Esai: Imam Khanafi
Di kaki Pegunungan Muria, di antara desiran angin yang membawa aroma tanah basah dan gemuruh sunyi yang penuh makna, berdiri Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW). Lebih dari sekadar pemukiman, KBPW adalah sebentuk ruang di mana seni, tradisi, dan nilai-nilai luhur leluhur berkelindan dalam satu kesatuan yang hidup. Seperti sungai yang mengalir tanpa kehilangan jernihnya, kampung ini mewujudkan filosofi “Tapa Ngeli”—suatu konsep Jawa yang diajarkan Sunan Muria, yang mengajarkan bagaimana manusia dapat menyatu dengan arus kehidupan tanpa tercerabut dari akar dirinya.
Di Kampung Budaya Piji Wetan, perjumpaan menjadi ruang yang hangat dan penuh makna. Para peserta residensi akhir Januari 2025 lalu, menyatu dalam obrolan, berjalan menyusuri sudut kampung, menyerap kisah dari para tetua, dan terlibat dalam geliat seni yang hidup. Di teras-teras rumah, di balai pertemuan, di bawah rindang pepohonan, ide-ide bertukar, tangan-tangan bekerja, dan kebersamaan tumbuh. Seni di sini bukan sekadar ekspresi, tetapi cara merayakan kehidupan—menghubungkan masa lalu, kini, dan yang akan datang.
Residensi yang diikuti Marten Bayu Aji x MIVUBI, Divasio Putra Suryawan dari Lasem, Febri Anugerah dari Bantul, Umar Faruq dari Purworejo, dan Fitri DK dari Bantul. Selain itu, Kolektif Matrahita dari Sleman, Lembana Agroecosystem dari Bantul, serta AODH dari Kudus turut serta dalam perjalanan ini. Medialegal (Isrol) dari Bantul dan KSA (Kudus Street Art) dari Kudus juga hadir, bersama Jaladara Collectiva dari Jepara, Feri Pengok dari Surakarta, Melly Hana Septiana dari Kudus, serta Budi Kusriyanto dari Kudus. Kolektif Arungkala dari Sleman melengkapi daftar peserta yang menghidupkan residensi ini.
Para seniman ini tidak hanya akan menciptakan karya, tetapi juga menggali makna seni sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, yang tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dan ekologis yang melingkupinya.
Dalam residensi ini, seni tidak dipahami sebagai sesuatu yang eksklusif atau terpisah dari kehidupan, melainkan sebagai pengalaman yang tumbuh bersama keseharian, sebagaimana dikemukakan oleh John Dewey dalam Art as Experience. Dewey melihat seni sebagai bagian dari interaksi manusia dengan lingkungannya, bukan hanya sesuatu yang dihasilkan untuk dipajang di museum atau galeri. Hal ini tercermin dalam bagaimana para peserta residensi membaca ulang kehidupan di sekitar mereka, mencari inspirasi dari lingkungan, dan membangun keterhubungan dengan masyarakat. Seni tidak hanya menjadi objek estetis, tetapi juga sebuah pengalaman yang hidup, bergerak, dan berkembang bersama konteks sosialnya.
Gagasan ini sejalan dengan pemikiran Martin Heidegger dalam The Origin of the Work of Art, yang menekankan bahwa seni bukan sekadar representasi, melainkan juga membuka kebenaran dalam dunia. Para peserta residensi memahami bahwa seni tidak hanya hadir sebagai karya yang dikagumi, tetapi juga sebagai proses refleksi yang mengungkap lapisan-lapisan makna dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan ini, seni menjadi lebih dari sekadar ekspresi individual—ia adalah medium untuk membangun kesadaran terhadap realitas sosial, ekologi, dan sejarah yang sering kali terabaikan.
Sejarah peradaban manusia, sebagaimana dikatakan oleh Emile Durkheim, senantiasa dibangun atas fondasi solidaritas sosial. Di KBPW, solidaritas ini termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari, dalam cara masyarakatnya memelihara seni, berbagi cerita, dan menjaga harmoni dengan alam. Konsep Pager Mangkok—sebuah filosofi lokal yang menekankan pentingnya kepedulian dan kebersamaan—menjadi jembatan yang menghubungkan individu dengan komunitasnya. Inilah bentuk dari apa yang dalam sosiologi disebut sebagai gemeinschaft, kehidupan komunal yang erat dan penuh makna, sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand Tönnies.

Tapa Ngeli
Namun, kehidupan bukan sekadar kebersamaan; ia juga menuntut adaptasi. Inilah yang diajarkan oleh “Tapa Ngeli.” Dalam filsafat eksistensialisme, adaptasi sering kali dikaitkan dengan kebebasan manusia untuk menavigasi kehidupannya sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Sartre: “Man is nothing else but what he makes of himself.” Filosofi ini sejalan dengan ajaran Sunan Muria, yang tidak menghendaki rigiditas dalam beragama maupun berbudaya, tetapi menekankan kebijaksanaan dalam menyikapi perubahan.
Di tengah perkembangan zaman yang semakin cepat, KBPW berusaha untuk tidak sekadar menjadi penonton dalam perubahan, melainkan aktor yang aktif meresponsnya. Festival Pager Mangkok, yang menjadi puncak perayaan budaya di kampung ini, bukan hanya sekadar panggung pertunjukan seni, tetapi juga ruang refleksi sosial. Di sini, masyarakat dan seniman berbincang, berbagi, dan menegaskan kembali pentingnya identitas lokal dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang dikatakan oleh Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang habitus, kebudayaan bukan sesuatu yang statis, melainkan terus-menerus diproduksi dan direproduksi oleh individu dalam kesehariannya.
Dalam semangat inilah, program residensi singkat “Tapa Ngeli: Muria, Santri, dan Kretek” digagas. Program ini bukan hanya eksplorasi artistik, melainkan juga percakapan antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan inovasi. Di Kudus, warisan budaya Muria, tradisi pesantren, dan industri kretek bukanlah entitas yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling bertautan dalam satu narasi yang membentuk identitas kota ini.
Pesantren, dengan kehidupan santrinya yang khusyuk, adalah representasi dari spiritualitas yang hidup. Kudus dikenal sebagai Kota Santri, tempat di mana teks-teks suci dipelajari dengan kesungguhan, dan nilai-nilai keislaman dipadukan dengan kearifan lokal. Seperti yang dikatakan oleh Clifford Geertz dalam studinya tentang agama di Jawa, tradisi pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan keagamaan, tetapi juga ruang sosial yang membentuk pola pikir dan kebudayaan masyarakatnya.
Kretek
Sementara itu, kretek—lebih dari sekadar industri—adalah simbol perjuangan ekonomi dan identitas lokal. Kretek, dengan sejarahnya yang panjang, adalah cerminan dari daya hidup masyarakat Kudus. Di balik kepulan asapnya, tersimpan kisah tentang inovasi, perlawanan terhadap kolonialisme, serta ketahanan budaya yang luar biasa. Sebagaimana dalam konsep ekonomi politik Karl Marx, produksi kretek bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang dinamika kekuasaan dan ketahanan identitas.
Melalui program residensi ini, para seniman diajak untuk menyelami keterkaitan antara spiritualitas, ekonomi, dan budaya. Mereka tidak hanya mengamati, tetapi juga berinteraksi, menciptakan, dan menginterpretasi ulang warisan budaya ini dalam bentuk karya seni. Dengan pendekatan yang holistik dan berbasis riset, mereka menggali makna di balik setiap ritual, setiap nyanyian, dan setiap goresan sejarah yang melekat di tanah Muria.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh modernitas, konsep “Tapa Ngeli” menjadi relevan lebih dari sebelumnya. Di satu sisi, ia mengajarkan kita untuk menerima perubahan, namun di sisi lain, ia juga menegaskan bahwa perubahan tidak berarti kehilangan jati diri. Ini adalah filsafat yang menolak polarisasi antara tradisi dan modernitas, tetapi justru mencari harmoni di antara keduanya.
Di akhir residensi ini, karya-karya yang dihasilkan tidak hanya akan menjadi artefak artistik, tetapi juga cerminan dari dinamika sosial yang terus berkembang. Dengan mengalir bersama zaman, namun tetap berakar pada kebijaksanaan leluhur, KBPW dan para senimannya berusaha merajut kembali hubungan antara seni, spiritualitas, dan kehidupan. Seperti sungai yang mengalir tanpa kehilangan jernihnya, mereka membuktikan bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang harus dilestarikan dalam kemandekan, tetapi sesuatu yang harus terus dihidupkan dalam keberagaman dan kreativitas.
Lebih jauh lagi, konsep estetika relasional yang dikembangkan oleh Nicolas Bourriaud mengajarkan bahwa seni harus membuka ruang dialog, menciptakan interaksi, dan memperkaya kehidupan bersama. Dalam konteks residensi ini, seni tidak hanya berpusat pada seniman sebagai individu, tetapi juga pada bagaimana karya mereka berinteraksi dengan komunitas dan lingkungan sekitar. Para seniman dari berbagai daerah ini memahami bahwa seni yang mereka ciptakan bukanlah sesuatu yang kaku dan eksklusif, melainkan sesuatu yang fleksibel, lentur, dan tumbuh bersama tempat di mana mereka berpijak.
Pada akhirnya, residensi ini menjadi perjalanan kembali ke akar, mengingatkan bahwa seni bukan hanya soal estetika atau intelektualitas, tetapi juga tentang manfaat nyata dalam kehidupan sosial. Bersama para seniman dari Jawa Tengah dan Yogyakarta, kita belajar bahwa seni adalah cara untuk mendengar yang tak terucapkan, melihat yang tersembunyi, dan memahami dunia dengan lebih peka. Dalam setiap bentuk dan warna, terdapat bisikan yang mengajak kita untuk merenung dan merasakan lebih dalam. Piji Wetan, tempat residensi ini berlangsung, bukan hanya ruang berkesenian, tetapi juga tempat belajar mendengar kehidupan yang berbicara lewat detail-detail kecil yang kerap terabaikan.
Dan di sanalah, di kaki Pegunungan Muria, di antara kabut yang turun perlahan dan angin yang berbisik lirih, Tapa Ngeli terus hidup—mengajarkan kebijaksanaan bagi siapa saja yang bersedia mendengarkan. Semoga bermanfaat. (*)
______________________________________
