Esai: Ranang Aji SP
Bebeberapa tahun lalu, sebuah artikel di Kedaulatan Rakyat yang ditulis Halim HD atau Sosiawan Leak (saya lupa) —menyebut teater Jogja sudah mati. Pernyataan itu, tentu bukan sembarangan. Karena pada faktanya memang tak banyak lagi aktivitas teater di Taman Budaya atau tempat lain di Indonesia selama beberapa waktu yang lama. Dan teater Jogja —atau seluruh Indonesia, pada dasarnya hidup karena adanya teater kampus. Tapi melihat perkembangan dalam satu atau dua dekade ini, teater kampus pun tak lagi begitu aktif. Di UIN sendiri ada teater legendaris seperti Teater ESKA dan Teater Nuun, misanya. Tetapi apakah mereka masih aktif, saya juga tak paham. Namun, jika memang benar, bahwa teater Jogja (terutama kampus, mati, atau pingsan) tentu saja itu memperihatinkan.
Pertanyaannya, mengapa teater menjadi tak lagi menarik bagi anak muda?
Jawabannya, saya kira karena banyak orang salah paham atau salah memahami entitas teater itu sendiri. Atau mereka memahami secara kaku dan satu sisi —bahwa teater hanya sebuah kegiatan panggung yang tak lagi punya masa depan, karena tak lagi ada panggung dan penonton. Teater sering dianggap hanya sebagai bentuk hiburan-ekspresi dramatis yang terbatas pada panggung, lampu sorot, dan naskah, serta dipenuhi orang-orang eksentrik. Pandangan itu tentu saja benar sebagai fakta. Tetapi, satu hal yang luput dari mata mereka adalah apa yang tak terlihat dari yang terlihat dari sisi lain teater itu sendiri.
Mereka, kita —kadang abai, bahwa di bawah permukaan dari gemerlapnya panggung pertunjukan yang secara paradoks sepi — terdapat alat yang ampuh untuk pengembangan pribadi, penguasaan komunikasi, kecerdasan emosional, dan interaksi sosial. Itulah mengapa kita butuh membuka mata dan memandang 180′ agar bisa melihat manfaatnya, selain kebutuhan panggung. Di sini, setiap kita —yang bersedia berlatih teater —akan menyadari pentingnya belajar teater yang melampaui batas-batas panggung, yang ternyata menawarkan manfaat mendalam yang memengaruhi kehidupan sehari-hari, lingkungan profesional, dan pertumbuhan pribadi. Melalui pelatihan teater, individu memperoleh perpaduan unik antara kesadaran diri, empati, kontrol vokal, dan kepercayaan diri-keterampilan yang tak ternilai harganya dalam konteks dunia nyata yang tak terhitung jumlahnya.
Mari kita lihat apa manfaat berlatih teater:
1. Meningkatkan Keterampilan Komunikasi dan Berbicara di Depan Umum
Salah satu manfaat paling langsung dari pelatihan teater di luar kebutuhan panggung adalah pengembangan keterampilan komunikasi. Ketika berlatih teater, kita akan belajar mengartikulasikan pikiran dengan jelas, memproyeksikan suara seseorang, dan mempertahankan keterlibatan penonton adalah landasan akting yang diterjemahkan dengan mulus ketika harus berbicara di depan umum.
Saya punya contoh menarik dari dampak seseorang ikut dalam latihan teater. Mungkin kita masih ingat film pemenang Oscar The King’s Speech (2010), yang menceritakan kisah nyata Raja George VI dari Inggris, yang terlahir gagap. Ketika dia harus menggantikan kakaknya menjadi raja Inggris dan harus berpidato, masalah itu menjadi terasa berat. Bicaranya yang gagap, membuatnya tak percaya diri. Namun, setelah bertemu seorang aktor (Lionel Logue) semua berubah. Melalui pelatihan vokal yang ketat yang didasarkan pada teknik teater-latihan pernapasan, latihan artikulasi, dan ritme yang intens, dia berhasil mengatasi gangguan bicaranya. Pendekatan teater membantunya menyampaikan salah satu pidato masa perang yang paling penting dalam sejarah Inggris. Perjalanannya merupakan bukti bagaimana praktik teater dapat memberdayakan individu untuk berbicara secara efektif dalam situasi yang penuh tekanan.
2. Membangun Rasa Percaya Diri dan Ketahanan Emosional
Teater memaksa individu untuk menghadapi kerentanan. Para aktor harus tampil di hadapan orang lain, dan sering kali memperlihatkan emosi yang intim. Keterlibatan yang berulang-ulang dengan kecemasan akan penampilan dan ekspresi emosional ini memperkuat kepercayaan diri dan ketahanan mental.
Bagi pelajar, profesional, atau pencari kerja, pelatihan teater dapat secara signifikan meningkatkan kepercayaan diri selama wawancara, rapat, dan presentasi. Sebagai contoh, banyak program pelatihan perusahaan yang kini menggabungkan latihan teater improvisasi untuk membangun kepercayaan diri dan spontanitas. Perusahaan teknologi seperti Google dan IDEO telah mengadopsi lokakarya improvisasi untuk mendorong karyawannya agar berani menghadapi ketidakpastian dan berpikir kreatif di bawah tekanan.
3. Menumbuhkan Empati dan Kecerdasan Interpersonal
Berlatih teater atau berlatih akting, pada dasarnya dituntut untuk ‘mejadi’ seperti ajaran Stanislaski. Untuk ‘menjadi’ orang lain, kita harus mampu menghayati peran. Berakting artinya membutuhkan langkah untuk masuk ke dalam posisi orang lain—memahami motivasi, sejarah, dan lanskap emosional. Praktik ini memupuk empati, keterampilan penting untuk menavigasi hubungan antarmanusia yang kompleks dalam lingkup pribadi dan profesional.
Seorang terapis, misalnya, atau pekerja sosial, dan pendidik mendapat manfaat dari pelatihan teater dalam latihan bermain peran, yang memungkinkan mereka untuk mensimulasikan dan lebih memahami pengalaman orang-orang yang bekerja dengan mereka. The Theatre of the Oppressed (TO) atau Teater Kaum Tertindas milik Augusto Boal, misalnya, digunakan secara luas dalam kerja komunitas untuk memberdayakan suara-suara yang terpinggirkan dan mendorong dialog yang digerakkan oleh empati di antara berbagai kelompok masyarakat.
4. Menguasai Bahasa Tubuh dan Komunikasi Nonverbal
Teater menekankan kekuatan gestur atau bahasa tubuh-isyarat, postur tubuh, dan gerakan, semuanya menyampaikan makna yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dalam wawancara kerja, peran kepemimpinan, dan interaksi sehari-hari, isyarat-isyarat nonverbal ini sering kali membentuk kesan dan hasil lebih dari sekadar konten verbal.
Politisi, pemimpin bisnis, dan pendidik sering menggunakan pelatihan tubuh teatrikal untuk menyempurnakan kehadiran mereka. Sebagai contoh, para pembicara TED Talk (didirikan Richard Saul Wurman dan Harry Marks pada Februari 1984) sering bekerja sama dengan pelatih teater untuk memastikan bahwa fisik mereka selaras dengan pesan mereka, sehingga memperkuat kepercayaan dan kredibilitas dengan para pendengar mereka.
5. Mendorong Kreativitas dan Kemampuan Beradaptasi
Teater adalah taman bermain kreatif yang menumbuhkan imajinasi dan kemampuan beradaptasi. Hal ini sangat penting dalam bidang-bidang yang dinamis seperti pendidikan, kewirausahaan, dan pemasaran. Individu yang terlatih dalam teater sering kali lebih siap untuk berpikir secara mandiri, menangani tantangan yang tak terduga, dan berinovasi di bawah tekanan.
Sekolah-sekolah yang mengintegrasikan teater ke dalam kurikulum mereka, seperti model Waldorf dan Montessori (Pendidikan Montessori dan Pendidikan Waldorf), melaporkan tingkat keterlibatan siswa yang lebih tinggi dan kemampuan mereka memecahkan masalah. Demikian pula, kursus pengembangan kepemimpinan yang menggunakan skenario berbasis drama membantu para peserta untuk mempraktikkan respons adaptif terhadap situasi yang kompleks dan terus berkembang.
Maka
Demikianlah, sisi lain dari berteater yang sering tak terlihat. Dampak pendidikan teater jauh melampaui lengkungan panggung proscenium. Baik melalui proyeksi suara, keaslian emosional, interaksi empatik, atau postur tubuh yang percaya diri, keterampilan yang diasah di kelas akting memperkaya setiap sudut kehidupan di luar panggung. Dari seorang raja yang mengatasi kegagapan hingga pemimpin perusahaan yang menavigasi dinamika ruang rapat, manfaat pelatihan teater bersifat universal dan abadi. Di dunia yang semakin terhubung dan komunikatif, belajar teater bukan hanya upaya artistik tetapi juga keterampilan hidup yang vital. Jadi, mari kita perbaiki cara melihat teater, agar manfaatnya tidak ikut mati. Dengan demikian, mungkin saja para orang tua dan generasi selanjutnya akan lebih paham dan tertarik mengambil manfaatnya.
——————–

Ranang Aji SP
Sastrawan, tinggal di Magelang, Jawa Tengah.