Esai: Arif Khilwa

Menulis Puisi Harus Ada Keberanian, Sedangkan Membaca Puisi Butuh Kemauan

TIDAK SEMUA PENYAIR piawai menulis puisi sekaligus jago dalam membacakannya layaknya WS Rendra. Kalau sekarang kita pasti mengenal Kyai Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) ataupun Sosiawan Leak.

Selain merupakan ruang lingkup yang berbeda, menulis dan membaca puisi adalah dua proses kreatif yang tidak sama. Orang yang piawai dalam menulis puisi belum tentu mempunyai kemampuan yang sama bagusnya dalam membaca puisi, sedemikian juga sebaliknya. Bahkan dengan syair puisi yang ditulisnya sendiri.

Ada kalanya sebuah puisi tampak apik ketika dibacakan oleh orang lain. Dimana tehnik penjiwaan, intonasi, pelafalan maupun jeda yang cocok saat dibacakan.

Dengan adanya dua proses kreatif yang berbeda, ini perlu diperhatikan. Dimana setiap orang mempunyai potensi yang berbeda baik dalam penulisan maupun pembacaan.

Kembali lagi permasalahan kepiawaian menulis sekaligus membacakan puisinya dapat dipecahkan dengan keinginan belajar dan latihan terus menerus. Bahkan jikalau tak berpotensi disitu. Semua kebiasaan sangat membantu proses menuju bisa.

Untuk bisa menguasai keduanya memang membutuhkan kesetiaan. Hal ini tidak akan mudah dan tidak didapat dengan cara instan.

Di sini saya akan berbagi pengalaman yang berhubungan dengan dua hal itu (baca: membaca dan menulis puisi). Paparan di bawah ini bukan sebuah karya ilmiah dengan berbagai kebenaran teori, namun lebih bersifat cerita pengalaman diri sendiri yang unik.

A. Ketika Menulis Puisi

Keterampilan menulis puisi merupakan keterampilan yang susah diterapkan dibanding dengan lainnya. Sebab penggunaan gambaran olahan panca indra dalam puisi harus menggunakan pemadatan kata yang bermakna, jujur dan menyeluruh. Walaupun demikian setiap orang dapat menulis puisi. Apalagi ketika seseorang tersebut mempunyai tekat sekaligus niat yang kuat. Dengan memperbanyak referensi bacaan karya-karya puisi.

Di sini saya tidak memaparkan tentang teori baku dalam menulis puisi. Hal itu bisa kita dapatkan dari berbagai sumber referensi seperti buku, materi sekolah maupun kuliah dan tulisan-tulisan di internet.

Saya akan menjelaskan bahwa dalam proses penulisan puisi, saya tidak memikirkan model, jenis maupun benar dan salahnya. Bagi saya, puisi bukan hanya sekumpulan kata indah tanpa makna yang kadang bikin pusing untuk dibaca. Namun puisi adalah soal estetika yang bersumber dari sebuah kejujuran rasa yang dituangkan dalam rangkaian kata yang berirama.

Banyaknya referensi sangatlah membantu bagi seseorang untuk menulis puisi, minimal mereka mengenal banyak ragam gaya penulisan puisi dan diksi-diksi puisi.

Materi tulisan puisi adalah hasil dari aktifitas membaca. Membaca disini bukan hanya dari buku, melainkan dari segala pengamatan dan pengalaman yang ditangkap panca indra terhadap situasi sosial maupun alam. Bisa saja tentang segala masalah yang kita alami, kita rasakan atau masalah yang ada dalam lingkungan terdekat sampai lingkungan global.

Ketika materi sudah terkumpul, coba kita menulis beberapa kata yang ada hubungan dengan tema, hal ini guna mempermudah kita untuk merangkainya dalam puisi dengan tema bebas sesuai yang kita inginkan.

Misalnya ketika tema sudah kita temukan, kita lanjutkan dengan menulis kata-kata yang terdekat dan ada hubungannya dengan tema tersebut, lalu kita rangkai sesuai alur, irama dan makna yang hendak kita sampaikan dalam bentuk tulisan puisi.

Setelah puisi selesai ditulis, tidak ada salahnya apabila kita kembali membaca dan meneliti kata demi kata, kalau ada kata yang tidak pas, tidak enak dibaca sesuai tolak ukur kita, maka kita bisa menggantinya supaya pas dan enak dibaca.

Memang menulis puisi sangatlah membutuhkan suatu keberanian untuk memulai dan terus berproses. Sebab kepiawaian menulis puisi tidak bisa dicapai dengan cara instan.

Adapun baik atau buruknya suatu tulisan puisi tidak menjadi alasan untuk takut guna memulai dan terus menulis puisi. Sebab, hal itu bersifat subjektif tergantung oleh orang yang membacanya.

B. Saat Membaca puisi

Sepintas membaca puisi adalah suatu aktifitas yang mudah. Tapi untuk membaca puisi yang pas sesuai dengan penghayatan dan karakter puisi didepan orang lain tidaklah mudah. Perlu proses dan jam terbang supaya makna puisi mampu tersampaikan ketika dibacakan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat pembacaan puisi, yakni meliputi Vokal (penyajian secara lisan; kenyaringan, ketepatan artikulasi, dan intonasi), Ekspresi (ketepatan rasa dan totalitas emosi), Gerak dan Mimik (keharmonisan keseluruhan ekspresi lisan dan ekspresifisik, sikap). Hal itu berlaku ketika dalam perlombaan maupun dipanggung bebas.

Dalam satu puisi saja setiap orang mempunyai penafsiran puisi yang beragam sehingga ini mempengaruhi saat pembacaannya. Penafsiran yang tidak pas akan mengakibatkan pembacaan yang kurang pas pula. Misalnya saja puisi dengan nuansa sedih tapi dibacakan berapi-api, atau sebaliknya.

Ketika mau membaca puisi hendaknya harus memahami terlebih dahulu makna dan karakter puisi itu sendiri biar tidak gagal paham. Walaupun untuk membaca puisi itu bebas sesuai dengan kemauan si pembaca. Selain itu juga harus mempersiapkan diri pada mentalitas serta konsentrasi saat pembacaan.

Terlepas itu semua, bagi siapapun yang hendak membaca puisi modal awalnya adalah kemauan untuk mengapresiasi puisi lewat membacanya didepan orang lain. Bagus dan tidaknya suatu pembacaan puisi akan terbentuk dengan sendiri ketika kita tetap setia pada proses.***

Gandrung Sastra Pati, 2023

______________________________

Arif Khilwa, adalah seorang penyair, guru madrasah dan belakangan aktif lagi berteater bersama Teater Minatani, domisili di Pati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *