Teater

Peter Devantara, SJ:
Jagat Batin Langit

Pertunjukan:
Auditorium RRI Semarang
Hari Sabtu, 27 Juli 2024 - Pukul 19.30 WIB
Jl. A. Yani 142-144, Semarang.

Langit itu individu yang kompleks dengan pelbagai konflik. Ia merasa tak percaya diri dengan kemampuannya sendiri. Ia merasa selalu gagal dan dihakimi oleh orang lain. Ia merasa kecewa terhadap ayahnya yang dianggap terlalu dominan dan tak membiarkannya untuk menentukan dirinya.

Ia merasa bersalah karena ia tak dapat memberi kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, terutama istrinya yang bekerja keras. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit dan tak memiliki kendali atas kehidupannya. Ia pesimis terhadap masa depan dan merasa bahwa ada kekuatan-kekuatan besar yang mengendalikan kehidupannya. Ia merasa tertekan dengan harapan dan tuntutan ayahnya. Ia sulit menghadapi kenyataan yang keras. Ia selalu menyalahkan keadaan dan orang lain atas kesulitan yang dialaminya.

Langit ingin membuktikan kepada dirinya sendiri dan dunia bahwa ia mampu mandiri dan sukses. Ia mengalami konflik batin antara keinginan untuk mandiri dan kebutuhan akan dukungan orang lain. Ia ingin lari dari tekanan dan tuntutan yang dihadapinya. Ia sensitif terhadap kritik dan penilaian orang lain, terutama kata-kata yang menyakitkan. Ia merasa tak berharga, tak bernilai, tak berguna. Ia merasa hampa dan tak puas dengan segala perjuangannya.

Arah dalam kehidupannya hilang. Ia pesimis terhadap masa depan. Ia berpikir kritis dan menganalisis situasi masyarakat yang tidak adil, maka Langit ingin memperjuangkan perubahan. Idealismenya tinggi, maka ia sering kecewa dan memberontak terhadap kenyataan dunia.

Langit ialah representasi orang yang merasa tertekan oleh idealismenya sendiri, kesulitan ekonomi, dan ketakpastian masa depan. Konflik batin yang dialaminya membuatnya sulit mengambil keputusan dan sulit mencapai tujuan kehidupannya.

Dalam perjuangan batin dengan perasaan kesepian, terisolasi, Langit memanggil Sri, menyebut namanya lagi dan lagi. Dalam krisis ketidakberdayaan yang dalam, Langit terkapar seorang diri. Tapi Sri hadir dalam batinnya. Dan Langit pun masuk ke dalam kehadiran Sri sebagai tempat Langit mengungsi, merasa nyaman dalam pelukan kasih sayang. Harapan tidak jadi musnah. Istri menjadi pegangan yang kuat bagi suami, menjadi penopang dalam ketakutan dan kekalutan.

Akhirnya, dalam pergumulan batinnya, Langit menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih berarti daripada kehidupan sang aku yang dengan gigih menduduki pusat panggung dunia. Ia mencari kehidupan yang bermakna, yang akan ditemukan hanya oleh orang yang keluar dari liang dirinya sendiri untuk mengambil tanggung jawab atas tugas-tugas kehidupan bersama.

Kiranya, menghadirkan jagat batin dalam novel lebih mudah daripada menghadirkannya dalam film, apalagi dalam pementasan teater. Tapi Mas Asa Jatmiko berhasil menghadirkan liang (jagat batin) Langit dalam teater, bukan film, bukan novel. Dan dia berani mengambil risiko bahwa orang-orang tak menangkap visualisasi konflik batin Langit dengan simbol, gerakan, dan tata panggung yang kreatif.

Keberaniannya untuk menghadirkan materi yang mungkin tak mudah dipahami oleh semua penonton menunjukkan komitmennya terhadap eksplorasi artistik. Pementasan teater Liang Langit ini berhasil menghadirkan kisah yang universal, relevan, dan memberi ruang bagi para penonton untuk merenungkan pengalaman kehidupan mereka sendiri.

Salam dari Nabire, Papua

Peter Devantara, SJ