Esai: Elang Ade Iswara
“DENGAN meletakkan diri di tempat orang lain, dengan menggunakan imajinasi kita untuk menaungi identitas kita sendiri, kita mampu membebaskan diri kita.“
Kalimat dalam pembuka buku kumpulan esai tentang identitas bertajuk “Dilarang Masuk” karya Orhan Pamuk yang semalam baru kubaca tiba-tiba muncul sebagai kesan yang mendominasi usai menonton pentas Teater Prima – SMP 1 Ndawe di GOR Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah dalam ajang Festival Teater Pelajar (FTP) XIV Teater Djarum Awards tahun 2024, yang mengusung tema “Realitas Mimpi-mimpi”. Sebuah tawaran yang sedap dan berani.
“Surealisme, sebagai tema besar festival ini, akan menjadi jembatan yang menghubungkan dunia nyata dengan imajinasi tak terbatas dari para pelajar kreatif di 41 sekolah yang hadir di tahun ini.” Nada optimis berdentum dalam sekapur sirih yang disampaikan oleh Wijayanto Franciosa selaku Ketua Panitia di halaman website teaterdjarum.com. Selain itu, prolog yang disusun menjadi 4 paragraf di website yang sama, coba merangkum gagasan surealisme dari siapa, kapan, bukti dan kepercayaan surealisme itu sendiri– cukup memberi percikan kepada para pegiat seni khususnya teater. Apalagi ditambah kalimat persuasif di akhir tulisan yang berbunyi, “Surealisme mengajarkan bahwa seni tidak hanya menyentuh rasa, tetapi juga membuka ruang bagi ide-ide baru.”
Kurasa, sebagian besar merasa tertantang dan penasaran: kira-kira ide-ide baru apa yang menarik untuk diolah? dunia imajiner macam apa yang seru dan mampu untuk direalisasikan menjadi pementasan? semakin jauh dan dalam berpikir, bukannya menemukan jawaban tetapi justru pertanyaan baru muncul: menemukan ide-ide baru seolah sudah selesai dengan yang lama? semakin dalam bisa jadi justru kehilangan arah, dan upaya mencari jawaban hanyalah bahan bakar untuk sampai pada pertanyaan tentang identitas: di sana pelan-pelan gagasan surealisme mulai bekerja dari dalam diri. Membawa kita menyusuri sungai-sungai indah dari permukaan, atau membenamkan kita pada kegelapan yang menawan.
Catatan ini bagian dari upaya saya merayakan Realitas Mimpi-Mimpi di bayangan para remaja sekaligus menelisik beban makna di pundak mereka.
Satu abad lalu, kendati Perang Dunia I berakhir, dampak yang ditinggalkannya masih mengguncang individu dengan segenap ingatan dan perasaan secara signifikan. Pertanyaan-pertanyaan baru muncul meski perang berakhir. Banyak orang mempertanyakan eksistensinya tentang apakah kembali ke “kehidupan normal” itu mungkin. Dalam proses pencarian sekaligus kesedihan yang mendalam, pada musim gugur tahun 1924, André Breton yang pernah bertugas di rumah sakit jiwa selama Perang Dunia I mengumumkan sebuah “Manifesto Surealisme”. Ia mendefinisikan surealisme sebagai sarana untuk, “menyelesaikan kondisi mimpi dan realitas yang sebelumnya bertentangan menjadi realitas absolut, realitas super .”
Secara lebih meyakinkan dan kompleks, prolog Teater Djarum memberi bukti dengan menukil M. Dwi Maryanto dalam “Satu Abad Surealisme Andre Breton” di Harian Kompas (1/12/24) yang menyatakan bahwa surealisme telah membuktikan kemampuannya mentransformasi nihilisme dan destruktivisme gerakan Dada menjadi energi kreatif yang memunculkan inovasi.
Dalam sekapur sirih yang ditulis oleh ketua panitia, Wijayanto Franciosa tujuan mengangkat tema “Realitas Mimpi-Mimpi”, yakni“kita akan dibawa menyelami dunia yang tak biasa, di mana logika dan realita bertemu dengan mimpi dan fantasi. Tema ini mengajak kita menelusuri batas tipis antara realitas yang kita kenal dengan mimpi yang sering terasa tak nyata. Lewat karya-karya anak-anak yang ditampilkan di babak penyisihan, kita akan diajak melihat mimpi bukan sekadar pelarian, tetapi bagian dari kenyataan yang dapat menginspirasi dan mengubah, kita akan dibawa menyelami dunia yang tak biasa.”
Saya menjadi saksi hidup bagaimana anak-anak usia sekolah bisa berekspresi, berdialog, bergerak dengan gestur yang sangat apik sesuai karakter yang dimainkan. Dan itulah bentuk dari mimpi-mimpi mereka, di mana mereka bisa menghadirkan kemampuan di atas panggung. Mereka membawa kita ke dalam perjalanan yang penuh simbol, kejutan, dan keajaiban. Melalui dialog, gerakan, dan visual yang menggugah, di mana mereka dengan penuh keberanian menjadikan panggung sebagai ruang bebas untuk mengungkapkan ide-ide yang sering kali sulit dilukiskan dalam kata-kata.
Kami percaya, setiap mimpi memiliki realitasnya sendiri. Maka, biarkan diri kita merasakan bagaimana mimpi bisa menjadi bagian dari kehidupan. Buka hati, luaskan imajinasi, dan nikmati setiap karya yang akan dipentaskan.
Setelah membaca sekapur sirih pada tema FTP kali ini, beberapa kalimat optimisme yang kuat saya cetak tebal sebagai pengingat. Dan usai menyaksikan langsung keramaian penonton dan spirit para peserta, saya patut bersyukur mengingat masa-masa kelam pandemi dan dampaknya kepada para peserta didik.
Pandemi membawa dampak luas khususnya dalam bidang pendidikan dan pembentukan karakter peserta didik. Pertanyaan-pertanyaan ekstensial berkelindan sebagaimana saat Perang Dunia I berakhir, tentang apakah kita bisa kembali “hidup normal”. Sebagai orang yang pernah bekerja di instansi pendidikan pasca-pandemi, saya merasa khawatir kepada kesehatan mental siswa. Kondisi psikologis siswa tidak hanya mencakup ketahanan terhadap stress tetapi juga kemampuan siswa dalam beradaptasi. (Vierdiana, 2024) Selain itu kekhawatiran para siswa juga terjadi akibat perkembangan teknologi yang meningkat dan menyebabkan banyak tekanan terhadap ekspektasi kemampuan siswa.
Masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap kesehatan mental di mana mereka mengenal dunia luar melalui sosial media sebagai ranah banyak terjadinya kekerasan, kemiskinan dan pelecehan yang mengganggu kesejahteraan psikologis dan perlindungan dari pengalaman buruk yang mungkin akan berpotensi terhadap kesehatan mental mereka di masa dewasa (Rahmawaty et al., 2022). Arus informasi yang ugal-ugalan, sosial media yang cenderung berisi konten-konten destruktif— pelan-pelan merenggut keluguan dan merampas ingatan-ingatan baik sekaligus memburamkan mimpi-mimpi indah mereka yang pernah singgah dan merekah.
Karenanya, di Barat, permainan surealis menjadi bagian proses pembelajaran. Melalui A Book of Surrealist Games, Alistair Brothcie menyajikan lebih dari 55 aktivitas permainan yang menyenangkan untuk siswa. Lantas, tujuan seperti apa yang dapat dicapai dengan permainan dan aktivitas surealis? Dalam konteks ini, apa yang sebetulnya ingin dicapai oleh Festival Teater Pelajar dengan mengangkat surealisme? Dampak seperti apa yang sebenarnya diingininkan?
Sebagian besar sudah terjawab melalui sekapur sirih di atas, seperti: “… keberanian menjadikan panggung sebagai ruang bebas untuk mengungkapkan ide-ide yang sering kali sulit dilukiskan dalam kata-kata” atau “merasakan bagaimana mimpi bisa menjadi bagian dari kehidupan.” atau “melihat mimpi bukan sekadar pelarian, tetapi bagian dari kenyataan yang dapat menginspirasi dan mengubah, kita akan dibawa menyelami dunia yang tak biasa.”
Saya menyukai konsepsi tentang penerimaan mimpi bagian dari kehidupan, yang dapat menginspirasi dan mengubah. Melalui Festival ini, para siswa merasakan secara sadar dan nyata energi panggung dan aliran impuls dalam diri saat diterangi lampu-lampu, sorot mata ratusan penonton dalam remang, dan terpenting mereka merasakan berhadapan dengan dirinya sendiri– di mana mereka dapat memilih: berjuang dan selesaikan, atau menyerah pada keadaan.
Hasil pengalaman semacam ini cukup bernilai bagi para peserta di usia remaja: baik bagi 9 kelompok teater yang lolos ke babak final, atau 32 kelompok yang usai di babak penyisihan, mereka sama-sama belajar membangun kepercayaan diri, beradaptasi, bekerjasama sebagai tim, dan berkompromi dengan dirinya sendiri atas penerimaan segala konsekuensi.
Tetapi perlu digaris bawahi, agenda tahunan yang menjadi ruang pertemuan dan perayaan sebagai proses pembalajaran, tidak hanya milik siswa. Para sutradara yang cenderung “itu-itu saja” juga perlu ambil bagian dalam proses pembelajaran ini. Misalnya, dengan tidak terlalu sibuk memperdebatkan definisi antara surealis dengan realis, atau merenggut hak kreativitas para remaja dengan intervensi yang berlebihan. Dengan memberi ruang diskusi, aktor dan sutradara saling-silang mengemukakan ide dan gagasan hingga sampai pada kesepakatan yang baik dan setara. Sebab seringkali, keputusan terjadi secara sepihak– meskipun sah dalam konteks penyutradaraan, menjejalkan beban makna di pundak para remaja, akan terasa berat dan mengganjal bagi mereka. Hal ini saya rasakan, saat menonton para aktor Teater Prima – SMP 1 Ndawe. Alih-alih menikmati dan merayakan peran masing-masing, saya justru merasa para pelajar SMP 1 Ndawe ini terbebani dan nampak begitu letih dengan lakon dan pementasan yang mereka suguhkan.

Selesainya pagelaran usai proses berbulan-bulan dan diakhiri tiga hari babak final pada 13 hingga 15 Desember, merupakan bagian membentuk ingatan kolektif sekaligus upaya merawat dan merayakan mimpi-mimpi para remaja yang barangkali hari ini hampir terbenam. Mimpi-mimpi polos dan indah yang pernah singgah untuk merekah. Alih-alih mereka membayangkan masa depan, spirit surealis justru mengembalikan mereka ke pangkuan masa lalu. Di mana kerinduan kepada jiwa kanak-kanak menjadi medan pertemuan dan perayaan. Para remaja mengingat meski menolak berjalan terlalu jauh. Mereka kembali mendapatkan sekaligus menyusun fragmen-fragmen ingatan yang hangat. Meminta “kita” untuk masuk ke dunia yang sebetulnya akrab sekaligus asing tanpa janji baik dan buruk– dua hal yang acapkali bersitegang di kepala orang-orang dewasa.
Di siniliah saya merasa terpukau dengan keberanian panitia Festival Teater Pelajar (FTP) XIV Teater Djarum Awards tahun 2024, yang mengusung gagasan surealisme. Tanpa takut kehilangan penonton atau tidak diterima oleh khalayak, mengingat sejak awal, surealisme cukup akrab dengan perkembangan seni kontemporer, psikologi dan psikoanalisis— bukankah keyakinan panitia, bahwa teater akan mati ketika tak menawarkan dan merayakan sesuatu serta kepercayaan bahwa teater tidak akan pernah kehilangan peminatnya perlu diapresiasi.
Dengan demikian, sejarah telah membuktikan bahwa manusia secara intuitif selalu berkembang sebagai upaya bertahan hidup. Setiap individu berusaha mencari ruang yang ramah. Karenanya sebuah Festival mengambil peran dan menjadi salah satu jawaban sebagai wadah yang konstruktif dan aman bagi setiap siswa untuk meningkatkan daya juang, meluaskan ruang kesadaran, dan membentuk ingatan kolektif yang berkesan. Sehingga melalui festival, ranah psikis para peserta didik dapat terartikulasi. Semoga.***
Kudus, 2024.
________________________
Elang Ade Iswara, menulis esai dan puisi. Menganut kepercayaan Bumi tidak bulat atau datar, tetapi miring. Beberapa puisi dan esainya tercecer di zine kolektif serta antologi bersama seperti: Perempuan Ghirsereng (Kumpulan Sajak Penyari ASEAN 3), Kita, Kota, Kata (Writer The Future), Koran Tempo, dan lain-lain. Saat ini berdomisili di Kudus dan sedang merampungkan buku terbarunya, “Kita(b) yang Tidak Mengajarkan Apa-Apa”
Artikel ini telah dimuat di Suara Merdeka Minggu (5/1).