Teater

Asa Jatmiko:
'Plot-twist' Liang (Menuju) Langit

Ditutup dengan adegan tahlilan, pihak keluarga dan para warga berkumpul mendoakan tiga hari meninggalnya seorang pekerja pembersih kaca gedung bertingkat. Lelaki pekerja itu bernama Langit. Ia bekerja di kota metropolitan pada sebuah perusahaan yang melayani jasa pembersih kaca gedung-gedung bertingkat di sana. Keluarga merasa sangat kehilangan atas kematiannya, karena selama ini diandalkan menjadi penopang hidup keluarga. Ia meninggal bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan di jalan tol saat ia bermaksud pulang kampung untuk ziarah ke makam ibunya.

Kematian memang hanya Tuhan yang punya kuasa. Namun jejak-jejak kebaikannya selama hidup, dikenang oleh setiap orang yang pernah mengenalnya. Warjo, teman sekampungnya yang lebih beruntung dengan menjadi orang kantor yang juga telah mengajak Langit mengais rejeki di kota bersamanya, menilai Langit adalah seorang pekerja yang hebat. Katanya, “Langit tidak hanya seorang pekerja keras, namun juga seorang yang mampu menaklukan ketakutan di dalam dirinya akan ancaman kematian”. Koh Alung, pemilik perusahaan tempat Langit bekerja, pun merasa akan kesulitan untuk mencari pengganti Langit. “Tidak semua orang mau bekerja di ketinggian membersihkan kaca gedung-gedung bertingkat.”

Langit menyadari, “untuk berani, memang tidak perlu punya ijazah tinggi. Untuk berani, hanya membutuhkan ketololan dan kekonyolan,” katanya. Padahal ia sendiri seorang sarjana, dimana saat mahasiswa ia aktif berorganisasi, dan termasuk seorang yang paling agresif mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Langit menjadi gambaran seorang pemuda idealis yang selalu kritis melihat ketimpangan sosial yang terjadi di depan matanya. Namun memang, idea yang diperjuangkannya dan realita yang dialami dalam kehidupannya sendiri telah berlangsung bertolak-belakang. Ia tidak masuk pada jajaran mahasiswa yang di kemudian hari bisa ikut menikmati “roti” pembangunan atau partai politik, namun justru terjerembab di kubangan kesulitan-kesulitan hidup.

Di atas gondola yang berada di ketinggian, Langit membersihkan kaca-kaca gedung bertingkat. Mungkin sempat ia tertawa sendiri menyadari apa yang tengah dilakukannya, tak lain sindiran buatnya untuk “membersihkan” dirinya atas kenangan masa lalu, ketakutan saat berada di titik terendah kehidupan dan kecemasan akan ketidak-jelasan masa depannya. Atau mungkin ia merasa frustasi melihat kenyataan dirinya seperti saat ini. Di atas ketinggian, di saat ia berada seorang diri, ia bertemu dengan dirinya, dengan kenangan, dengan idealism dan dengan kenyataan pahit saat ini. Pikiran dan hatinya berkecamuk: dirinya yang gagal, istrinya yang menantikannya di kampung, dan ketimpangan sosial yang dialaminya.

“Liang Langit” sebenarnya merupakan lakon yang ingin menggambarkan tokoh utamanya yang bernama Langit secara utuh sekaligus ia menjadi pusat dari seluruh peristiwa yang dimainkan. Aktor yang memerankannya, menjadi pusat bagi aktor-aktor lainnya dalam membetot emosi dan pemikiran tokoh Langit. Meminjam pernyataan yang disampaikan Yogi Swara Manitis Aji, aktor dan sutradara asal Solo seusai menyaksikan pertunjukan ini di Semarang, “seluruh peristiwa pemanggungan dipercayakan kepada aktor tunggal, dalam hal ini Langit,” menurut saya ada benarnya. Bahkan tidak hanya itu, seluruh adegan yang dikonstruksi di atas panggung tidak lain dan tidak bukan merupakan pengejawantahan dari pergulatan seorang Langit.

Protesnya terhadap ayahnya, karena ia merasa menjadi manusia gagal akibat didikan ayahnya, yang menurutnya terlalu mendikte dan mengekangnya. Kedua tokoh muncul dalam pertemuan imajiner di dalam benak Langit laiknya ketegangan baratayudha. Di ruang dan waktu lainnya Langit melahirkan kembali kegelisahannya akan ketimpangan sosial yang terjadi, dan ndilalah menimpa dirinya juga, dilihatnya sebagai ‘tangan-tangan besar yang telah secara terstruktur, sistematis dan masif’ melenyapkan orang-orang seperti dirinya. Langit sesungguhnya tengah bergumul dengan dirinya sendiri, saat ia merasa sendiri, berada di atas ketinggian, di antara gedung-gedung pencakar langit di kota metropolitan yang keras dan angkuh.

Pertunjukan teater di 4 kota, yakni: Semarang (27/7), Kudus (10/8), Tegal (7/9) dan Tasikmalaya (21/9) ini berjudul “Liang Langit”. Naskahnya saya tulis dengan sebuah ajakan pendekatan teknik ‘thriller’ di beberapa adegan, yang bertujuan mendapatkan efek kejut untuk penonton. Tata artistik ini tidak hanya dimaksudkan sebagai atraksi semata, namun juga dapat dimaknai sebagai simbol-simbol pertarungan jagat batin seorang manusia Langit. Visual dramatik ini merupakan tawaran gagasan pemanggungan, berkelindan dengan alur cerita ‘plot-twist’. Ketegangan, frustasi, kemarahan, ketakpastian diaduk, untuk kemudian menjadi sebuah peziarahan seorang manusia dalam menemukan hidup yang bermakna untuk dirinya. Sebuah liang menuju “langit”, haribaan Ilahi.

Sementara itu, dunia semakin bergerak cepat, dengan berbagai arus yang mengusung banyak peristiwa, semakin kompleks di berbagai bidang. Setiap pribadi memiliki ruang lapang untuk narsis sekaligus selfish dengan berlarian keluar-masuk antara logika dan imajinasi, antara realitas dan mimpi-mimpi. Setiap orang semakin tidak memandang perlu untuk mengambil utuh setiap entitas, karena desakan untuk segera mengaktualisasikannya ke ruang-ruang publik. Kita memakai tradisi sekaligus modernitas, keluar-masuk kapitalis sekaligus sosialis, dan seterusnya. “Kita sudah mulai masuk pada “super-culture”,” kata dosen filsafat Bambang I Sugiharto dalam sebuah wawancara. Mungkin inilah yang ingin saya tawarkan kepada teater di Indonesia. ***

___________________________________

Asa Jatmiko, penulis lakon dan sutradara teater


LIANG LANGIT

Asa Jatmiko

Sutradara:

Asa Jatmiko

Pemain:

Masrien Lintang, Andreas Teguh, Fani Setiawati, Wijayanto Franciosa, Abdul Soleh,

Bambang Susanto, Heru Nugroho, Kasmin, Rahmanita Dewi Kastono, Purna Irawan,

Syifa Regita Sari, Tania Kirana

Pimpinan Produksi:

Andreas Teguh, Teresa Rudiyanto

Penata Panggung:

Bondan Dwi Cahyono

Penata Musik:

Aditya Debe Seputra

Penata Lampu:

Ahmad Huzaeni, Choirul Azis

Penata Kostum & Rias:

Umi Setiyani

Publikasi Dokumentasi:

Aldo Riski Pamungkas

Logistik:

Arvian Yofi Pratama

Kru:

Kemal Maesal Azam, Syarif Hidayat, Dewi Murti, Ayu Cahya Widianingrum, Abdul Ghofar, Sumarlan, Hermalia Eka Yuniar, Lulu'atul Mufida, Rahmat Syaifudin, Deni Anggarest, Febriani Normawati, Lea Cornelia

©2024