Sketsa

Cerpen: Reni Asih Widiyastuti PERTAMA kali bertemu dengannya, tidak ada yang terlalu spesial. Dia hanya duduk seorang diri, menyesap matchalatte di sebuah kedai kopi di suatu sore yang dingin. Sesekali dia merapikan rambut hitam lurusnya ke belakang telinga. Membuat hatiku berdesir karena wajahnya yang cantik. Ya, amat cantik bahkan. Ah, tetapi sayangnya kami berbeda. Aku…

Fenomenolog yang Gagal

Cerpen: Imam Khanafi Fi berjalan di trotoar, menyusuri jalanan kota yang basah oleh sisa hujan. Ia berusaha mengindera segala sesuatu seperti seorang fenomenolog: merasakan hembusan angin, mencermati pantulan lampu di aspal, mendengarkan langkah-langkah asing yang berbaur dengan suara hatinya sendiri. Namun, realitas tak pernah benar-benar murni dalam kesadarannya. Selalu ada bias, selalu ada yang menyela—dan…

Halalbihalal

Cerpen: Idham Ardi N. PEROKOK pasti tahu. Asap rokok yang biasanya lembut kadang ujungnya menajam serupa jarum mencocok mata. Seperti yang baru saja dialami Irul usai menyulut rokok pertamanya di hari ini. Ia tak merasa perlu mencari tahu sebabnya. Tak perlu mempersoalkan, dan menganggapnya sebagai suatu kesialan kecil yang tak bisa diundang atau dihindari. Cukup…

Negeri Kopi

Cerpen: Ilham Wahyudi Sudah kutulis Segala senja Dan semua Proses di dalamnya 1) ### Seorang lelaki tua. Tidak! Sepertinya belum begitu tua, sehingga langkahnya masih terlihat panjang dan cepat, yang kurus badannya, yang lurus rambutnya, yang tampak buru-buru sekali ingin pergi. Di sebuah simpang, lelaki yang belum begitu tua itu melintasi seorang pemuda berkulit gelap,…

Jendela Lantai Dua

Cerpen: Ranang Aji SP [Pukul 10:00, 21-9-2003] Aku baru menemui Lia bertahun-tahun kemudian. Itu terjadi setelah Jeany, kakak Lia berhasil menghubungiku. Namun, keadaan tidak seperti harapanku. “Maaf, aku sudah berusaha, tapi aku tak bisa menemukannya,” kataku. “Tak apa, aku membawanya pergi,” jawab Jeany. “Aku benar-benar menyesal,” ucapku. “Tak perlu,” katanya dengan mata suram. Lia menyaksikkan…

Kapling

Cerpen: Yohanes Budi DI BALIK dinding ruang tamu, Mama terlihat bicara serius dengan seseorang di balik telepon. Aku, yang duduk di ruang tengah, terpaksa menguping. “Kurangi dikit-lah?” Mama menjawab, sambil terbatuk-batuk ringan, “Dua tujuh saya lepas dech!” “Ya. Jangan segitu lah Ci. Kita kan sudah saling kenal. Masak segitunya. Itu pun tidak mereka pakai sekarang-sekarang…