Tak Retak

Tak Retak

Dalam pengantar buku ini, Arswendo Atmowiloto menulis, “Saya tidak begitu suka puisi. Dan sebaliknya puisi juga kurang menyukai saya.” Selengkapnya saya tuliskan kembali di bawah ini:

Saya tak begitu suka puisi. Dan sebaliknya puisi juga kurang menyukai saya.

Buktinya saya sudah menerbitkan seratusan lebih judul buku prosa, dan hanya satu judul buku kumpulan puisi. Itu pun tipis dan terkesan dipaksakan. Padahal di awal karier menjadi penulis saya beberapa kali menulis puisi, dan satu buah pernah dimuat di majalah Basis, Yogya. Majalah seni yang keren di tahun 70an. Dan baru 20 tahun kemudian saya menulis puisi lagi, ketika saya berada dalam penjara. Dan 20 tahun setelah itu pun, kini, tidak juga menulis puisi.

Maka saya berkesimpulan bahwa puisi sebagai karya mempunyai hubungan personal yang lengket dengan penyairnya. Situasi atau suasana tertentu, kondisi yang lebih khusus lagi yang membuat proses kreatif yang melahirkan puisi. Dan bukan bentuk lain seperti cerita pendek, novel, naskah drama, atau bahkan lirik lagu. Asa Jatmiko sangat mungkin sekali juga begitu. Ia aktif menulis di berbagai media, juga menyutradarai beberapa pentas sampai keliling, namun juga masih bisa menulis puisi yang dikumpulkan dalam Tak Retak, dengan jumlah puisi yang banyak. Sebagian beriak, sebagian bagai ombak, sebagian lagi berteriak, dan satu dua betul-betul menghenyak. Saya menyebutkan ombak, riak, karena di awal-awal puisinya, Asa senang menggunakan idiom ombak, samudera, laut. Dalam Berlayar, tertuliskan antara lain: di perjumpaan kita/aku menemukan samudra/dalam sepasang mripatmu/yang berkacakaca/yang jernih telaga. Pada bait lain dalam puisi yang sama juga diulang lagi idiom itu: aku menemukan samudera/melayarkan rindu/tinggalkan tepi dengan segera. Demikian juga idiom yang terkait dengan laut seperti : dengan camar seribu cerita/nyanyi paus menempuh jauh.

Penggunaan idiom laut atau mata bisa segera terasakan makna atau yang isyaratkan. Namun kadang juga idiom yang dipergunakan bukan hanya satu dua, melainkan beberapa yang memerlukan tafsir misalnya. Misalnya pada Burung Hitam. Saya kutipkan di sini: burung hitam apakah kamu cuma bayang/bicara dalam gelap berkicau dalam temaram/jika kau nyata/ ayo kita makan bersama dan bersulang anggur tua/biar kita bicara dalam terang. Burung hitam adakah kamu cuma bayang/tak peduli jinak atau liar sergap aku di bawah nyala lampu/aku kirim jua sepotong kue dan salam hangat. /Burung hitam jubah malam tangan gelap/mata cekung mencorong dalam igauan/apa yang kau cari?/bukankah segaris nama baru perlu dirayakan/bersulanglah untuk sebuah pertarungan.

Siapa atau sebenarnya “Burung Hitam” ini? Burung yang digambarkan antara bayang atau nyata, yang diajak bersulang dengan anggur tua (ini juga idiom baru yang disodorkan), atau disodori kue dan salam, yang tangan gelap mata cekung, dan kesemuanya itu memaksa untuk dirumuskan dalam kaitan pada baris terakhir: segaris nama baru yang perlu dirayakan, dan ajakan: bersulanglah untuk sebuah pertarungan.

Saya gagal memahami apa atau siapa atau kenapa dinamai “Burung Malam”. Seperti juga judul Laron Pecundang, atau penggunaan titik di setiap lirik pada judul Kerkof. Padahal pada lirik yang lainnya titik itu tak diperlukan. Atau malah menghentikan atmosfer yang muncul, yang selalu menyertai saat kita membawa puisi.

Gaya yang ini mengalir, cair, menyapa, bersua dalam pilihan kata sederhana dan memberi ruang makna seperti pada judul-judul Senja Mata, Daun Telinga yang Perawan, Sayap Malaikat dan Jalan Menara. Bahkan dengan idiom-idiom yang dikenal dalam ruang kristiani, seperti pada seri Pendakian Cinta serta Santa Penabur Mimpi. Di sini Asa berada dalam keadaan bertutur, berefleksi, memainkan irama sekaligus menguasai pilihan bahasa. Ini yang menjadikan kumpulan puisi ini memiliki ruang dalam mosaik puisi Indonesia. Dalam samudra perpusian negeri ini, Tak Retak adalah salah satu perahu dan melayari.

Tapi sesungguhnya ada jenis yang benar mengenyak, mendongakkan perhatian. Dari yang pendek dan lugas seperti 21.23 WIB yang hanya tiga baris: tapi lihatlah/mawar bertunas di atas remah bara/tegaktegar meski ranjang beranjak tua. Pada menjelang tengah malam itu kontradiksi antara “mawar bertunas” dan “ranjang beranjak tua” menemukan perpaduan yang menggetarkan.

Ini jenis penulisan yang agak jarang dipergunakan Asa Jatmiko sebagai pendekatan pejabaran puisi-puisinya. Namun menurut saya justru di sini kekuatannya atas penguasaan bahasa, pilihan yang cerdas dalam mempertajam gagasan, menabrakkan ide dalam penyampaiannya. Saya salin puisi berjudul Tapal Batas, yang imajinatif lepas dari batas idiom yang ada.

Jika jalan/patah sudah/ke mana kaki 
Jika malam/pecah sudah/ke mana hari
Jika angan/tumbuh kembali/ke mana angin
Jika cinta/pulang kembali/ke mana hati
Jika engkau/ tanyakan aku/di mana dirimu
Jika engkau/tanyakan engkau/di situlah
dirimu/tak pergi/tak pulang/di sini/membaca
bintang/mencatat sungai/kita akan menuai/di
ladang sajak.

Betapa elok pilihan kata yang digunakan dengan anggun, antara “angan” dengan “angin”, antara “patah jalan” dengan “ke mana kaki”, sampai dengan pertanyaan dan jawaban yang juga pertanyaan “jika engkau tanyakan aku di mana dirimu”. Semua itu terangkum melewati batas bintang, juga sungai, dan kesemuanya itu berada dalam ladang yang bernama sajak. Melalui Tapal Batas, Asa Jatmiko justru membebaskan diri dari pendekatan,dari batasan yang biasa dipergunakan, dan menempatkan posisi kepenyairannya secara utuh, Tak Retak sejenak pun.

Jika itu Asa Jatmiko, itulah dia sesungguhnya.***

Penulis,
Arswendo Atmowiloto