Buku
Jabrik
Kumpulan Cerita Pendek Arif Khilwa
Judul Buku: Jabrik
Penulis: Arif Khilwa
Cetakan Pertama: 2024
Tebal Hal: xxxiv + 132
Penerbit: Iniibubudi
ISBN: 978-602-70232-6-0
JABRIK - Jabrik merupakan judul salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen ini yang diangkat sebagai judul buku. Berisi 6 cerpen yang ditulis oleh Arif Khilwa, dengan tema persoalan sosial dalam kaitannya dengan mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos-mitos yang berkembang berkelindan dengan berbagai peristiwa hidup sehari-hari, yang kemudian dikontruksi ulang dengan pemahaman-pemahaman baru melalui cerita-cerita pendek.
Di bawah ini sebuah pengantar yang ditulis oleh Asa Jatmiko:
CERPEN-CERPEN MITOS BERBINGKAI - Orang baik, biasanya orang yang peduli dengan orang lain. Kepada saudaranya yang kelaparan, ia memberi sedekah. Kepada sahabatnya yang datang dengan berjibun persoalan, ia memberi tawaran-tawaran solutif yang melegakan. Orang baik belum tentu kaya raya, punya segala harta benda. Untuk menjadi orang baik juga tidak perlu harus menjadi Ketua RT, Presiden atau pergi haji terlebih dahulu. Ya, idealnya orang baik tidak terikat oleh persoalan ekonomi dan status sosial. Justru, orang baik adalah orang yang telah selesai dengan dirinya.
Cara melihat orang lain, memperhatikan kebutuhan orang banyak, apalagi hasrat untuk mampu memenuhi keinginan rakyat bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana, namun kompleks dan menguras energi. Bayangkan jika orang tersebut belum selesai dengan dirinya sendiri, maka ketika atap rumahnya bocor ia akan segera memperbaikinya dengan uang apapun. Dan alih-alih menyenangkan rakyat membangun jembatan yang dibutuhkan, ia tengah memikirkan bagaimana dengan uang itu ia juga menyenangkan dirinya.
Dalam cerpen “Jabrik” Arif Khilwa menulis, “Selama lima hari aku memang pergi ke Malang dengan alasan pekerjaan. Namun yang aku lakukan adalah bersenang-senang menikmati uang yang kudapat dari potongan-potongan biaya operasional kampaye yang telah diberikan pak Bambang. Aku berani pergi karena perkiraanku semua berjalan lancar dan tinggal menunggu perayaan keberhasilan. Namun ternyata kenyataannya berbeda. Perayaan pesta terlalu dini melenakanku dan berakhir buruk.”
Pemikiran-pemikiran bergerak lebih lincah daripada kenyataan yang terjadi. Angan berbanding terbalik dengan kenyataan. Dan fenomena ini yang sering melanda pada orang-orang yang belum selesai.
Namun “Jabrik” orang yang tidak biasa saja. Arif Khilwa menjadikannya seorang yang cerdas dalam membaca peristiwa. Mampu membaca kepahitan hidup tidak sebagai kepahitan, kegagalan tidak sebagai kegagalan. Jabrik pun mampu meyakinkan kisah-kisah rekayasa sebagai kisah-kisah sesungguhnya. Jabrik dalam cerpen “Jabrik” sedikit demi sedikit tengah menciptakan fiksi (Pak Bambang yang gila) yang dipercayai fakta (padahal hanya pura-pura gila) oleh anggota keluarga dan tetangganya. Arif Khilwa melalui Jabrik ingin mengatakan bahwa keinginan setiap manusia untuk bisa terbebas dari teguran hukum dan norma sosial, adalah justru dengan memitoskan Pak Bambang sebagai orang gila di tengah masyarakatnya. Karena hanya orang gila yang bisa terbebas dari hukum dan norma sosial.
Gila dan kegilaan, memiliki pengertian yang tidak sama. Tetapi keduanya searah bergerak ke medan yang sama, yakni: absurditas, tak terjelaskan, bernilai sekaligus kosong. Persis ketika masyarakat kita merespon suatu mitos tertentu di wilayahnya. Ada hari lahir (neptu) yang tidak cocok untuk sepasang kekasih menikah, kalau dilanggar juga akan berakibat sial, miskin, mati, dsb. Dan berbagai mitos lainnya.
Dalam cerpen “Kebo Gerang”, lihatlah bagaimana alasan sesungguhnya dari batalnya pernikahan akibat dendam lama. Cinta anak muda diadu dengan ketakcocokan neptu lahir, penolakan yang santun berselimut dendam lama. Mitos tidak bisa didebat.
“Kamu lupa Jo? Selama ini kamu salah satu orang yang menjadi tokoh dalam penolakan berdirinya pabrik itu. Walaupun ditolak bukankah pabrik itu tetap berdiri? Lalu sekarang kamu mau agar anakku menikah dengan anakmu?" tanya Amir, Ayah Agus yang sedari tadi diam.
Lalu di cerpen “Primbon”, dalam satu paragrafnya:
“Sepulang aku dari Semarang. Aku baru tahu dari Pak Lekmu H. Masyur bahwa dalang yang mefitnah ibumu anggota Lekra itu bapaknya Karsono sebab sebelumnya cintanya ditolak ibumu saat masih gadis dulu,” cerita bapaknya dengan terbata-bata dan nafas yang tersendat tak teratur. Hingga tertengar lirih bapaknya mengucapkan, “Allahu Akbar,” berbarengan matanya terpejam dan nafasnya berhenti.
Mitos yang kental ketak-terjelasan itu justru telah mampu menjelaskan berbagai peristiwa dalam kehidupan sosial masyarakat kita dengan baik sekali. Agak susah payah untuk merinci logika mitos, namun ketika kita mau mendengarkannya maka akan lebih mudah memahaminya, mengerti maksudnya dan merasakan nilainya. Karena demikianlah mitos. Semenjak dewa-dewi Yunani hingga saat ini berkembang berbagai mitos di berbagai tempat di seluruh dunia, mitos disebarkan dengan tujuan menumbuhkan ketaatan sekaligus ketakutan (baca: rasa).
Mitos-mitos yang “tak terjelaskan” itu beberapa di antaranya diangkat ke dalam cerpen-cerpen oleh Arif Khilwa. Saya kira Arif Khilwa tidak bermaksud menjelaskan nilai dan pengertian mitos, namun melalui cerpen-cerpen Arif Khilwa ini, ia justru ingin mengungkapkan ketak-terjelasan tersebut ke dalam peristiwa-peristiwa hidup tokoh-tokoh cerpennya.
Karya sastra, sebagaimana karya seni lainnya, dibuat dengan tujuan ideal mengungkapkan realitas kegelisahan (baca: rasa) yang tidak dapat diungkapkan. Cerpen-cerpen Arif Khilwa kali ini juga sebenarnya tengah menghadirkan ketak-terjelasan nilai mitos dengan mitos baru. Diam-diam saya tergelitik untuk menyatakan bahwa Arif Khilwa melalui cerpennya tengah berupaya menghancurkan mitos lama yang ada dengan menciptakan cerpennya sebagai mitos-mitos baru berikutnya.
Karena sebuah cerpen tak ubahnya sebuah mitos baru, dan pada cerpen Arif Khilwa, seperti: “Salah Primbon”, “Kebo Gerang”, “Mitos” dan “Tuyul Pilkades” yang membawa mitos (lama), maka bisa dikatakan cerita berbingkai, mitos dalam mitos, “mitos berbingkai”. Apakah sebagai mitos baru ia berhasil? Keberhasilan mitos tergantung bagaimana ia berhasil meyakinkan perspektifnya dan kepercayaan pembaca.
Salam hangat,
Asa Jatmiko
NB. Artikel ini dimuat di SUARA MERDEKA Edisi Minggu (11/8).