Kapal ke-240

Monolog: Muhammad Zaini Arsyad

Sinopsis:
Seorang ibu yang hidup sendiri dalam rumah yang hampir roboh. Umur yang sudah tak muda lagi mengharuskan ia berjuang lebih keras dalam kesehariannya. Hidup sebatang kara. Ia ditinggal pergi suami dan anak semata wayangnya pergi merantau ke negeri seberang. Hari-harinya diselimuti kerinduan dan kegundahan terhadap nasib anaknya. Doa selalu terpanjatkan setiap waktu. Seringkali ia membayangkan anaknya pulang dengan membawa harapan yang dulu dijanjikan padanya.

Panggung tampak dengan suasana kesedihan. Suara deburan ombak dan angin pantai menemani. Cahaya kilat terlihat menyinari panggung beserta gemuruhnya. Di tengah terdapat meja dan dua kursi kecil dari kayu yang hampir lapuk. Di atas meja terlihat mainan tradisional daerah dan teko. Cahaya remang masuk secara perlahan tepat menyorot meja. Suara tangisan wanita paruh baya mulai menyambut dengan perlahan hingga semakin keras dan menghilang.

Emak : Mohon maaf semua, saya tidak sadar kalau tangisan saya begitu keras. Saya terlalu terbawa suasana, ini karena….sudahlah.
(MENGHELA NAFAS PANJANG DAN MULAI MENENANGKAN DIRI) Nama saya Rusminah, seorang janda tua yang hidup sebatang kara. Hampir dua puluh tahun lamanya saya tinggal sendiri. Ya, di rumah ini. Suamiku? Saya tak tahu dimana ia berada, apakah masih hidup atau sudah mati. Bahkan saya hampir lupa kalau pernah bersuami. Ia sudah sangat lama meninggalkan kami. Terakhir bertemu ketika Mali masih bayi. Katanya dia akan kembali saat Mali sudah bisa berdiri, tapi.. sudahlah saya tidak ingin mengingat masa-masa itu, terlalu sakit untuk diceritakan.
(MELIHAT MAINAN DAN MENGAMBILNYA) Sebenarnya saya tak apa jika dia tidak pulang. Ada dan tidaknya dia, bagi saya tak begitu penting. Berbeda dengan Mali, anak semata wayang saya. Mali membuat hidup saya menjadi ada. Sehari saja tak bertemu hati rasanya gundah tak terkira.
(MENCOBA MEMAINKAN MAINAN) Ini mainan kesukaan Mali. Ia selalu memainkannya di depan rumah kadang juga di tanah lapang bersama teman-temannya sampai tak ingat waktu. Mali sangat jago memainkannya, sering kali ia menang di pertandingan antar kampung. (mempraktekkan mali sedang bermain)

Tak berselang lama terdengar suara awak kapal yang sebentar lagi akan bersandar. Akhirnya emak bergegas pergi keluar menuju dermaga. Beberapa saat kemudian Rusminah kembali ke ruangan dengan rasa yakin.

Saya yakin di kapal berikutnya pasti ada. Ini sudah kapal yang ke-239. Kemungkinan kapal selanjutnya, tepat kapal yang ke-240. tidak apa aku menunggu lagi selama satu bulan. Hitung-hitung buat persiapan penyambutan. Ya, saya harus siapkan sambutan dengan meriah. (mulai mondar-mandir memikirkan sesuatu) Kenapa harus sekarang? Kan kapal selanjutnya masih satu bulan lagi. Mungkin nanti kalau kurang 3 hari saja aku persiapkan. Lebih baik saya istirahat saja, letih sekali badan ini. Terlalu sedih sangat menguras banyak tenaga.

Rusminah mulai menguap dan bersiap untuk tidur. Hening terjadi beberapa saat. Suara angin dan deru ombak pantai mengisi keheningan. Tiba tiba Rusminah terbangun seperti habis mimpi buruk, Rusminah terengah-engah.

Ya Tuhan, pertanda apa ini? Kenapa ada batu, badai dan janur kelapa? Pesan apa ini? Berilah hamba-Mu petunjuk.
(MENGAMBIL TEKO DAN MINUM) Bulan depan genap 20 tahun saya menunggu. Jika kapal selanjutnya tidak ada juga, saya sudah pasrah, Tuhan. Saya tak tahu lagi harus melakukan apa. Karena hanya dia, Tuhan, Mali anak semata wayang saya, tidak ada yang lain. 19 tahun yang lalu Mali meminta izin merantau. Sebenarnya tidak saya berikan. Dia pergi karena dia masih umur 10 tahun, tak tega saya melihatnya. Tapi, dia memaksa dan berjanji akan mengubah nasib keluarga. Saya masih ingat betul ucapannya, “Mak, izinkanlah anakmu ini merantau ke negeri seberang. Aku mau mengubah nasib kita. Aku bosan hidup seperti ini yang tak punya apa apa. Aku ingin bekerja seperti orang orang dewasa, tolong izinkan anakmu ini, mak. Akan kukirim surat untuk berkabar dan uang sebulan sekali. Nanti bisa kutitipkan kapal yang berlayar ke sini. Aku janji mak!”
Janji itu yang masih saya pegang hingga sekarang. Janji itu pula yang membuat hati saya tak tega tidak mengizinkan Mali pergi. Sekarang saya merasa benar-benar kehilangan. Setelah kepergian Mali, berhari-hari rasanya hati tak tenang, makan tak enak, tidur tak nyenyak, kadang sampai terbayang-bayang Mali pulang.

Cahaya berubah menjadi dimensi lain. Rusminah terkejut melihat Mali yang di depan pintu. Bergegas Rusminah menyambut Mali dengan gembira. Rusminah senang bukan main. Hampir semua yang Rusminah punya dikeluarkan untuk menyambut Mali.

Mali? Benarkah itu kamu, Nak? Ya Tuhan, sejak kapan kau berdiri di situ nak? Ayo masuk nak, amak sudah lama menantikan kedatanganmu. Duduklah, kursi itu amak buat khusus untukmu. Bagaimana kabarmu, Nak? Rindu sekali amak denganmu. Berapa lama kau berlayar dari sebrang? 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan? Lama betul. Tapi tak apa yang penting kau selamat sampai rumah. Amak sangat senang kau kembali ke rumah ini. Bagaimana hidupmu di sana, Nak? Pasti jauh lebih baik. Sekarang kau sudah dewasa dan sangat matang. Amak lihat dari penampilanmu sudah jauh berbeda. Kau sudah seperti saudagar. Pasti banyak orang yang menghormatimu, apalagi perempuan. Pasti sudah banyak kenalanmu di seberang. Kapan kau membawanya ke sini, Nak? Amak ingin tahu calon istrimu.
Kenapa kau banyak diam dan tak menjawab pertanyaan amak, Nak? Astaga, amak lupa kalau kau habis berlayar jauh, kau pasti lapar. Sebentar, amak ambilkan makan minum kesukaanmu. Tunggu disini sebentar.

Rusminah menuju ke dapur mengambilkan makan dan minuman untuk Mali, suara alat alat dapur mulai terdengar menggambarkan kesibukan di dapur. Beranjak dari dapur, Rusminah kembali dengan membawa makanan dan minuman dengan gembira. Namun ketika sampai di meja tengah Mali sudah tidak berada di sana.

Kau pasti rindu dengan masakan amak, ini makanan kesukaanmu. Amak memang sengaja masak khusus untukmu. Kau ingat ini, Mali? Air kelapa muda yang dicampur dengan pala dan madu. Kau pasti lama tak minum ini. (MELIHAT SEKELILING) Mali? Mali.. Mali? (MENCARI) Kau sedang di kamar, Nak? Mali? Mali…

Terdengar suara kapal bersandar di dermaga bersamaan dengar riuhnya suara awak kapal dan warga. Dimensi menghilang dan kembali lagi dengan keadaan awal. Rusminah yang mendengar suara tersebut lantas terheran-heran dan bersiap menuju dermaga.

Suara kapal bersandar? Kapal 240? Tidak mungkin. Paling itu kapal-kapal pencari ikan biasa. Masih 1 bulan lagi kapal itu sandar di dermaga ini. Aku tidak yakin itu kapal yang kucari.
(INTENSITAS SUARA AWAK KAPAL DAN WARGA MULAI MENGERAS, YANG MENANDAKAN ITU KAPAL 240) Tidak mungkin dalam satu hari ada 2 kapal besar yang bersandar di dermaga ini. Biasanya paling cepat dalam 2 minggu sekali, itu pun kalau ada panen raya kelapa di daerah sini. Sedang ini tidak musim panen, jadinya tidak mungkin itu kapal yang kutunggu.
(SUARA AWAK KAPAL DAN WARGA SEMAKIN MENGERAS DISUSUL DENGAN SUARA KLAKSON KAPAL) Suaranya? Ini bukan kapal kecil, ini suara kapal besar, tidak ada suara kapal nelayan seperti itu. Tidak salah lagi itu kapal 240. Mali anakku pasti disana. (BERGEGAS KELUAR MENUJU DERMAGA)

Rusminah sekali lagi keluar menuju dermaga untuk memastikan itu kapal 240 yang dinantikannya. Sesampainya di dermaga, benar apa yang diimpikannya. Di kapal 240 Mali berada dalam kapal tersebut dengan penampilan yang berbeda hingga Rusminah harus beberapa kali mengamati secara jeli bahwa benar itu adalah Mali, anak semata wayangnya.

Setelah Rusminah memastikan bahwa orang yang berpenampilan layaknya saudagar itu adalah Mali, maka tidak menunggu lama Rusminah langsung mendatangi hingga memeluknya. Namun balasan yang diharapkan Rusminah tak seperti apa yang diimpikan. Rusminah dibuang oleh Mali hingga tersungkur. Mali tak mau mengakui Rusminah sebagai ibu kandungnya di depan istri dan awak kapal. Hingga menendang dan meludahi Rusminah. Akhirnya Rusminah pulang ke rumah dengan wajah yang penuh pasir dan ludah, Ia menangis dengan rasa kekecewaan dan sakit hati yang teramat berat.

Balasan seperti inikah yang amak dapatkan setelah menantimu pulang selama 20 tahun, Nak? Kau lempar dan kau ludahi muka amak, seakan kau tidak pernah lahir dari rahim ini. Begitukah hasil yang kau dapat selama pergi merantau hingga kau anggap amak sudah tidak hidup lagi. Istri seperti itukah yang kau banggakan sampai berani berucap amak ini perempuan jelek dan menjijikan. Baju sebagus itukah yang membuatmu melepas rangkulan amak. Harta sebanyak itukah yang membuatmu berani mengatakan amakmu ini nenek tua yang gila dan tidak waras.

Ya Tuhan, aku sangat yakin kalau dia anak kandungku yang saya besarkan dengan cinta kasih. Kalau benar dia bukan Mali anak saya, maka aku maafkan perbuatannya. Tapi kalau kalau memang dia benar benar anak saya Mali. Saya mohon keadilan-Mu, ya Tuhan.

Rusminah menangis sejadi jadinya. Kilat menyambar dimana-mana. Suara deru ombak semakin besar suasana kian mencekam. Hingga terdengar satu suara gemuruh petir yang sangat nyaring dan kilatan cahaya. Tak lama kemudian terdengar suara laki-laki dengan terbata-bata.

Amak.

-TAMAT-

————————-

Muhammad Zaini Arsyad

Ia berkenalan dan mulai aktif teater ketika berstudi di kampus pahlawan UIN Antasari Banjarmasin, dengan fokus jurusan Manajemen pendidikan Islam tahun 2019, lalu bergabung di UKM Sanggar Bahana Antasari. Pernah mengemban sebagai ketua divisi teater dan menyutradarai beberapa garapan dan festival. Menjadi sutradara dan penulis lakon di festival teater modern dan menjadi penyaji terbaik 3 se-Kalimantan selatan. Beberapa karya lakonnya antara lain; Au (2023) Elegi Payung Kusam (2023), monolog Kapal Ke-240 (2025)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *