Kami sepakat di tengah perbincangan malam itu adalah selametan SARASVATI, dengan hujan, cahaya, dan kehadiran yang menjadi doa.
MALAM itu, hujan turun seolah membaca kitab-kitab langit. Deras namun lembut, deras namun penuh pengertian. Ia tidak datang untuk memisahkan, melainkan menyatukan—menjadi suara latar bagi doa-doa yang bergumam lirih di dada para hadirin. Di antara tempias dan embun yang menempel di kaca jendela, kami menyaksikan kelahiran SARASVATI bukan sebagai satu momen, tetapi sebagai peristiwa yang mengalir dari satu jiwa ke jiwa lain, dari satu cahaya ke cahaya berikutnya.
Ruang yang kami pilih bukanlah gedung megah atau altar resmi. Ia sederhana, namun cukup lapang bagi semesta kecil kami untuk bernapas. Studio itu menjelma menjadi panggung tanpa tirai, tempat segala rupa perasaan ditumpahkan. Di sana, tubuh menari bersama teks, kuas mengguratkan keheningan, dan suara membaca puisi seperti menyalakan api kecil di sela-sela basah malam. Kamera dan mata menjadi satu, menangkap bukan hanya rupa tapi makna—mengabadikan kehadiran sebagai bentuk doa yang tak lekang oleh waktu.
SARASVATI malam itu bukan dewi dalam artian mitologis semata, melainkan kesadaran yang tumbuh dari kolaborasi: narasi yang dijahit dari berbagai benang pengalaman, gerak yang lahir dari keheningan, dan bunyi-bunyian yang bukan berasal dari alat musik, melainkan dari hasrat untuk saling mendengarkan. Setiap elemen, setiap peran, menyumbangkan nyawanya masing-masing untuk satu kelahiran bersama—yang tidak spektakuler, tapi intim dan hangat. Seperti pelukan yang tak perlu banyak kata.
Malam itu, kami mengizinkan diri untuk hadir sepenuhnya—dalam hujan, dalam cahaya, dalam doa. Selametan bukan hanya ritus, tapi jalan pulang menuju sesuatu yang kerap kita lupakan: kehadiran yang utuh, kesediaan untuk menerima, dan keyakinan bahwa sesuatu yang lahir dari niat yang jernih akan menemukan jalannya sendiri. Maka lahirlah SARASVATI, bukan sebagai karya, tapi sebagai ruang; bukan sebagai satu orang, tapi sebagai kita semua.
SARASVATI: Panggung Kecil, Laku Kolektif Dari secangkir teh yang diracik perlahan, dari tubuh yang bergerak mencari makna, hingga kata-kata yang meluncur dari keheningan—SARASVATI adalah peristiwa kecil yang kami bangun bersama sebagai sebuah laku kolektif. Ia bukan sekadar panggung, tetapi ruang berbagi, bermain, dan belajar; tempat di mana ekspresi menjadi bentuk pengabdian paling jujur kepada kehidupan.
Pada malam yang hangat di Jekulo, 28 Juni 2025, kami berkumpul di Galeri Lukis Mas Yuyut. Bukan sekadar temu, tapi semacam perayaan diam-diam atas tubuh, kata, warna, dan rasa. SARASVATI hadir sebagai laku kolektif yang tumbuh dari hasrat untuk menyatu—antara yang batin dan yang lahir, yang personal dan yang bersama.
SARASVATI tumbuh dari hasrat untuk menyatu: antara rupa dan rasa, antara yang personal dan yang publik, antara tubuh dan cerita. Di dalamnya, tiap individu tidak hanya tampil, tapi saling menampung. Teh bukan hanya minuman, tapi perantara keintiman. Lukisan bukan sekadar visual, tapi jalan sunyi menuju batin. Tubuh bukan sekadar alat, melainkan teks yang bergerak. Puisi, dongeng, performans, dan warna—semuanya menari dalam satu tarikan napas.
Semua laku ini bersetia pada satu semangat: menyusun kembali serpih kehidupan dengan kepekaan, keberanian, dan kelembutan.
SARASVATI bukan hanya acara, tapi cara. Ia adalah tubuh kolektif yang terus bergerak, mengeja keindahan dalam bentuk yang paling lentur: berbagi.
***
Di dunia yang terlalu tergesa, kita kerap kehilangan seni berjalan pelan. Segalanya ingin cepat, ringkas, instan. Padahal hidup, sebagaimana perjalanan mendaki hutan atau menyusuri belantara, tidak bisa diakali dengan shortcut. Ada medan yang mesti dilalui, peluh yang perlu diteteskan, dan detak yang harus didengar satu-satu.
SARASVATI hadir sebagai narasi minuman, tapi juga pengingat tentang hidup. Ia bukan sekadar teh. Ia semacam buku kecil yang bisa diseduh. Isinya: jejak langkah, warna-warna alam, pelajaran tentang ketidaktergesaan, dan filosofi tentang kehadiran serta kehilangan.
Apa salahnya berjalan pelan? Kadang kita baru bisa benar-benar memahami sesuatu justru saat tidak terburu-buru. Ada keindahan dalam keterlambatan. Ada kedalaman dalam jeda.
SARASVATI merangkai langkah-langkah itu dalam racikannya. Setiap bahan bukan dipilih sekadar karena rasa atau aroma, tapi karena ia membawa kenangan dan lambang. Teh hitam dengan hazelnut praline, misalnya, menghadirkan rasa manis dan creamy yang berpadu hangat, seolah jadi metafora untuk jalan-jalan panjang yang ditempuh bersama, dengan jatuh bangun, tapi tetap saling menggenggam.
Bunga krisan kuning muda, dengan helai-helai mungil seperti sayap, mengingatkan kita pada kupu-kupu yang terbang di lereng gunung. Ringan tapi bermakna. Indah tapi rapuh. Seperti perasaan kita yang kerap naik turun, tapi tetap berharap untuk melanjutkan.
Ingatan adalah semacam jembatan antara yang telah lalu dan yang akan datang. Ia bukan sekadar kenangan, tapi kekuatan. Dalam SARASVATI, ingatan itu tertanam dalam rupa bunga, daun, bebatuan, dan bahkan jamur ganodelma yang mengilap merah dan coklat—meski tak digunakan langsung, jamur itu dihadirkan melalui safflower, sebagai lambang daya tahan dan penyembuhan.
Tak ada perjalanan tanpa lelah. Tak ada pendakian tanpa keinginan untuk berhenti. Tapi, di titik-titik itulah biasanya kehadiran seseorang—atau sesuatu—menguatkan. Kadang bukan orang, tapi secangkir teh hangat, yang jadi teman paling tulus di antara kabut dan gerimis.
Di titik ini, SARASVATI menjadi lebih dari sekadar minuman. Ia menjadi simbol: bahwa di setiap kelelahan, ada penghiburan. Bahwa dalam ingatan yang hangat, ada keberanian untuk melanjutkan.
Saat hujan turun di belantara, tubuh menggigil. Tapi bukan hanya api atau pakaian hangat yang dibutuhkan. Jiwa juga memerlukan pelukan. Di sinilah kehangatan jahe dan serai dalam SARASVATI bekerja. Ia tidak hanya menyapa lidah, tapi juga memeluk tubuh yang lelah dan hati yang mungkin belum pulih sepenuhnya.
Parijata, tanaman khas dari lereng Muria, menjadi pengikat rasa. Ia tidak hadir dengan gegap gempita. Tapi seperti banyak hal dalam hidup yang pelan-pelan tapi pasti, parijata menyatukan semuanya. Ia adalah kehadiran yang tidak menuntut, tapi menguatkan. Dan itu cukup.
Pelan, Bukan Berarti Tertinggal Ada kebijaksanaan tua dari Timur yang berkata: “Tidak semua yang berjalan pelan adalah yang kalah. Sebab mereka justru lebih banyak melihat, lebih banyak merasa.”
SARASVATI mengajak kita untuk tidak selalu tergoda menjadi yang tercepat. Dunia ini bukan lomba lari. Ia lebih seperti ziarah panjang, tempat kita belajar tabah, belajar tertawa, dan belajar menerima bahwa hidup bisa penuh kejutan.
Pelan bukan berarti lemah. Justru seringkali, mereka yang pelan lebih kuat, karena mampu mengarungi dalam tanpa terombang-ambing. Dalam keheningan, kita belajar banyak hal: tentang diri sendiri, tentang harapan yang tak perlu berisik, dan tentang cinta yang tak melulu dinyatakan.
Kombinasi antara teh, bunga, dan rempah di SARASVATI bukan racikan biasa. Ia adalah simfoni kecil, lagu yang dimainkan dalam seduhan. Warnanya yang kecoklatan segar, aromanya yang manis-rempah, membawa pesan yang sederhana namun dalam: tenanglah, kamu tidak sendiri. Kamu tidak tertinggal. Kamu sedang dalam perjalanan.
Kehidupan bukan perkara sampai cepat, tapi bagaimana kita bisa hidup utuh, sadar, dan penuh rasa syukur. Seperti yang ditulis dalam bagian akhir narasi SARASVATI: “Senja merona setelah hujan reda. Penerimaan tentang ada dan ketiadaan. Hiduplah apa pun yang terjadi. Legawa.”
Bukankah itu pelajaran yang kita cari selama ini? Minum teh biasanya soal selera. Tapi SARASVATI menyelinap lebih dalam: ia membawa kita untuk merenung. Bahwa hidup, seperti teh, butuh waktu untuk larut. Tidak bisa diseduh dalam amarah atau tergesa.
Setiap musim kehidupan membawa rasa sendiri. Kadang manis, kadang getir. Tapi semua rasa itu sah. Seperti bahan dalam racikan SARASVATI yang beragam, kita pun perlu menerima diri dengan segala warna dan rasa.
Ketika jauh dari rumah, tubuh yang paling bisa mendekap adalah diri sendiri. Dan mungkin, secangkir teh hangat. Semoga SARASVATI selalu menjadi pengingat bahwa setiap langkah, betapa pun pelannya, tetap berarti. Semoga bermanfaat. (*)
———-
*) Imam Khanafi, salah satu penampil dalam acara SARASVATI, tinggal di Kudus.
Imam Khanafi
salah satu penampil dalam acara SARASVATI, tinggal di Kudus.
Foto-foto oleh Omen
One thought on “SARASVATI: Pelan dan Hangat Setangkup Seduhan”
Esai yang memberi napas panjang. Matur nuwun sanget 🙂
Esai yang memberi napas panjang. Matur nuwun sanget 🙂