Salinan Peristiwa dari Menonton Tiga Puluh Enam Hasil Tangkapan

Catatan: Rendra Bagus Pamungkas

Pengantar Redaksi:
Festival Film Anak Bangsa (FFAB) mempercayakan kepada Rendra Bagus Pamungkas sebagai juri, bersama Fanny Chotimah dan Asa Jatmiko. Film-film peserta yang telah lolos hingga tahap akhir, yang kemudian ditonton oleh Rendra Bagus Pamungkas untuk dinilai. Bagaimana film-film tersebut menurut tinjauannya, berikut ini catatan singkat yang ditulis oleh Rendra Bagus Pamungkas, yang dapat menjadi energi bagi kreativitas kita selanjutnya.

Saya hanya mampu menonton lima hingga enam film setiap harinya selama proses penjurian Festival Film Anak Bangsa (FFAB) 2025 berlangsung. Peristiwa menyaksikan hasil karya teman-teman peserta, bagi saya yang bekerja paruh waktu dalam industri perfilman Indonesia, menonton tiga puluh enam karya peserta sama halnya bertatapan secara intensif dengan pola kerja artistik yang saya lakukan. Proses penjurian ini lebih dari sekedar penyusunan angka-angka, karena diwaktu itulah permenungan saya terjadi. Pembacaan ulang alik yang bertumpu pada diri sendiri sambil sesekali membayangkan, jika saya yang berada di film itu. Maka dengan rendah hati dan segala keterbatasan saya, di awal tulisan ini ijinkan saya lebih dulu memberikan penghormatan, mengangkat topi setinggi-tingginya untuk kerja keras dan pengharapan teman-teman sekalian yang telah hadir di meja kerja saya, sebuah karya seni; Film dengan konstelasi nilai yang menakjubkan!

Selanjutnya ijinkan saya membagikan hasil tatapan saya terhadap kerja artistik teman-teman yang tentu saja sebagai tatapan liyan, berjarak dan personal.

Selama proses penilaian saya menggunakan sudut tatapan sebagai aktor. Saya beranggapan bahwa kerja pembuatan film merupakan sebuah upaya bersama untuk menghadirkan kembali peristiwa yang pernah atau sedang berlangsung dalam tubuh senimannya sebagai individu manusia. Di luar hal teknis, mata seniman mewakili sudut fotografis yang berperan penting dalam membantu mengarahkan mata, pikiran dan perasaan dari penonton untuk turut mengalami kompleksitas rasa estetik dari obyek yang sedang dihadirkan. Karya film sebagai kotak imajinarium sebaiknya mampu menyediakan kelengkapan tanda-tanda yang mampu menuntun dan mengarahkan penontonnya memasuki peristiwa demi peristiwa. Meletakkan setiap unsur tanda secara tepat memudahkan penonton mencari dan menemukan informasi yang berfungsi untuk membangun keterhubungan, sehingga penonton (manusia) yang bertatapan dengan karya tersebut dapat mengalami citra ‘ke-hadir-an’ dalam cerita.

Setiap momentum yang dihidupkan oleh manusia melalui divisi kerja audio dan visual dalam film tersebut adalah gambar rekaan atau rekam peristiwa yang sedang berlangsung, maka karya film sebagai alat komunikasi berpotensi menyentuh salah satu unsur kemanusiaan yang paling kompleks yaitu perasaan. Disinilah aktor sebagai bagian dari pembawa pesan dalam cerita memiliki peran penting, karena dia yang secara cepat ditangkap penonton menjadi perwujudan dari manusia dalam peristiwa rekaan itu. Pendek kata, film adalah peristiwa manusia melihat manusia.

Ketiga puluh enam film yang hadir di meja kerja saya menunjukkan bahwa ada upaya kreatif untuk mengolah obyek material yang sama dari sudut pandang berbeda. Tetapi diantara ragam cara bertutur dalam film yang bersumber dari penulisan skenario yang bagus, teknis pengambilan sudut tatapan yang puitik, ilustrasi yang tepat dan bahkan kerja artistik yang megah, akan mengalami penurunan kualitas rasa estetik apabila tidak mendapatkan daya dukung dari aktor yang benar. Saya maksudkan ‘benar’ dalam konteks ini adalah bagaimana cara aktor meletakkan seluruh perangkat tubuhnya sebagai liyan di dalam film. Identitas sebagai pribadi yang luruh dalam proses eksplorasi, kemudian tumbuh berganti menjadi manusia lain yang hidup dalam citra dunia baru, dengan kewajaran individu sesuai semesta di dalam film. Karena tidak semua ekspresi emosi yang disebut wajar dalam keseharian bisa diletakkan secara langsung di dalam film.

Terakhir saya ingin menyampaikan bahwa perjalanan manusia merekam peristiwa dimulai dari kali pertama manusia itu melihat citra visual dan auditif, lalu mengingatnya dengan baik melalui mata dan telinga atau perangkat memori lain atau dalam kasus inklusif masih berfungsi sebagai padanan dari lensa fotografis, sehingga kerja estetik pembuatan film bisa dimulai dari sadar akan perangkat kemanusiaan yang ada di dalam diri. Perangkat kerja seperti kamera, mikropon, lampu dan sebagainya hanyalah alat bantu untuk mempermudah seniman membagikan konstruksi gagasan dan rasa estetik kepada penontonnya. Maka teruslah membangun dan mengembangkan diri dengan benar dari membaca, menonton, bertemu dan belajar dengan berbagai macam manusia.***

————-

Rendra Bagus Pamungkas

Aktor, dan pada event FFAB 2025 menjadi juri. Tulisan di atas merupakan tinjauan dan catatannya seusai menonton film-film peserta FFAB.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *