Teater
Jimat Kalimasada:
Sebuah Ruang Kosong atau Penuh Isi
Pertunjukan:
Lapangan Basket UMK
Hari Sabtu, 10 Agustus 2024 - Pukul 19.30 WIB
Jl. Lingkar Utara, Gondangmanis, Bae, Kudus.
SEBUAH PANGGUNG berlatar belakang gedung megah seperti hendak mencakar langit dengan dinding-dindingnya yang terbuat dari kaca. Di depan dinding kaca gedung tersebut, sebuah gondola menggantung dari langit, dan di dalam gondola seorang tukang pembersih kaca sedang menyelesaikan pekerjaannya.
Di atas ketinggian seperti itu kanan kiri yang nampak hanyalah dinding kaca yang luas yang memantulkan langit yang maha luas. Selebihnya, angin kadang mempermainkan tali gondola, tubuh laki-laki itu berayun-ayun dari ujung mendung ke ujung mendung yang lain.
Laki-laki yang keliatan kecil di atas ketinggian itu bernama Langit -diperankan oleh Masrien Lintang.
Alunan musik melengking panjang bercampur dengan nyanyian lagu ratapan laki-laki bertubuh kecil itu.
“Bergantung-gantung antara awan-awan. Bergantung-gantung, mendung liwang-liwung. Sepi-sepa. Bergantung-gantung antara awan-awan. Bergantung-gantung, mendung liwang-liwung. Sepi… sepi…”
Dia masih berada di atas gondola, menggantung di antara angin, sepi, dan tembok kaca. Tapi, ada yang lebih sepi, jauh di dalam sana. Sebuah ruang kosong di dalam rongga jiwa laki-laki kecil itu. Mungkin tidak kosong, mungkin juga isinya terlalu penuh.
Pelan-pelan tali gondola itu semakin merendah dan beberapa detik kemudian menyentuh tanah.
Lapangan Basket Universitas Muria Kudus yang menjadi tempat pementasan lakon Liang Langit Teater Djarum pada Rabu malam (10/8) mendadak senyap terinspirasi oleh suasana perasaan tokoh utama lakon ini.
Dialog meluncur. Langit protes kepada ayahnya, protes terhadap kenyataan hidup dan penyesalan karena dia merasa selama ini hidupnya hanya dipenuhi dengan kesialan dan kesalahan.
***
Seminggu sebelum pementasan ini di gelar di Lapangan Basket Universitas Muria Kudus, saya mendapat whatsapp dari Mas Asa Jatmiko, sutradara dan sekaligus penulis lakon ini. Saya dikirim flyer pementasan Liang Langit dan ditanya apakah akan menonton pentas tersebut.
“Bahkan tidak diundang pun saya pasti nonton,” jawab saya.
Mungkin si Rambut Panjang ini kasihan sama saya, lalu saya direservasikan sekalian dengan ibunya anak-anak. Jadilah kami menonton berdua di kursi reservasi, dan anak perempuan saya yang malam itu ikutan nonton berada di kursi nonreservasi.
(Makasih ya Bro… dan selamat!)
Sudah beberapa bulan, saya tidak berkomunikasi dengannya. Terakhir, kami bertemu di Suara Merdeka, itupun di Rubrik Sastra Edisi Minggu. Cerpen saya dan puisi karyanya dimuat di hari dan halaman yang sama.
Menjelang pulang, kami bertemu dengan Pipiek Isfiyanti, aktor senior Keluarga Segitiga Teater (Keset) dan diundang untuk nonton pada pementasan teaternya di minggu berikutnya.
Entah kenapa, sepulang dari menonton teater ini, pikiran saya terganggu; nggak bisa langsung tidur nyenyak -brek sek- seperti biasanya. Anak muda yang bernama Langit itu menggoda saya. Mengingatkan beberapa teman yang pada zaman Pak Harto dulu menjadi aktivis, rajin berdemo membela rakyat kecil dan memprotes pemerintah. Mereka menyebarkan SG (selebaran gelap), menempelkannya di box telepon umum dan bermain sembunyi-sembunyi dengan reserse. Sebagian dari mereka saat ini ada yang (kelihatan) hidup enak di lingkungan istana. Ada yang menjadi politisi partai besar, dan tentu saja ada yang bernasib seperti Langit.
Adakah yang salah dari mereka?
Apakah salah jika di kemudian hari dia menghapus masa lalunya dengan mengganti nama Rokayah dengan Zelda agar setelah itu mendapatkan tiket putih, kesempatan baru, dan lepas dari bayang-bayang hitam seorang aktivis atau demonstran, demi jabatan, dan hidup berkecukupan. Dan memang terbukti benar, kan? Zelda melakukannya dengan sukses. Dia bisa hidup enak. Ke mana-mana dia membawa koper berisi uang.
Apakah salah jika di kemudian hari Langit masih bertahan dengan cara berpikir mahasiswa idealis, suka protes, tak ingin mengalah, tak mau kompromi dengan keadaan, dan akhirnya tenggelam terpinggirkan?
Di tengah kesulitan ekonomi seperti itu, Sri, sang istri hamil tua. Di pihak lain, Warjo temannya yang ‘ hanya’ lulusan SD dengan bangganya pamer sambil menegakkan tubuhnya, mengatakan bahwa sekarang dirinya lebih kaya dan dengan percaya diri berani menasehati Langit.
Dia kesepian di ketinggian di antara angin, awan, dan dinding kaca.
“Bergantung-gantung antara awan-awan. Bergantung-gantung, mendung liwang-liwung. Sepi-sepa. Bergantung-gantung antara awan-awan. Bergantung-gantung, mendung liwang-liwung. Sepi… sepi…”
Langit. Langit…
Mungkin tak ada yang salah. Tetapi, mengapa selalu saja ada ruang kosong yang penghuninya adalah perasaan sepi, yang selalu mengganggu dengan tak henti-hentinya bertanya: mengapa aku tak pernah berhenti berhadapan dengan situasi seperti ini.
***
Sepanjang perjalanan pulang istri saya mengeluhkan beberapa pertanyaan yang mengganggu logika estetikanya. Mengapa Langit mengenakan sepatu, sedangkan tokoh Sri, Warjo, Koh Alun, Zelda dan lainnya tidak beralas kaki? Mengapa ada adegan mengambil gelas dan minum tanpa properti gelas? Sementara di adegan lain, ada adegan pekerja menggunakan uang beneran sebagai alat bantu akting? Di mana konsistensinya?
Saya tidak menjawab pertanyaan tersebut, ada hal lain yang saya pikirkan.
“Yang seperti itu tadi, mungkinkah ada tujuan di baliknya?” saya balik bertanya.
“Kalau disengaja berarti membiarkan ada ruang kosong, kalau tidak disengaja berarti kecelakaan,” balasnya.
Saya tersenyum.
Panggung menciptakan kesan dingin dan terasing. Gedung dengan dinding-dinding kaca yang besar dan memantulkan langit menciptakan ilusi visual yang mengesankan—sebuah gambaran tentang betapa kecilnya manusia di hadapan semesta yang begitu luas. Di tengah-tengahnya, sebuah gondola menggantung, menjadi satu-satunya tempat yang menghubungkan Langit dengan dunia di bawahnya. Detail ini menunjukkan betapa terisolasinya Langit, yang menggantung di antara awan-awan, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana.
“Bagaimana menurutmu tata panggung seperti itu? Sudahkah menjadi ganti rugi protesmu?” tanya saya.
Langit, tokoh utama kita berhasil digambarkan sebagai tukang pembersih kaca gedung, terlihat seperti titik kecil di ketinggian, berayun-ayun mengikuti tiupan angin yang kadang mempermainkan gondola, kadang dipermainkan oleh cuaca tempat ia bekerja. Tali gondola yang berayun seolah-olah merepresentasikan ketidakpastian dan ketidaktentuan hidup yang dialami oleh Langit.
Saya masuk ke dalam dunia langit yang penuh kesepian. Dengan menggunakan musik yang melengking panjang dan lagu ratapan yang dinyanyikan oleh Langit, bukan sekadar melodi, tetapi juga cerminan dari perasaannya yang tergantung-gantung di antara awan-awan, mencari makna di tengah-tengah kehidupan yang sepi.
Kesepian yang dialami oleh Langit tidak hanya dirasakan melalui kata-kata, tetapi juga melalui gerak tubuhnya yang berayun di udara, seolah-olah dia hanyalah sebuah bayangan yang terjebak dalam ruang kosong yang tidak berujung.
Pementasan “Liang Langit” ini tidak hanya menyajikan cerita, tetapi merenungkan kembali arti kesepian dalam kehidupan manusia modern. Di tengah kemajuan teknologi dan gedung-gedung pencakar langit, seringkali manusia merasa semakin terisolasi, seperti Langit yang terjebak dalam gondola di tengah langit yang luas. Gedung kaca yang memantulkan langit di sekitarnya seakan menegaskan bahwa meskipun berada di tengah keramaian, seseorang tetap bisa merasa sendirian.
Di akhir pementasan, suara ratapan Langit semakin lirih dan perlahan menghilang ke dalam keheningan menjadi penutup yang sempurna pementasan ini. Saya dan barangkali juga kalian yang menonton, ada yang tidak bisa tidur sesampai di rumah, sebab kesunyian di ruang kosong itu diam-diam ada dalam diri kita sendiri.
Saya berharap di ruang kosong itu, Langit menemukan nilai hidupnya, hehe.
Jimat Kalimasada, sastrawan tinggal di Kudus
Artikel ini diambil dari Buku Tajug