Gelisah di Rubanah

Puisi: Christya Dewi Eka

1

MENGAPA SETIAMU PADA JADWAL PENERBANGAN MELEBIHI SETIAMU PADAKU? 

Menjauh dari whatsapp berarti menjauh darimu, 

kupikir kami—aku dan whatsapp—tercipta untuk menempati lorong kosong di hatimu, 

kau harus tahu malam-malam panjang di sini mengerikan, 

bayangkanlah bagaimana aku memilin diri seperti kawat lapuk, 

memaksa menjadi antena dan siaga sebagai radar, 

mencoba mendeteksi dua kuda tanpa kepala yang keluar dari lukisan pemberian kepala rubanah, 

ya, lukisan itu, 

merobek ingatan karena setiap sapuan kuasnya melempar hidungku pada bau tubuhmu, 

warna catnya mengingatkan pada warna bibirmu yang tertawa, 

mengejek, 

dan esok hari warna itu menempel pada kuda tanpa kepala, 

kuda itu penuh merah beraroma bibir, 

aku paham bahwasanya merah itu darah, 

adakah yang lebih kejam daripada merah yang haus

 darah? 

O, demi whatsapp yang harusnya berjalan lancar tanpa sendat, 

haruskah kubinasakan waktu agar kau tidak lagi melihat jam dan batal menuju pesawat, 

kau tergesa melompati benua, sedangkan aku terpendam di rubanah, 

tergantung serupa laba-laba kehilangan buruan, 

belum lagi puas mereguk matahari terbit di dahimu, 

kau membiarkan tubuhmu dipeluk pesawat, 

santai diterbangkan angan-angan, 

mematikan ponsel, 

menolak sinyalku yang begitu kuat, 

menyulut api di matamu hingga ruang ini membara, 

dan aku yang mudah hancur kini benar-benar abu, 

remah di remasanmu, 

kuda tanpa kepala lari mengepak sayap mengejar pesawatmu, 

aku terjebak di rubanah, 

kuda itu enggan pulang ke lukisan

Semarang, 4 Januari 2025

2

SEBELUM IBU BENAR-BENAR TERBANG

Ibu, 

peluklah terakhir sebelum aku berkelana ke rubanah, 

inilah pengakuan dosaku, 

aku mencuri emas permata di kota jauh yang tak terjangkau pikiranmu, 

pun matahari sudah mencuri segala warnaku hingga yang tersisa hanyalah hitam, 

kosong terpantul pada kedukaanku, 

selagi matahari belum selesai merajut malam, 

berkemaslah menuju secangkir coklat panas di rumah beratap daun, 

masih ada adik berpipi gembul tempat kau memperbaiki mimpi, 

tempat ayah menawar jejak, 

aku, aku memulai perjalanan sebagai larva, 

jika kelak aku berubah kupu-kupu putih, 

kutaruh kecupku di kakimu, 

duhai, ibu segala hari, 

kuberikan sayapku di punggungmu menjadi tulang masa tua agar jalanmu setegak tugu pahlawan, 

namun jika aku gagal bermetamorfosis, 

aku kembali ke cangkang dengan segala rintih, 

tolong iringilah kepergianku dengan nafiri, 

jangan dengan air mata, 

hanya aku yang boleh pergi saat ini, 

jangan siapa pun

Semarang, 6 November 2024

3

SEORANG LELAKI BERKALUNG SARUNG

Semalam kau ceritakan rencana petualanganmu lepas dari utang dunia, 

kau tidak butuh doa anak istri mengantar kepergian, 

kupinjamkan sarung ini, 

sarung yang biasa kupakai mencari tuhan, 

niscaya menerangi jalanmu menuju harum surga, 

kalungkan di lehermu, 

gantungkan pada ventilasi tempat angin bercanda, 

maklumilah jika rohmu terlepas dari tubuh meninggalkan sejuta lara, 

bila kokok ayam berkumandang, 

seluruh rubanah mengiringi kepergianmu dengan gembira, 

tanpa air mata duka cita, 

mereka menurunkan jasadmu tanpa upacara, 

menginventaris barang kepunyaanmu dan memakamkannya di lubang sampah, 

beberapa jam kemudian kasurmu diisi penghuni baru: narapidana muda, 

tempat ini kembali penuh prahara, utangmu belum terhapus, 

menguntit anak-anakmu yang menunggu permen coklat

Hai, lelaki, 

ini sudah azan subuh, 

sudahkah kau sampai ke surga, 

ataukah ruhmu terkatung-katung di rubanah? 

Semarang, 6 Januari 2025

4

SEPERTI KOPI CAIR DALAM CANGKIR

Di rubanah kami menggosok sepi dengan daki, 

lalat mati dimabuk keringat bau nikotin, 

kopi hitam mencair bersama malam, 

terlalu cair, 

sebaiknya kawan-kawan di luar tahu bahwa rubanah seperti taman bermain, 

meski seperti mati tapi bebas dari dera upeti raja dan pajak tapera, 

leher kami bebas dari bilah pisau pabrik-pabrik bising, 

hidung kami bebas dari udara bercakar karbonmonoksida, 

nasib kami tidak dipermainkan uang, 

hidup begitu panjang seolah tanggal enggan beranjak maju, 

peta sudah masai, 

tak masalah di mana pun arah, 

hanya butuh langkah kaki menyisir lorong dan istirah bila lelah, 

jika pembebasan datang, 

kamilah yang merasa paling hidup di antara yang pernah hidup, 

karena kami lulus menelan getir tanpa muntah

6 Januari 2025

5

BURUNG KUNING YANG MEMILIH HITAM

Siapa yang menuntunmu ke rubanah, 

wahai burung kuning? 

Malaikat terang bersayap sepasang, 

ataukah arwah gentayangan berwajah garang? 

Bagaimana kompasmu menunjuk gelap begini, 

seharusnya kau paham bahwa terang lebih baik daripada gelap, 

manakah yang kau pilih, 

jika telanjur jatuh pada gelap, 

seperti kejatuhan lucifer pada hari paling sial, 

sulit bangkit menuju terang, 

namun justru pada gelap kuningmu bercahaya

Wahai, malaikat kuning, 

aku bertanya lagi, 

apakah kau sengaja menuju gelap, 

menghindari predator pengoyak bulu di dunia terang, 

dan sadar bahwa sesekali bersembunyi dalam gelap adalah lebih baik untuk memperpanjang hidup, 

jika ini sungguh pilihanmu, 

mengapa sayapmu gemetar dan 

napasmu tersengal? 

Semarang, 6 November 2024

Catatan penyair: puisi di atas menggunakan teknik fraksionasi ciptaan Ranang Aji SP. 

_______________________

Christya Dewi Eka

Penyair kelahiran Jakarta, besar di Bekasi, dan saat ini berdomisili di Semarang ini adalah lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang tahun 2003. Puisi dan cerpennya dimuat dalam antologi puisi, media cetak, dan media online, seperti Republika, Klasika Kompas, Suara Merdeka, dll.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *