Esai: Arif Khilwa

Belajar Puisi dari Puji Pistol

TERGELITIK oleh satu puisi Puji Pistols dalam buku antologi Puisi Menolak Korupsi #1 yang berjudul Reportase Puisi. Dimana merupakan salah satu klinik Iklan Layanan Korupsi yang benar-benar membuatku gelisah.

Puisi dengan judul yang panjang, isinya yang singkat namun mengandung pesan mendalam bahkan sesuai realita, walau menyisakan banyak tanya.

Reportase Puisi, Klinik Iklan Layanan Korupsi

Puisi terus di tulis.

Korupsi jalan terus.

Habis.

Pati, April 2013.

Setelah membacanya, ada beberapa pertanyaan di kepalaku. Benarkah ketika puisi terus ditulis, korupsi akan habis? Sehebat itukah puisi? Atau justru sebaliknya? Puisi terus ditulis namun korupsi tetap berjalan terus? Pertanyaan-pertanyaan itu sempat meresahkanku.

Dalam diksi yang sederhana dan mudah dipahami pembaca, puisi itu mengandung pemahaman dengan penafsiran yang beragam. Salah satunya adalah sebuah puisi kritik sosial tentang realita yang ada dan berhubungan dengan tindak korupsi yang tumbuh subur di negeri ini. Seakan tidak bisa terbendung dengan cara apapun, apalagi hanya dengan puisi.

Bisa dipahami juga adanya harapan yang ingin disampaikan. Bahwa dengan puisi mampu menyadarkan masyarakat untuk tidak akan melakukan korupsi sehingga berangsur-angsur tindak korupsi akan berkurang di negeri ini.

Apakah dengan puisi, tindak korupsi pelan-pelan akan habis? Bisa juga dipahami bahwa korupsi memang telah merajalela di semua lini, maka segalanya akan habis dan hanya dinikmati oleh para pelaku korupsi.

Atau Puji Pistols hanya ingin menyindir dirinya sendiri dan teman-teman penulis puisi lainnya. Walaupun banyak orang mengkritik korupsi namun justru koruptor semakin dimana-mana. Semakin menggurita di semua sektor. Maka dengan puisi saja tidak akan begitu mempengaruhi terhadap menurunnya tingkat perilaku menyimpang ini.

Setelah saya baca ulang beberapa kali puisi itu. Aku jadi ingat apa yang selalu disampaikan oleh Sosiawan Leak bahwa Puisi Menolak Korupsi itu adalah gerakan moral yang akan bergerak, mengusik beban psikologis para koruptor.

Dengan adanya banyak yang menulis puisi untuk menolak korupsi bisa menjadi tanda bahwa perlawanan para penyair terhadap tindak kejahatan korupsi di negeri ini tetap ada dan kami tetap waspada.

“Lalu kenapa harus dengan puisi?”

Karena alat perlawanan para penyair adalah syair dan puisi. Penyair bukanlah aparat pemerintahan yang akan berperan dalam penindakan secara hukum terhadap para pelaku korupsi. Bahwa Penyair adalah warga negara yang sama dengan warga sipil lainnya.

Maka dengan syair dan puisi mereka berjuang untuk mengembalikan Sila ke-5 Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang mana selama ini telah disepuh jelaga hitam oleh para koruptor.

Terlepas makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Puisi Puji Pistols ini berakar dari ide yang sama dengan puisi-puisi lainnya di dalam buku antologi puisi menolak korupsi. Puisi yang berlatar belakang dari sebuah ide untuk menolak korupsi yang ada di negeri ini.

Kami meyakini bahwa puisi mempunyai kekuatan besar yang ampuh dalam menyampaikan ekspresi hati, jiwa manusia dan imajinasinya dalam aturan kepenulisan yang harus dipatuhi. Dalam kemasan yang estetis yang bisa menjadi media mengkritik di ranah kebebasan berpendapat tentang keadaan sosial yang terjadi pada masyarakat.

Di sisi lain, aku juga mendengar suara-suara yang mengandung pesimistis bahkan sinis terhadap gerakan kawan-kawan yang tergabung dalam PMK. Melalui buku antologi puisi maupun road show yang diselenggarakan di beberapa kota.

Asumsi yang tidak sepenuhnya salah jika dikorelasikan dengan fenomena kurang membudayanya literasi baca di masyarakat kita saat ini. Rendahnya minat baca khususnya bacaan karya sastra dianggap menjadi alasan bahwa PMK dianggap tidak akan bisa banyak berbuah dan jauh dari tujuan yang diharapkan.

Maka Kembali timbul pertanyaanku, “apakah hanya dengan puisi bisa menghilangkan korupsi?”

Bahkan dengan rendahnya minat baca masyarakat cukup menjadi sebab gagalnya para penyair menyampaikan aspirasinya tetang tolak korupsi. Sebab sebaik apapun puisi yang dituliskan tidak akan diketahui oleh masyarakat tanpa dibaca dan dipahami maknanya.

Celakanya lagi buku PMK telah diburu oleh sebagian kecil masyarakat bukan untuk dibaca, namun hanya dipajang di rak-rak buku yang berfungsi sebagai dekorasi ruang tamu rumah atau perkantoran saja.

Bahkan orang-orang yang selalu beranggapan miring dan seakan nyinyir dengan gerakan PMK itu disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya karena mereka hanya melihat dari luar saja. Menurut mereka, pergerakan ini tidak akan berefek apapun terhadap maraknya korupsi di negeri ini.

Bahkan sering terdengar, kegiatan road show kesana-kemari tidak akan mendapatkan apa-apa, selain hanya menyisakan foto dan video yang diunggah di medsos untuk kebanggaan diri sendiri.

Apalagi gerakan PMK yang seiring perkembangannya didominasi para penulis dengan usia purna. Sehingga berkesan hanya sebagai sarana untuk mengisi waktu luang dan wisata batin di usia senja.

Dari semua hal tersebut di atas membuatku kembali bertanya tanya apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Puji Pistols melalui puisinya itu.

“Puisi yang terkikis atau korupsi yang habis?”***

Gandrung Sastra, 2024

______________________________

Arif Khilwa, seorang penyair tinggal di Pati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *