Cinta yang Tak Pernah Selesai

Malam ini seperti malam yang sisa; setelah sebelumnya secara berturut-turut, beberapa berbarengan, agenda panggung pertunjukan digelar di beberapa tempat. Hanya beberapa orang yang telah datang, tak ada 20 orang, dan Asyari Muhammad membuka dengan mengajak penonton menuju joglo tempat pertunjukan. Kemudian secara spontan, turut membuka pula beberapa orang dengan membaca puisi, antara lain: Arif Khilwa, Aloeth Pathi, Ima Yuliani, Teresia Leony dan saya sendiri yang sebetulnya juga tidak menyiapkan satu puisi pun sebelumnya untuk dibacakan.

Dengan pencahayaan sederhana, dan juga setting yang seadanya, Abdi Munif memainkan karakter Jazuli dalam monolog “Kasir Kita” karya Arifin C. Noer. Di sudut, terdengar musik dan lagu-lagu dari sebuah radio yang diputar oleh Asyari Muhammad, merayap pula memasuki panggung. Begitulah sampai akhir nanti, Abdi Munif mencoba memasuki dunia Jazuli yang limbung karena cintanya yang besar sekaligus cintanya yang terkhianati. Tiga puluh menit Abdi Munif mendedahkan rasa suka duka Jazuli memiliki istri yang cantik, sekaligus bagaimana kemarahannya yang luar biasa hingga membuatnya berencana membunuh istrinya sendiri.

Terlepas oleh berbagai faktor teknis yang kurang tergarap, namun saya mencoba bersikeras untuk menyimak dengan seksama bagaimana garis-garis pemeranan Abdi Munif menyampaikan “uneg-uneg” Jazuli, seorang kasir di sebuah kantor yang sedang tidak masuk kerja karena influenza sepertinya. Jazuli juga adalah seorang koruptor, akibat rayuan perempuan lain setelah ia menceraikan istrinya. Jazuli juga seorang psikopat yang telah menceraikan istrinya, namun masih mencintainya sepenuh hati. Bahkan ia ingin membunuh istrinya dengan pisau belati yang telah ia siapkan, dan sangat yakin hakim di pengadilan pun tidak akan pernah tahu bagaimana kebenaran ceritanya. Jazuli ingin menuliskan kebenaran itu dalam selembar surat yang ia tulis nantinya ketika ia dijebloskan di Nusa Kambangan, agar dunia mengetahuinya. Tepatnya, dunia memahami (perasaannya).

Cinta itu mengatasi dogma perkawinan. Cinta tidak dapat dibatasi oleh apapun, pagar-pagar peraturan, dosa dan doktrin, apapun itu. Cinta bisa saja menyusup ke relung hati setiap manusia tanpa harus memiliki kesadaran akan penyebabnya. Cinta itu tidak pernah logis, sekaligus cinta membuat segalanya nampak logis. Alih-alih mengakui tengah jatuh hati, setiap dering telepon yang ia dengar, ia selalu yakin bahwa kekasihnya yang menghubunginya. Ia mencintai, sekaligus munafik untuk mengakui.

Abdi Munif dalam “Kasir Kita”. [Dok: Asa Jatmiko]
Abdi Munif dalam “Kasir Kita”. [Dok: Asa Jatmiko]
Abdi Munif dalam “Kasir Kita”. [Foto: Budi Kusriyanto]

Pergulatan batin Jazuli yang digambarkan oleh Arifin C. Noer saya kira juga merupakan pergulatan kita saat ini. Cinta dan persoalannnya yang rumit itu adalah bagian dari kehidupan manusia sepanjang masa. “Kasir Kita” masih relevan untuk kita simak lagi, karena ia sebenarnya tengah menceritakan diri kita yang selalu rapuh ketika jatuh hati. Hanya kenyataan yang akan menghentikan langkahnya. Jazuli pun akhirnya memang mendapat telepon dari istrinya, namun tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya: istri yang telah ia ceraikan itu mengharapkan Jazuli untuk menemuinya bersama calon suaminya, dan minta Jazuli untuk ikut mempertimbangkan: cocokkah lelaki itu untuk menjadi suaminya.

Abdi Munif tidak ingin berbicara apa-apa melalui “Kasir Kita”, kecuali hadir sebagai seseorang yang memiliki tanggungjawab sebagai aktor. “Kasir Kita” lebih berbicara banyak dan tidak akan rampung dalam sekejap pembicaraan. Abdi Munif menyadari akan hal itu, dan menyerahkan kembali kepada kita semua; sebagai apapun. Kerinduan berproses dan berpentas, telah membawanya bertemu dengan banyak orang dan memberikan banyak pengalaman berharga. Kiranya kerinduan itu yang menjadi spirit perjumpaan kita semua, malam itu.*** [aj]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *