalah cinta.
prasasti bagi ruang dan waktu yang rapuh.

di tabir malam kau bernyanyi di taman lumbini.
suara bening yang mengambar dari lubuk hati.
engkau putuskan memilihku sebagai jalan tengah.
antara bumi dan hati: menyatu dan takkan belah.
menjelmakan sungai.
melayarkan perahu kita.
ke samudra penuh cinta.

aku membiarkanmu mencium keningku,
karena apalah dayaku melawan kuatnya cintamu.
engkau adalah kepercayaan
tempatku menggantungkan harapan
dian untuk menyusuri kehidupan.





Secangkir Kerinduan

secangkir kopi yang hambar
beberapa kalimat yang tak selesai
dan aku tersembunyi di bawah trembesi
bersama serpih matahari
aku datang, memenuhi janjiku sendiri
untuk menunggu yang tak pasti.

pagi yang cerah berganti gerah
kamu di lipatan waktu di balik pintu itu
menahan rindu
dan bersama serpih matahari yang sama
melarutkannya dalam buku agenda.

daun yang jatuh ke pangkuanku
terhempas angin rindu
atau terlepas oleh karena ia mau
aku gundah membaca relief prambanan
kiranya aku belumlah seberapa
untuk ngotot membela hatiku sendiri.

lalu kuteguk sekali lagi
secangkir kopi yang hambar
meneguk rindu yang tak sampai.
“aku pulang ya”
kutunggu kau di ujung ngarai
tempat kita berdamai.




Kepada Kekasih

jalanan basah karena hujan semalam
menyisakan genangan, seperti darah pada luka
kita pun limbung seolah terlepas dari pegangan
kita, masingmasing mempertanyakan pada diri
akan kuatkah untuk bangkit dan berjalan lagi.

sayangku, jiwaku melata di bawah rumputan
menghiba langit agar tak menghujani dengan batu
jiwa tetaplah jiwa, ia turut apa yang kita percaya
lihatlah, aku masih menyebut namamu
menyebutmu dalam setiap doa malamku
menjadi denyut yang memompa darahku
mengantar jiwaku bertemu jiwamu.

genangan yang berisi rekam peristiwa kelam
biarlah menjadi kenangan
genangan yang jernih berkisah kasih
biarlah berpendaran menghiasi perjalanan
tetapi kita tak boleh berhenti terlampau lama di sini
jiwa harus bangkit mengalahkan kematian
jiwa harus hidup menyanggupi tantangan dan kesulitan
karena cinta harus diperjuangkan.





Soneta Malaikat Cinta

jika kamu sedang tak rindu
nikmatilah semua waktumu
dan jika tahutahu kau tersesat, jauh dariku
kamu akan tahu kapan kamu panggilpanggil namaku

jika kamu sedang bercumbu dengannya
ingatlah bagaimana aku nakal dan bergairah
saat aku menciumi tangan dan pipimu
hingga kamu seolah meladeninya tanpa ragu

jika kamu mengasihiku
kenangkan saat kamu kecewa padaku
lihatlah aku yang tak pernah lari meninggalkanmu.
aku tetap di sini
karena haruslah terjadi:
kamulah kekasihku sejati.





Kamu

hatinya bunga
jiwanya bunda
wajahnya embun
bicaranya satu

dia dari sorga
dia dari sorga

tubuhnya melati
matanya matahari

pipinya ngangeni
dia seorang dewi
dia seorang dewi.





Tak Ada Janji

bunga tak pernah memberi janji
kepada siapapun karena indahnya
embun juga tak pernah berpesan
karena suatu saat akan kembali

itulah mengapa aku diam saja
ketika mendengar seribu harapan
itulah mengapa pelangi
kau saksikan sesuai hujan.





Bulan Bundar di Menara Kudus

kita bercengkrama di terasnya
hingga halaman berpendaran penuh cahaya
ditemani bulan bundar di atas menara
“ini waktunya bagimu,” ujarnya
“merebut peluang yang lapang di sini.”

bulan bundar secantik wajahmu
tersenyum lalu tertunduk
aku sendiri seakan hilang selama ini
harihari telah penuh bersetubuh agenda
tapi agenda menemuimu:
“tak pernah tertuliskan, tapi terjanjikan”.





Tiga Belibis dan Sekuntum Bunga

bersama dua belibis
di pojokan main-office
bertiga senyap
kopi pun tandas sekejap
dan sekuntum bunga.

aconk berlagu:
“adakah cinta yang tulus kepadaku”
bambang mendongak:
“waktu berjalan begitu cekak”
aku nanar di undakan tangga:
“leherku lelah menyangga kepala”

bersama dua belibis
di tepian mata gerimis
bertiga sunyi
jalan sendirisendiri
dan sekuntum bunga di bait satu
tibatiba berkata, “perih sembilu”.






Gendewa

sehari demi sehari
berjalan mendaki
setapak demi setapak
kian terpuruk remuk
semakin masuk ke dalam
semakin terlempar ke luar
begitu rumit dan sulitnya
mengejawantahkan rasa.






Sungai Aorta

karena engkau tidak hanya di sini
atau berhenti di titik ini
engkau mengalir dari hulu hingga hilir
di sungai aortaku, menyatu
membasahi ladangladang
memberi harapan, hidup dan citacita.






Pendakian Cinta, #1

ini kali sudah tak bisa ditawar lagi
bukan lagi jawaban dari mulut
untuk mengelak, menerima atau menuntut
malam ini bakal bergegas pergi
membawaku dalam jaringjaring berduri
airmata pun sudah amis, terasa darah
api yang tergenggam membeku bisu

memanjang dan berliku, dera di antara gelak hura
kerikil tajam dan silika, menyerbuk di pelupuk mata

“bukan soal kematian ini, bukan soal rasa sakit ini
sungguh tersiksa merasa diri seorang diri
ditinggalkan, terasing dan terbuang
sementara aku tahu kau tertawa terbahak
lalu kau denting berdenting dengan bejana tuak”

tetapi ini kali aku harus berdiri
tegak lurus langit gagah menaklukkan keangkuhan
ada yang lebih besar yang ingin kulerai:
betapa hatiku sangat mencemaskanmu
betapa hatiku sangat mengasihimu.






Pendakian Cinta, #2

sudah terbayang yang akan terjadi
sudah terasa sakitnya hingga ulu hati
jarum waktu menjulur seperti cemeti
membilur sekujur kepala hingga kaki
perihnya
pedihnya
pahitnya
arakarakan duka
membunga di sepanjang jalan
mendaki ke puncak Golgota.

kau dekati aku
sedekat pelupuk mataku
tapi tak kujumpai hatimu
kau genggam jariku
seperti tak inginkan sakitku
tapi tak kurasakan doamu.

siapakah yang ingin kau belai
ketika hatimu sendiri tergadai
siapakah yang ingin kau amuk
ketika hatimu sendiri remuk
kujumputi remahremah hati
kusatukan kembali menjadi dirimu
bukan karena kamu telah membelaku
tapi karena hatiku amat mengasihimu.






Pendakian Cinta, #3

horison robek fajar kemerahmerahan
lampu minyak zaitun yang berjaga semalaman
satu demi satu dipadamkan
subuh menyisakan angin basah
terperangkap daundaun palma di lembah
sangsiku usai sudah
lunglaiku enyah sudah

kuturuti jalan setapak menuju kota
membelok dan naik mendaki Golgota
menujumu

kubawakan seraut wajahku
yang memancarkan isi hatimu
kuronce karangan bunga di kepalaku
yang menguapkan wangi tubuhmu
di jalan ini dan jalan yang akan kulalui

kucium bau sorga
sayup kudengar pujipujian mulia
sakit dan pedihku
lumer digilas sukacita
sebab bukan karena kekuatanku
aku sampai padamu
sebab bukan karena kehebatanku
aku mampu menjangkaumu
Kasih yang kuterima, yang meneguhkanku

aku pasti menujumu,
mendaki puncak Golgota
dengan sepenuh cinta.






Pendakian Cinta, #4

batas sunyi adalah bunyi
batas rindu adalah ketemu
tapi batas kasih tiadalah bertepi

dialah yang kurindukan saat ini
jiwa yang bunda
suaranya meredam dendam
kasihnya menyembuhkan luka

“terjadilah, asalkan itu kehendakmu”
karena hatiku amat merindukanmu.





Pendakian Cinta, #5

kau takkan menyangkalku?
kau bahkan telah malu dan sembunyi
sebelum ayam jantan berkokok pagi ini

kau takkan meninggalkanku?
kau bahkan telah berlalu dan pergi
sebelum para serdadu itu membawaku

kau akan menjagaku?
kau bahkan telah terlelap
sebelum redam gelisah hatiku

kau akan membelaku?
kau bahkan telah menjualku
sebelum kita tertawa pas makan bersama

tetapi biarlah kuselesaikan perjalanan ini
aku percaya kau akan menungguku
di ujung jalan di batas kota
membawa sekeranjang bunga, tissue dan airmata
tapi juga senyuman khas malaikat sorga

tentu
setelah semua urusan selesai
setelah semua masalah rampung
setelah semua menyadari
kitalah pertautan cinta sejati





Pendakian Cinta, #6

masih saja selalu terguncang
ketika jam 6 pagi langit pekat
dan matahari tak jua terlihat
padahal engkau ada

masih saja terombangambing
seperti hilang arah kemana tujuan
terhuyung ke selatan, menuju daratan
terseret ke utara, mengarungi samudra
padahal engkau ada

“aku ada karenamu,
aku ada buatmu,
aku ada di dalam dirimu.”

tanahtanah gemeretak di bawah kakiku
menghisap airmata, menghisap darah luka
bungabunga yang kupandangi
kelabu garing di kelopaknya
kubelah rumah allah, rata tanah
kuhitamkan langit cakrawala,
agar kau tahu aku pun murka
saat aku kau biarkan tanpa kabar
saat aku kau tinggalkan seorang sendiri.





Pendakian Cinta, #7

menimangnimang hati yang gamang
melindungi nyala lilin dari tiupan angin
tak perlu cemas akan terluka
tak perlu khawatir akan padam
tulangbelulang yang melesap di malam
koyakmoyak dan rontok di jalanan
aku tersungkur
di sisi belati dan tombak

mungkin karena ada hal besar
lebih besar dari dunia kita
teronggok di sudut kasur tua
sakitnya luar biasa, memanggil kita
mengelus membuai
mengusap hingga sembuh ia

aku di sudut dalam ruang gelap
menyebutnyebut namamu
dengan tangan terbelenggu
mata sembab penuh debu
dengan bibir yang kering
merindukan senyumanmu
karena kamu jauh lebih penting
melebihi hidup dan kehidupanku.





Pendakian Cinta, #8

Bapa,
hatiku berduka
hingga mau mati rasanya.

Bapa,
hatiku bahagia
mencintaimu, sorga rasanya.





Pendakian Cinta, #9

tak ada gambar
tak ada tulis
beri pagar
beri batas
lalu pelanpelan akan dikurangi
lalu pelanpelan akan diambil kembali
kehadiran
senyuman
perbincangan
aku punya masa lalu
untuk aku bisa menepis ciumanmu

aku punya masa kini
untuk aku bisa mengelupasmu tanpa luka
aku punya masa depan
untuk aku bisa melenggang tanpa beban

lalu engkau akan bertanyatanya
apakah ini yang terjadi sesungguhnya
apakah bukan karena aku
memiliki kecemasan yang tak terperi
dan aku tak ingin kau mengetahui.





Pendakian Cinta, #10

tahta hatimu di puncak Golgota
tempat sakit tak terasa sakit lagi
tempat perih tak terasa perih lagi
aku menujumu
sepotong hati berlumur darah
seglondong kepala bermahkota duri
memanggul kayu tanda cinta

sepinya begitu menyengat
seperti rasa sepi seusai marah
mendobrak meja dan mezbah
mengusir penjual dari dalam Bait Allah
tersudut di pojokan, tanpa kawan

tetapi aku merasakan hatimu
bersinar di tahta di puncak Golgota
memanggilku dengan kayu tanda cinta
sepotong hati dan seglondong kepala
lebih merindukanmu
daripada perasaanku terhadap lainnya
untuk itulah aku berangkat ke sana
menujumu.





Pendakian Cinta, #11

telah kutebarkan benih
di sawah dan ladangmu
telah kutaburkan kasih
di siang malam waktumu
kasih selalu terlahir tanpa pamrih

kasih juga tak terlahir sebagai silih
kasih adalah kedip bintang
di sepanjang malammu
kasih adalah gairah matahari
di sepanjang siangmu
biarlah kau tak menyebutku sahabat
aku tetap tak hendak berkhianat

biarlah kau tak menyebutku kawan
aku tetap tak ingin melawan
betapapun kau membenciku
betapapun kau keras menyalibku
aku ingin tetap mengasihimu

karena aku tahu
kau sungguh berarti bagiku.





Pendakian Cinta, #12

keras bagai batu
hembusan angin tak akan mampu
tetap tak bergeming bagai tebing
tapi aku kan jadi air
atau kan jadi apa saja
hingga batu menjadi butiran pasir
dan kasih bisa berjejak di sana.





Pendakian Cinta, #13

duka ini pasti berakhir
sukacita segera terlahir





Pendakian Cinta, #14

sebagai lukisan yang telah terpajang
engkau melihatnya sebagai keindahan
sebagai puisi yang telah tertulis
engkau membacanya sebagai keindahan
sebagai melodi yang telah terangkai
engkau mendengarnya sebagai keindahan
sebagai seniman yang menuang jiwanya
engkau akan merasai haru
engkau tahu betapa hidup adalah peristiwa genting
yang harus diselamatkan.
inilah darah yang menetes
dari dahi ke batu
dari hati ke kamu

inilah tubuh yang terbantun
dari tegak ke tiarap
dari jiwa ke harap
pendakian ini kisah panjang
menegaskan pilihan
meyakinkan pengharapan.

engkau menceracau di tembok ratapan
sukma beterbangan bagai kunangkunang
berkeriapan dalam lautan kegelapan
di sekujur batang palma
kuda dan keledei ditambatkan
menjaga roh yang roboh dimabuk kelana.
tapi aku yakin bisa mengenalimu
dari bau tubuhmu yang kucium waktu itu.





Pendakian Cinta, #15

berat nian kayu ini
kupanggul mendaki Golgota
rindu mama, senyum magdalena
terjepit peluh di kelopak mata luka
di antara langkahlangkah kaki
hanya nyaring terdengar maki
kebencian yang memuncak
engkau menguap bersama keringat
hanya angin mengusap
menciumiku dengan amat sunyi

bapa, aku lelah
bolehkah aku menyerah?
mengasihimu
menyeretku pada kisas
bukan pada mati yang kutakuti
tapi akan sepadankah nanti?

telapak tanganku mencecapi kayu
dengan ronggarongga sebalur serat
terbaca lukisan luka di penampangnya
tapi toh aku tetap bergerak
meski tak tahu lagi engkau dimana
aku membusungkan dada yang darah
dengan sekuat tenaga
dan meski berkali gagal juga
aku tetap jalan memanggul cinta.





Pendakian Cinta, #16

memanggul kayu salib
bukanlah memanggul nasib
melakukannya dengan rasa kasih
dari awal hingga akhir cinta ini bersih
apatah guna sangga dendam
bilur dan luka bakal redam
apatah guna kujalani dengan benci
membuat hati bagai bejana tak berisi

dan kesungguhan yang telah dicapai
hanya berakhir semata bangkai
tak!
langkahlangkah kecil
jejakjejak kecil
tetap menujumu
berakhir di senyummu

jika bibir tersenyum tapi hati benci
aku telah menyakitimu dan hatiku sendiri
jika aku tertawa sambil genggam dendam
aku telah mengajakmu bermusuhan
jika kata bijak kutulis dengan amarah sesat
akulah pemerkosa moral paling bejat

aku memanggul salibku
sekuat tenaga terbaikku
bilur dan lukaluka
bejana bahagia.





Pendakian Cinta, #17

jika mungkin aku ingin
kehendakku yang terjadi
tak mau kuambil cawan ini
meminumnya untuk mati

jika mungkin aku ingin
kehendakku yang terjadi
kuusir yudas dari sini
dan aku tetap tersembunyi

jika mungkin aku ingin
kehendakku yang terjadi
kupimpin pasukan surgawi
meluluhlantakkan bangsa ini

jika mungkin aku ingin
kehendakku yang terjadi
menyelamatkanmu segera
tanpa harus disiksa didera

jika mungkin aku ingin
kehendakku yang terjadi
tetap di sini bersamasama
tanpa harus ke Golgota

tapi kehendakNya
sakit ini menyembuhkanmu
luka ini menyucikanmu
sepi ini membahagiakanmu
mati ini menghidupkanmu

kehendakNya saja yang terjadi
meski harus mati, di hati kau abadi.





Pendakian Cinta, #18

pasrah dan percaya





Pendakian Cinta, #19

aku terjatuh lagi
dan sudah tak terasa sakit lagi
kerikil tajam makin dalam nusuk di tengkuk
debunya berpusingan di depan hidung

aku merasa ada tangan halus
meremas halus lenganku
lalu tangan kirinya mengelus darah
yang merembes sepanjang pipi
sampai di daguku
ia menengadahkan kepalaku yang koyak
“kamukah itu?”

matanya telaga
senyumnya mawar
bau tubuhnya cendana
aku pernah (begitu) mengenalnya
ia mengangguk
lalu matanya berkacakaca
sebelum pecah jadi airmata
kepalaku telah lunglai ke tanah

selendangnya berkibaran
di antara deru angin dan bau bacin
di antara lecut cemeti dan injakan kaki
ia masih di hadapanku
menangisi kelemahanku
menangisi ketakberdayaanku
selendangnya yang tengah berkibaran
dilepaskannya dari leher angsanya

dan diusapkannya ke pipiku
dibersihkannya wajahku
“bangkitlah dan selesaikanlah,” bisiknya
aku menatap matahari yang terik
aku menatap jalan berbatu yang mengejek
aku menatap wajah ayu, wajahmu
kataku, “di selendangmu
darah dari lukalukaku
selalu tersenyum buatmu.”

lalu orangorang kulihat sedikit minggir
memberiku jalan menuju kematian.





Pendakian Cinta, #20

jalanan menanjak
salib di pundak
terasa makin memberat

simon, tak usah kau bawa
sekerat hati karena iba
kau takkan mendapat apaapa

satu demi satu
sahabat berlari menjauh
pentas penderitaan
bakal riuh tepuktangan

dan kau, hati bunda
mengawal ketakutanku
dengan dendam yang telah dipadamkan
dengan amarah yang telah diampunkan
tanganmu lembut membalut bukit dingin

jarak makin dekat
bau mati makin pekat
makin berat
makin sekarat

golgota
puncak pentas
pertempuran hati
– tetaplah di sini
– janganlah pergi





Pendakian Cinta, #21

setiap bilur lukaku
tanah rekah mata darah
menjadi penyembuh
cucuplah darahku
biar membasuh aortamu

tubuh yang sesaat lagi terbantai
menyangga injakan kakikaki
meredam remuk-ngilu tulangtulang
tapi rohku melambung tersenyum
menyambutmu
kemarilah sakit, luka dan nestapa
biar kulunaskan hari ini juga

setiap bilur luka
tiaptiap erangan
menyimpan senyuman,
maka janganlah khawatir
karena janji pasti ditepati.

Inilah jalan ke Golgota
kemenangan atas mautku
ialah membuatmu bahagia.





Pendakian Cinta, #22

siapakah yang kamu tangisi
wahai perempuan Yerusalem
tangisilah dirimu dan anakanakmu
jika Bait Allah yang belah
bagimu adalah rasa susah
jika langit yang pekat
bagimu nampak tak terlihat
jika jalan matiraga ke Golgota
tak sedikit pun membuatmu percaya.





Sebait Romansa Juliette

di Verona
di jalan yang berujung Via Capelo
Nereo mencetak tubuh tembaga
di teras Casa di Guiliette
Romeo mendengar sumpahnya
lalu mencumbunya di bawah hujan sinar bulan
untuk cinta berabadabad tak mati.





Mazmur Pengasih *4

matahari menjadi sukma
melayang di atas rambutmu
sore ini aku krasa kamu bercahaya
mripatmu melahirkan halhal baru

hatiku kini setenang telaga
karena anginmu yang tenang pula
berkesiur sejuk dalam jiwamu

semenjak mula
hingga akhirnya
aku mengasihimu.
di bumi, dan di langit nanti.





Rabu Ini Abu

dari debu ke debu
ini rabu berdebu
palma mengelabu
raga hanyalah abu

dari debu kembali debu
sepanjang jalan menujumu
meski berat dan memilu
tetap saja mencintaimu





Memoar
-pelayatan.agung.bersamamu-

teringat harihari ini setahun lalu
kau yakinkan aku mampu
kau iringi di tiap kakiku melangkah
kau rindu tahu setiap gerakgerikku
kau kuatkan rasa percaya
kau senyum sembuhkan luka
kau menyusup ke hati dan jiwa
kau api di sana
menghangatkan yang ada.





Kesiur Angin

kesiur angin di beranda ini
kesiur angin di beranda ini

mengiris seonggok roti
mengiris seonggok roti

berdarah apa yang dipangku
berdarah apa yang dipangku

bejana tua serpih ke lantai
bejana tua serpih ke lantai

ini salah hari, salah hati
ini salah hari, salah cara mencintai





Diorama

desa dengan puluhan palang kayukayu.
bertumpuk berjejalan. sebesar lengan
dan betismu. coklat kemerahmerahan.
sapuan berkas sinar lampu jalan. dan
kamu sesekali melintas di baliknya.
menenteng satu tas: berisi airmata.





Menari

aku menari
dengan latar matahari
jari-jemari berkerlipan
seperti saudati
mripatnya penari bali
aku menari
di gigir bukit
sunyinya menggigit
tapi iramanya riuh
nyaris tak terkendali

menakar sakit
dengan kerinduan
menimbang sayang
dengan dendam
biarlah tarian
menggerakkan rohku
serupa mambang
menyikap ragaku

hingga nanti terlepaslah
apa yang mesti dibuang
apa yang mesti ditunda
dan terikatlah
apa yang mesti dicinta
apa yang mesti disayang.





Cor Jesu

kamu di sepanjang jalan
berseliweran dalam diam
atau aku tak mengenalimu
sebagai perempuan itu?

di pangkuanmu, mama
bola mataku jatuh
dan ngglinding ke selokan
tubuh mati
tubuh sangsi
dan kamu menangis
untuk dirimu sendiri.





Mutilasi

dia pun rebah, memar dan darah di sekujur tubuhnya
yang tercerai-berai, tiang pancang bagi perahu tua
mereka pun mengenalnya, bau keringat sapi perah
dan tangan yang selalu basah

3 tahun aku mencangkulinya, ia diam saja,
sakit adalah imunisasi, lalu pada 1 minggu terakhir
aku ikat tangannya dan kujerat lehernya dengan 11 lilitan
kabel telepon

istrinya dan 1 anaknya keluar dari pelupuk matanya;
dalam gelembung biru dongker, aku merebahkannya
dengan 2 tikaman sangkur tepat di dada kirinya
karena sungguh aku sematamata ingin
menyelamatkannya

aku tak suka ia lihat waktu, meraba arah apalagi deru
mesin pabrik yang berisik, yang katanya lebih
memanggilmanggil,
dan ia seperti anak ayam yang selalu dipatuki lelaki kekar
yang telah membeli jiwanya.





Lelaki Sisa

melihat senyum wajah berbinar tawa terdengar
orangorang lalulalang saling bersalaman, biru
di panggung biduan dengan susu separoh terbuka
mengibaskibaskan pantatnya, amis baunya.
pohon jambu, selembar daunnya mengusap pipi
seorang laki berkursi roda, tak bisa kemanamana
saudara sedarah hari ini pesta nikah.
melihat semuanya tak berarti mengerti semua
mendengar suara tak selalu mengerti maksudnya
di saat kegembiraan di luar membuncah
saat itulah keheningan di dalam menusuknya.
ia sudah sisa, hidup tinggal jalani saja
ia hanya ingin di sisanya masih berguna.





Hari Ketika Kamu Sampah

hari ini matahari lebam
matahati terpejam
apa yang dilihatnya padaku
sampah di tong sampah
barangkali benarlah ia paling suci
bertangan peri berpipi bidadari
berucap bak malaikat surgawi
hari ini aku mengenang
sebagai permulaan mengenalnya
siapa dirinya yang nyata,
ialah mawar duka bagi cinta
yang ia timang bagai boneka,
aku akan mengenangnya
pun tetap di sini menunggunya
dengan sebelas sukacita.





Kepergian

buah jeruk yang tergantunggantung
telah kucuri di malam lapar
aku jarang menyebutmu baik
keabadian hanya mengabdi
pada dirinya sendiri
kau pun larut dan sibuk
mengurus administrasi surgamu
maka aku mencurinya
agar kau sesekali datang padaku.

sore ini kau benarbenar datang
tetapi untuk pergi
ke tempat yang kau sebut abadi

sore ini kau benarbenar pergi
tetapi tidak untuk kembali
kau pergi ke tempat yang kau ingini

sore ini aku terjerembab sepi
aku pernah bersamamu
mengajariku melukis masa depan
dan tak pernah kuperhatikan

sore ini aku terjerembab sepi
kepada siapa aku akan bertanya
dimana tempat abadi
tempat Kasih sejati bercahaya.





Bau Tanah

tubuhku bau tanah
segar, terlebih sesudah hujan
tubuhku bau tanah
sebentar lagi akan sudah

tanah di depan rumah
sunyi dan lengang
geliat spora, cuma
lirihlirih rintik bermadah

hamparan tanah di sawah
becek, amis dan berdarah
cacingcacing mengintai
menungguku membangkai

lekuk tanah di ngarai
gemerincing terbentur batubatu
jiwaku jiwamu selalu membadai
di detik terakhir, aku membatu

tubuhku bau tanah
segar, terlebih sesudah hujan
dan kau menciumnya
seperti bau tanah tubuhku
sebentar lagi akan sudah





Jalan Separoh

bagaimana agar bisa tegar
apakah mesti liar
seperti waktuwaktu yang dulu
mentertawakan gagal
menginjakinjaknya dengan binal

kini sudah bukan kanakkanak lagi
larut dalam tangis rasanya tak tahu diri
mulai menyangsikan berbagai hal
menggerutui macammacam kesal
dan hidup terus menuntut
untuk terus berlanjut

ini waktu sudah separoh jalan
ini tubuh sudah separoh mati
ini jiwa sudah separoh hati
siap berangkat atau ditinggalkan





Trisuci di Sudut Sunyi

malam telanjang
bulan bulat
teja netes di dedaunan
padamu, aku tlah kehilangan
lahir, pijar dan padam
berakhir di satu kelokan
mengenai awan yang lesap
langit biru lapang yang ingsut
mengenai daun kering
yang terombangambing angin
hatiku yang koyak
saat kamu nanar di sepiku.





Pintu Kaca

pintupintu kaca menunjukan gelimang airmata
meskipun daunnya tertutup terkunci dari dalam
kata mempersenjatai amoniak dan bubuk mesiu
bait hati tercemari bagaikan polutan di udara.
“aku sakit, lelah memelihara rasa,” katamu
menjagai siang malam tak jua berujung diam.
aku mencintaimu melebihi segala kesumat rasa
dan aku sudah basah menjadi sungai airmata
airnya deras melumat grendel hingga pintu terbuka.





Sajak Pohon

kamu adalah buah kekhawatiranku
yang lebat berbuah saat kemarau kabar
dan anginnya menusuk begitu dingin.
kamu adalah lembar daundaun kangen
dimana kutulis sajaksajak kehidupan
uraturatnya kuat mematri di sanubari.
kamu adalah kambium pohon jiwa
mengalir menghidupi di tiap nyaris matiku.
kamu adalah kehidupanku saat ini
dimana keindahan kebaikan dinyatakan.





Kematian Tiba-tiba

tulang-belulang berderit seperti engsel rombeng
mripat mengembun, tak lagi kenal raut kecuali maut
mendengar namun tak mendengar, semua samar
tetapi jiwa selalu bisa berubah rupa
sesuai niat, sesuai citacita pucuk cemara
bisa buram kaca, juga bisa pelangi di atas telaga.
begitulah kematian jika sudah demikian dekatnya
angan bergantung di angin, cinta ditarik empunya
di puncak hening sendiri menyaksikan sunyi
jangankan mampu merengkuh mendekap sungguh
di sisi, di jarak terdekat, kau takkan meraih kembali
dan tak ada satu pun bisa menjadi penghiburnya.
demikian kini aku tak mampu menjangkaumu
larut hanyut dalam palung hening tak bergeming
sudah kutautkan satu tanda jika kelak kita bersua
yang mana kau pasti akan mengenalinya, Cinta.





Lingkar Tahun Pohon Cinta
-satu

semakin lama cintaku tumbuh bersamamu
semakin berakar mengurat dan tergambar kuat
sebagai jejak lingkaran waktu di batang pohon
bersama berragam musim yang lewat
sesekali luka getah darah karena angin yang tajam
lalu patah dahan ngungun di penghujung malam.
lumut lembab batubatu kali dan gemerciknya
melalui burung menyampaikan kabar gunung
diam merengkuh kehangatan gairah lava pijar
karena cinta menuliskan sendiri ceritanya
mengisahkan desir hingga muara bernama kita
ialah kuatnya rantingranting berpegangan di angin
akarakar cinta kita kokoh menggenggam keabadian.





Airmata Bukit Kering
-satu

kau mengeringkan sungai, sisakan satwa lunglai
akarakar pinus meregang mempertaruhkan nyawa
sebelum musim kemarau, kau halau embun getun
tak habis airmata ingin menyudahi segala perkara

serangga di setiap musim, tak peduli panas dingin
tak terpengaruh musim gugur, banjir di musim hujan
bak cucup cuka merih luka, bibir di senyuman suka
tebing membasah meneteskan kesejukan pagi.





Bukan Soal yang Terlihat
-satu

bukankah cinta itu tidak hanya soal yang terlihat
ia serupa tangan kiri ketika kau tangan kanan
ia seperti sepasang mripat yang memperhatikan
setiap lekuk tubuhmu, merumat aduh dan horemu
terlebih di saat kau tidak mampu melihat indahmu.

tetap kurayu kupagut merajuk padamu
bukan saja karena aku seorang bengal dan nakal
tetapi aku tak mau kau tak merumat sunyi hati
jantung berdegub lebih kencang tak terkendali
kata dan ucapan bersilang hanya demi gengsi

aku mengerti Satu, darahmu berdeburan dekatku
sebagaimana gairah laut, tak bisa kau padamkan.
tenanglah Satu, aku tetap bersamamu
jika Tuhan mendiami hatimu dan memilikimu
maka aku percaya, aku ada di dalamnya
dalam rupa seratserat doa
dalam rasa yang tak mungkin dusta.





Langit Bersajak

langit berkisah tentang dusta, moral dan dosa
halhal yang sungguh tidak pernah jelas garis-batasnya
tetapi kita selalu iya karena kepentingan kita sama
aku hanya tahu: aku suka rambutmu panjang tergerai,
bibirmu yang menggumam doa atas setiap peristiwa,
sepasang mripatmu yang tajam yang telah merobek
bagian terpenting dalam kehidupanku,
dan juga lekuk tubuhmu yang melukiskan sorga.
di hadapanmu aku selalu tak berdaya
di tatapanmu aku meregang nyawa
kepada jiwamu aku selalu percaya
menyaksikan langit berubah senja
dimana kita menguning menunduk menua
tetap di hatimu aku menemukan sajak cinta
yang kau tulis abadi tentang kita.





Tentang Lupa

cukup mudah untuk melupakan
nama dan alamat rumahmu
tetapi kamu tak akan bisa lupa
rahim cinta yang pernah melahirkan
KITA





Santa Penabur Mimpi
-bagian 1

inilah kisah sang santa penabur mimpi
terpetik dari gugusan bimasakti
sebagai bintang yang jatuh ke bumi.
inilah kisah tragis seorang santa
petualangannya dibenturkan atas nama rasa
kesaksiannya ditegakkan atas nama dogma dosa.

dia datang dengan wajah bercahaya
seperti pualam bercahaya bulan purnama
turun dari gugusannya
menyebrangi anomali
menerabas tapal batas kesangsian
lalu di antara senyum agungnya
airmatanya tak henti menyungai
melewati buah dada seribu gunung
untuk bermuara di tempiknya yang harum.

tetapi itulah daya pikatnya: senyum dan tangisnya
seperti lukisan dan nyanyian surgawi
dia turun ke bumi untuk mengasihi
memperlihatkan keindahan mimpimimpi
lalu mematuknya di tikungan hari
di saat bumi membutuhkan keberadaannya.

Dia, sebagaimana rencananya semula
tetap akan kembali ke bimasakti
setelah seluruh muka bumi menjadi hamparan subur
saat dia menabur mimpimimpi.
Dia, akan tetap dikenang sebagai yang terkasih
sekaligus sebagai yang tersadis bagi bumi.





Santa Penabur Mimpi
-bagian 2

titiktitik air menggelincir dari dahan ke pucuk daun
dari pelan lalu beranjak deras beruntun
sekujur tubuh muntingia calabura menggigil
tersudut sunyi di tepi bengawan kecil
tujuh kelelawar ribut berebut buni yang tersembunyi
seperti gairah lelaki saat memuja susu kekasihnya.

angin dingin berhembus, menghempas di kulitnya
riakriak yang menghambur ke tepian arogansi
selendang itu berkibaran di antara titiktitik air
aroma tubuh yang dikenalnya sudah tercium di kejauhan
sang santa penabur mimpi, datang menghampiri
“aku sangat mencemaskanmu
aku ingin bisa membuatmu nyaman.”
tangan santa menjulur, mengusap kening
mengusap kecemasan dan ancaman kematian.

keringat dingin masih deras membasah kulitnya
lelaki yang lemah dan kalah, lunglai di tepi bengawan
“aku amat merasakan lelahmu,” kata santa
rambutnya nampak lebih panjang dari sebelumnya
“aku tahu kamu tertawa
tetapi aku juga merasakan sedihmu”

santa penabur mimpi duduk dan lebih menunduk
akan diikutinya lelaki itu sebagai sayap malaikat
“aku menangis ayem
saat kamu menjamahku sore itu,” bisiknya.
tetapi tak lama. sang santa bangkit, tegak lurus bumi.
“aku bersamamu. karena kamu selalu ada saat aku perlu.”





Santa Penabur Mimpi
-bagian 3

santa menggamit tangannya
menyelaraskan jari-jemarinya
dengan jari-jemari bumi yang kering
hingga degub jantungnya seiring
desah angin bersemilir
air dingin tenang mengalir
membelai rambutnya
membasahi susunya
langkahlangkah perkasa
berjejak di tanah yang dilaluinya
demikianlah di suatu waktu
suatu siang, jauh sebelum siang itu
lalu menjadi mimpi buruk saban hari
setelah ia meninggalkan bumi.





Santa Penabur Mimpi
-bagian 4

rambutnya tergerai dalam kibasan angin
sebelum dipotong seperti sekarang
katakata suci dituahkannya
menyelubungi bumi yang acum
tubuhnya harum seperti parfum
bumi kian mewah dengan senyum
terpampang di segala pandangan
hidup begitu sederhana untuk gairah.

namun santa kemudian lebih banyak cerita
di kamarnya, ia hanya berteman doadoa
mantra warisan Daud untuk anakcucunya
lelehan demi lelehan lilin memilin kain sutra
mengisutkan lembaran stolla
yang terpapar di altar yang garing
“rasa tak selalu harus dikata,” katanya
santa terlihat begitu sakitnya
dalam senyum tawa pembungkusnya.

beberapa kali sudah, bahkan ribuan kali
bumi mengingkari janjijanjinya sendiri
dan itu amat menyakiti santa
ia mengenal santa sebagai satusatunya
kekuatan hidup yang belum pernah dirasanya
namun santa tak pernah mengesah
ia membasuh luka bumi dengan selendangnya
yang ia celupkan di sendang
mencucup luka bumi dengan mulutnya sendiri.

tangan santa penuh daya
mulutnya penuh mantra
hatinya penuh doa
tapi suatu kali ia sangat ingin jadi manusia
dengan tubuh langsing semampai
sebagai kesempurnaan seorang wanita.
meski bagi bumi, santa terlalu sempurna
dengan kemolekan tubuhnya yang ada
pipinya yang ranum
matanya yang purnama
bibirnya yang merekah
buah dadanya yang montok
hatinya yang murni
menggemaskan bumi
sudah cukup meluluhlantakkan rasa gamang
sudah cukup membuat bumi
bergairah kembali
setelah menyawah, padi melimpah
setelah luka, panen sukacita.
di kejauhan, dari bukit penuh ular berbisa
ia bernyanyi, lagunya sampai ke bumi
“kemanapun pergimu, aku ada di hatimu”





Santa Penabur Mimpi
-bagian 5

mendekati jam satu siang
serbuk sari bunga tebu beterbangan
di hamparan ladang
semua memperhatikan mereka
galengan yang retak
guludan yang gundah
giwang rumput di telinga
gelang kayu di pergelangan
berharap sukacita
tetapi sunyi semata
siang lengang yang panjang
seperti jalan setapak yang dilaluinya
tak juga nampak ujung akhirnya.
santa berulangkali tertunduk
dalam hektik rutinitas saban hari
berusaha menjangkau bumi
sembari membisikkan ke ruangruang
“aku mencarimu kemanamana”
santa melihat airmata bumi
terbendung di kelopak matanya
tetapi ia tak akan berbuat apaapa
ia pikir bumi harus tumbuh dewasa
bangkit atas kekuatan sendiri
adalah keberhasilan sebuah juang.
langit pucat
coretan merah saga di dahinya
di dalam bola matanya yang hitam
sendang dengan riak selendang
seperti sepasang sayap malaikat
seperti ingin mendekat mendekap
meyakinkan buminya
ia istimewa senantiasa.





Santa Penabur Mimpi
-bagian 6

santa, ini perjalanan kematian
jika kau telah pindahkan aku
dari bayang gelap pepohonan
ke tempat padang
dimana matahari menyinariku benderang
lalu kau padamkan lalu tinggalkan.

santa, ini perjalanan kematian
rasa segala luka rasa segala duka
bergelimang subur di perjalanan
tiap pagi jus jambu terasa empedu
tiap siang matahari menggantang sepi
tiap malam kopi tertelan duri
di segala ruang
udara penuh jelaga karbon monoksida.

santa, ini perjalanan kematian
berat melakukan apa yang kamu katakan
mengapa santa begitu ringan beringkar
menginjak semua dan bergegas
mempercepat keberadaan.





Doa untuk Anak

Tuhan, jika ada airmataku tumpah
bukan berarti aku telah menyerah
namun kesungguhanku
dalam memohon dan menghiba padaMu

Tuhan, jika ada sedetik saja yang terlewat
aku tak berkabar padaMu
bukanlah berarti aku telah melupakanMu,
namun aku ingin gigih
dalam memberikan diriku bagiMu
melalui pekerjaan dan pelayananku.

Tuhan, jika ada satu nafas saja yang tersengal
ketika anakanak kami hidup di bumiMu ini,
kami memohon Engkau selamatkan
karena besar pengharapan dan percaya kami
hanya padaMu.





Mendekat Pantai

sudah mendekat pantai
mulai tercium angin laut
dan sunyi basah menggigit
terbayang hamparan laut
mengibarkan rasa takut
terkenang kelokan jalan
berangsur memadam

berdiri memaku
langit kelabu
elang melintas pulang
sebentar lagi hujan.





Asa Haiku#1

kau lipat jiwa
jumawa pula





Asa Haiku#2

senyari kendi
beranjak retak





Asa Haiku#3

nyala nyali
berasap senyap
kemarau panjang





Asa Haiku#4

bahkan cahaya
tiba tak seketika





Asa Haiku#5

330 milli-liter darah luka
13 batang dan satu menyala, penyundutnya
satu kaki yang tak jua beranjak dari tempatnya.





Asa Haiku#6

berbatangbatang hari panjang
lurus terpagut dinding musim dingin
– tak jua berakhir.





Asa Haiku#7

bukan pergi
tetapi pulang
-ke Kasih sejati.





Asa Haiku#8

semua telah kau tundukkan
kini kaulah juaranya,
jaga layarnya tetap di haluan.





Melebihi Sajak

masih perlukah kutulis sajak,
jika kau sudah indah melebihi sajak-sajak.