Sanusi Pane, Bahasa & Intelektualisme

Esai: Juli Prasetya

SANUSI PANE adalah orang pertama yang mendukung usulan Moh. Tabrani untuk menggunakan istilah bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu ketimbang istilah Melayu usulan M. Yamin, dalam Kongres Pemuda I di Batavia. Dan kelak inilah yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia yang kemudian digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia hingga detik ini.  Ia adalah orang pertama yang mendukung ide penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, bahasa nasional, sebelum kemudian lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun tentu saja usul tersebut baru disepakati dan diakomodir saat berlangsungnya Kongres Pemuda II yang dilaksanakan pada 28 Oktober 1928, yang akhirnya menggemakan ikrar Sumpah Pemuda yang monumental dan epik itu. 

Dari sedikit cuilan sejarah di atas saja kita sudah dapat melihat, bagaimana peran Sanusi Pane yang begitu besarnya dalam memikirkan ide tentang bahasa pemersatu, bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia. Sanusi Pane bak seorang peramal ulung yang bisa membaca masa depan sebuah bangsa, seorang futuris di mana ia telah memikirkan berbagai macam kemungkinan, bagaimana ia telah membayangkan sebuah nation yang kelak merdeka. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana sebuah negara yang merdeka itu ada, dan negara yang merdeka sudah pasti harus memiliki bahasa pemersatu. Dan itu betul-betul ia pikirkan meskipun negara itu belum ada, tetapi semangat nasionalisme itu sudah ada di sana, di dalam diri Sanusi Pane. Betapa Sanusi Pane begitu mencintai Indonesia. 

Selain mendukung Moh. Tabrani dalam mengusung istilah bahasa Indonesia ketimbang istilah bahasa Melayu yang diusulkan oleh Moh. Yamin. Sanusi juga mencetuskan ide pendirian institut dan perguruan tinggi kesusasteraan Indonesia dalam Kongres Bahasa Indonesia Pertama.

Jika ada pertanyaan tentang apa kontribusi Sanusi Pane bagi dunia intelektual Indonesia?  Menurut saya, setidaknya jasa Sanusi Pane terhadap dunia intelektual Indonesia ada tiga. Pertama adalah dukungannya kepada Moh. Tabrani untuk menggunakan istilah bahasa Indonesia dalam kongres, ketimbang istilah bahasa melayu yang diusung M. Yamin. Kedua, idenya tentang pendirian institut bahasa yang kelak menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Dan yang ketiga adalah idenya tentang pendirian perguruan tinggi jurusan sastra bersama Sutan Takdir Alisjahbana, dan M. Yamin. Inilah cikal bakal fakultas sastra di kampus-kampus Indonesia (Pusat Data & Analisa Tempo, 2022Sanusi Pane: Pujangga Pencetus Badan Bahasa, hlm. 22-23)

Jasa pertamanya adalah bahasa. Bahasa menjadi tulang punggung kebudayaan dan peradaban sebuah negara, sebuah bangsa. Bahasa adalah alat komunikasi paling penting dalam suatu era atau zaman. Tanpa bahasa mustahil peradaban akan menjadi besar, bahasalah yang menjadi tolok ukur pemikiran dan kecerdasan sebuah bangsa dan negara. Karena bahasa menjadi salah satu alat yang bisa digunakan untuk menyampaikan gagasan kepada generasi setelahnya. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi antar manusia, tetapi juga alat untuk menyampaikan gagasan, ekspresi, dan pikiran sebuah bangsa.

Dengan demikian pemikiran-pemikiran itu bisa saling berdialektika, bertarung, dan pertarungan gagasan dan wacana itu bisa dilakukan ketika kita memiliki satu bahasa, bahasa yang sama untuk menyampaikan gagasan yang baik, untuk saling mengerti dan memahami, dan juga untuk saling berbantahan dan mengoreksi antara pemikiran yang satu dengan pemikiran yang lain, dan hal itu dapat dimungkinkan dengan medium bahasa, tidak terkecuali bahasa Indonesia. 

Sampai di sini kita sudah tidak bisa meragukan lagi peran Sanusi Pane dalam mengejawantahkan dan melahirkan pemikir-pemikir Indonesia dari berbagai zaman bukan? Entah itu zaman pra kemerdekaan, lalu kemerdekaan, dan pasca-kemerdekaan.  Itulah kontribusi tertinggi yang diberikan oleh Sanusi Pane dengan segala ke-rendah hatian-nya. Sanusi Pane adalah pribadi rendah hati yang tidak gila gelar apalagi jabatan. Bahkan istrinya pun heran kok ada orang yang begitu rendah hati, menolak jabatan dan penghargaan meskipun ia pantas mendapatkan itu, dan tidak menganggap dirinya sebagai orang penting. “Aku bukan apa-apa. Aku bukan apa-apa,” ucap Sanusi Pane. Padahal sejarah mencatat bahwa kontribusinya bagi Indonesia begitu besarnya, tapi ia tidak ingin dikenal, ia tidak ingin numpang tenar dari apa yang telah dilakukan untuk negara ini. Ia melakukan itu semua atas dasar satu hal saja; cinta.

Cintanya kepada bangsa dan negara ini begitu besarnya, dan tidak ada yang lebih membahagiakan Sanusi daripada persatuan dan kesatuan Indonesia itu sendiri, dan ia bisa meninggalkan warisan paling berharganya itu, idenya tentang bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dan dengan segala hormat, dengan bahasa inilah kita bisa menuliskan dan menyampaikan berbagai macam pikiran kita dengan leluasa dan sesuai dengan karakteristik dan dengan berbagai macam latar belakang  kita sebagai sebuah bangsa, sekaligus sebagai seorang pribadi.

Menurut Sanusi dalam ceramahnya di Taman Siswa pada 1940, bahasa persatuan Indonesia bukan tumbuh dari kesusasteraan Melayu ataupun karena kuasa salah satu daerah Melayu. “Bahasa Indonesia timbul dalam lapangan pergaulan daerah yang satu dengan yang lain, golongan bangsa yang satu dengan yang lain. Dasar bahasa Indoensia ialah Melayu-pasar, yaitu bahasa yang timbul di mana-mana di Indonesia” ucap Sanusi. Maka bahasa Indonesia dalam Tafsir Sanusi adalah bahasa yang menyerap berbagai kata dari semua bahasa yang berkembang di Nusantara.”Bahasa oersatuan dengan begitu dipandang dari jurusan Indonesia umum, bukan dari jurusan Jawa, Sunda, dan sebagainya. Makin dekat bahasa seseorang kepada ukuran, perasaan Indonesia umum, makin dekat bahasanya itu kepada bahasa Indonesia,” kata Sanusi (Pusat Data & Analisa Tempo, 2022, Sanusi Pane: Pujangga Pencetus Badan Bahasa, hlm. 18-19)

Dan kita bisa mendapatkan manfaat yang luar biasa dari ide ini, dari bahasa ini. Bagaimana kita bisa bertukar pikiran dan bertukar perasaan dengan bahasa pemersatu ini, dan kita juga bisa menuliskan pemikiran dan berbagai macam karya sastra dengan menggunakan bahasa ini, dan ini tidak bisa lepas dari peran pahlawan kita yang satu ini, Sanusi Pane yang begitu rendah hati, sampai akhir hayatnya. 

Intelektualisme & Bahasa
Boleh jadi Pane sangat paham pentingnya sebuah sikap persatuan yang egaliter dalam sebuah  bangsa dan negara, oleh karenanya ia mengusulkan menggunakan bahasa Indonesia yang begitu egaliter dan tidak memandang bulu kepada siapa saja. Di depan bahasa Indonesia, semua orang sama saja, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, bahasa ini bisa mengakomodasi segala kalangan, dari kalangan bawah maupun kalangan atas, dari orang biasa sampai kalangan intelektual. Semua menggunakan bahasa yang sama, tanpa ada tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa misalnya, yang memiliki tingkatan dan unggah ungguh bahasa, seperti krama inggil dan krama alus. Sanusi Pane telah memikirkan itu, bahwa untuk mempersatukan bangsa yang besar dengan begitu banyak suku, adat, budaya, dan bahasa daerah yang berbeda, maka Pane mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia. 

Sikap egaliter ini sangat penting bagi seorang intelektual, karena sikap egaliter ini juga akan menumbuhkan daya kritis dan keberaniannya. Menurut Edward W. Said orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa, inilah paham inti Said tentang intelektual. Seorang intelektual mengatakan yang dianggap benar, entah sesuai atau tidak dengan penguasa. Maka ia cenderung ke oposisi ketimbang akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang sebenarnya dikatakan tetapi ia menghindar. Ia tidak pernah boleh mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa. (Kata Pengantar Frans Magnis Suseno dalam Peran Intelektual, Edward W Said, 1998, hlm. xi) 

Bagi saya seorang intelektual adalah manusia biasa yang ditakdirkan untuk menanggung beban kemanusiaan dan kehidupan yang luar biasa berat. Seorang intelektual tidak bisa terlahir jika tanpa bahasa. Bagaimana bisa seorang intelektual akan menyampaikan dan membagikan gagasannya, jika ia tidak memiliki perangkat bahasa untuk menyampaikan setiap gagasannya. Pemikiran-pemikiran cemerlang seorang intelektual akan berhenti di tahap absurditas abstraksi, dan pembayangan saja, jika tanpa bahasa. Karena bahasalah yang kemudian akan mengkomunikasikan itu kepada dunia, bahasalah yang akan menjelma menjadi tubuh sang pikiran, kata-katalah yang akan mengejawantahkan dan mengenalkan konsep-konsep pikiran itu. Dan ini tentu saja tidak bisa lepas dari peran bahasa. Padahal kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan benteng utama kaum intelektual.

Bagaimana mereka bisa berpendapat dan berekspresi jika mereka tidak memiliki perangkat bahasa yang digunakan. Dan tidak dipungkiri bahwa bahasa adalah perangkat paling sangkil dan mangkus untuk menyampaikan sebuah gagasan, mengekspresikan perasasan, dan bahasa yang digunakan para intelektual, filsuf, dan para bijak bestari inilah yang kemudian akan memunculkan peradaban. Dan jangan lupa juga bahwa gagasan yang abadi itu adalah gagasan yang dituliskan. Maka di titik ini kita bisa meniru dan meneladani apa yang dilakukan oleh Sanusi Pane dalam kinerjanya untuk membangun sastra dan bahasa Indonesia; ia menulis. 

Sanusi Pane pun ia menulis Sandyakala Ning Majapahit, ia menulis tentang Arjuna Wiwaha, ia menulis tentang Kertajaya dan itu semua merupakan sejarah, tokoh-tokoh sejarah, dan falsafah orang Jawa. Sanusi Pane yang orang Tapanuli itu tidak anti dengan kebudayaan dan sejarah liyan. Baginya itu adalah juga bagian dari bangsa Indonesia, dan ia menuliskan itu semua dengan menggunakan bahasa Indonesia, sebuah bahasa yang di tahun itu adalah masih bahasa baru yang digunakan di Hindia Belanda.

Di sini bahasa selain sebagai alat untuk berkomunikasi juga menjadi alat untuk saling bertukar gagasan, dan menciptakan ide dan pemikiran-pemikiran. Seperti yang sudah saya singgung di awal, bahwa tanpa perangkat bahasa mustahil seorang intelektual bisaa membagikan gagasannya. Karena gagasannya tidak akan terwujud dan hanya akan menjadi konsep yang masih abstrak di dalam kepalanya sendiri tanpa menggunakan medium bahasa, tanpa menguasai bahasa. Dan Sanusi Pane telah menunjukkan dan memperkenalkan kepada kita bagaimana bahasa Indonesia sangat bisa digunakan sebagai bahasa intelektual untuk membagikan gagasannya. 

Tidak berhenti sampai di situ, Sanusi Pane juga menggagas tentang pentingnya sebuah lembaga yang mengurusi tentang perkembangan bahasa Indonesia. Maka ia mengusulkan mendirikan lembaga bahasa, yang nantinya menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang mengurusi tentang seluk beluk tentang pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia serta bahasa-bahasa ibu yang ada di Indonesia. Inilah peran Sanusi Pane selanjutnya.

Dan yang terakhir adalah gagasannya bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan M. Yamin yakni ide untuk mendirikan perguruan tinggi yang berfokus pada keusasteraan Indonesia. Mungkin inilah yang menjadi peran paling penting Sanusi Pane untuk mencetak intelektual Indonesia. Karena kita tahu bukankah dari perguruan tinggi ini, kita akan bisa menemukan dan menyaksikan kelahiran-kelahiran para intelektual di Indonesia. 

Bagi Sanusi Pane, fakultas sastra adalah suatu asrama umum kesusasteraan. “Suatu pusat bagi pekerjaan inventarisatie, reorganisatie, dan modernisatie” ucap Sanusi sebagaimana dikutip Priyantono Oemar dalam makalahnya (Pusat Data & Analisa Tempo, 2022Sanusi Pane: Pujangga Pencetus Badan Bahasa, hlm. 23). Tiga pekerjaan di atas tidak lepas dari dunia intelektual dan dunia akademik kita dewasa ini. Dan Sanusi Pane telah memikirkan itu. Ia tidak hanya memikirkan tentang bahasa apa yang akan digunakan para masyarakat dan intelektual kita di masa depan, tapi juga ia mencetuskan ide tentang wadah kesusasteraan bagi calon-calon sastrawan, kritikus sastra dan intelektual kita di masa depan. 

Bukankah ini sudah menjawab pertanyaan tentang apa peran, sumbangsih, kontribusi, Sanusi Pane bagi dunia intelektual Indonesia kita? Ia mendukung, mengenalkan, mengusulkan dan mempraktikan penggunaan sebuah bahasa baru yang disebut bahasa Indonesia. Ia mencetuskan ide tentang pentingnya pendirian badan bahasa, ia juga menekankan pendirian fakultas sastra di perguruan tinggi. Dan itu semua adalah semacam jalan yang telah dibuat dan diawali oleh Sanusi Pane, semua itu adalah warisan Sanusi Pane yang paling berharga yang ditunjukkan dan ditujukan untuk diteruskan kepada generasi penerusnya saat ini, atau kelak di masa yang akan datang.

———–

Juli Prasetya

seorang penulis muda asal Banyumas. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *