Kritik Sosial Teater Suryopati dalam Pertunjukan “Nampi”

Iniibubudi, PATI – Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Suryopati Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) menggelar pertunjukan teater bertajuk “Nampi” di halaman kampus IPMAFA, Kamis (19/6/2025) malam. Pentas ini merupakan produksi utama kelompok teater tersebut dan menjadi medium ekspresi serta komunikasi mahasiswa kepada publik melalui seni pertunjukan.

Pementasan diawali dengan orasi budaya yang disampaikan oleh Arif Khilwa dari Komunitas Gandrung Sastra. Dalam orasinya, Arif menekankan pentingnya menjaga warisan budaya pesantren di tengah arus modernisasi yang semakin deras.

“Budaya berperan sebagai pagar, jembatan, sekaligus petunjuk arah agar santri tidak kehilangan jati dirinya,” ujar Arif, yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Kabupaten Pati. Ia menambahkan bahwa budaya tidak seharusnya dianggap sebagai beban, melainkan bekal yang menyertai perjalanan hidup, terutama dalam menjaga identitas santri.

Tema Nampi, yang dalam bahasa Jawa berarti “menerima”, diangkat sebagai refleksi nilai-nilai lokal. Namun, menurut sutradara pertunjukan, Nanda, istilah tersebut diinterpretasikan lebih luas, tidak semata dalam konteks menerima tamu, melainkan sebagai sikap menerima kenyataan dan hakikat kehidupan dengan lapang dada. “Dalam budaya Jawa, menerima bukan hanya bentuk keramahan, tetapi juga mencerminkan kedewasaan dalam menyikapi kehidupan,” ujar Nanda.

Pertunjukan menghadirkan empat aktor utama: Nanda, Ubed, Indah, dan Faza. Keempatnya memainkan peran dengan penghayatan mendalam. Salah satu karakter mencolok diperankan oleh Ubed, yang membawakan sosok pemimpin otoriter, gila jabatan, dan abai terhadap nasib rakyat. “Tokoh ini kami angkat sebagai cermin dari fenomena kepemimpinan yang jauh dari etika publik. Mereka yang enggan dikritik dan lebih mementingkan kekuasaan dibandingkan rakyat,” ungkap Ubed Mughni usai pementasan.

Pementasan juga menyinggung isu aktual, seperti kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati sebesar 250 persen, yang menuai kritik dari masyarakat. Dalam pertunjukan, isu ini disimbolkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemimpin yang tidak berpihak pada rakyat.

Pentas ditutup dengan pesan moral kuat tentang kefanaan kekuasaan dan harta. “Seberapapun tingginya jabatan dan banyaknya harta, semuanya tidak akan dibawa ke akhirat,” pungkas Ubed.
Pertunjukan Nampi mendapat sambutan hangat dari para penonton. Teater tetap relevan sebagai medium kritik sosial dan ruang refleksi bersama di tengah dinamika masyarakat. [ak]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *