Melenyapkan “Teman” #2
Oleh: Asa Jatmiko
BEBERAPA hari selanjutnya adalah upaya keras untuk menjaga keberlangsungan hubungan. Dalam tempat yang berbeda, dalam situasi batin yang sama-sama tidak mungkin presisi dengan sekadar menebak, komunikasi itu hanya menjadi jembatan imajiner yang ringkih, gampang ambruk, bahkan oleh helaan angin yang pelahan saja hembusnya. Pada saat seperti ini, percaya saja akan menjadi modal yang teramat mahal resikonya. Apalagi kalau daftar kesalahan di masa lalu juga masih tersimpan rapi di laci almari baju.
Anatomi manusia tidak hanya sebatas tubuh hari ini. Namun juga sejarah yang turut serta melekat kepadanya. Mereka seperti debu yang melekat di tubuh, menjadi daki dan seandainya tidak tertangani segera menjadi panu yang panas dan gatal. Oleh karena itu, debu sejarah harus dibersihkan dengan mutiara-mutiara yang bertelur dari air mata. Mereka akan menjadi perhiasan, meski kita tidak bisa mengantunginya sebagai kemewahan, yang ikut mereduksi kesalahpahaman tubuh hari ini.
Aku mulai menyadari betapa kerumitan sebenarnya di dalam hidup adalah memecahkan kerumitan itu sendiri. Seringkali manusia menjadi sangat mudah berimprovisasi. Dan alih-alih terbebas dari kerumitan, manusia justru menemui kerumitan yang lebih rumit berikutnya. Teror perangkap ranjau itu telah kita pasang tanpa kita menyadarinya. Ingatan akan teror perangkap ranjau itu telah tidak pernah menjadi catatan serius, seserius luka bakar yang diakibatkannya.
Hari ini aku melihat riwayat tubuhku yang penuh lebam dan luka bakar itu. “Kejahatan selalu menjadi penyerang, dan kebaikan selalu berposisi bertahan. Namun ketika kebaikan mulai menjadi penyerang, saat itulah kebaikan telah berubah menjadi kejahatan.” Jadi, biarlah seluruh daftar kesalahan yang tersimpan rapi itu tetap tersimpan dan terpelihara. “Untuk hari-harimu selanjutnya, kamu tak perlu melakukan klarifikasi apapun.”***
Leave a Reply