
Sandilara Mengerang di Kudus
Oleh: Asa Jatmiko
9/13/2025


Iniibubudi, Kudus; Minggu (21/9) Teater Sandilara tampil di RKBBR memainkan lakon “Erang” karya dan sutradara Idham Ardi N. Banyak teman-teman aktivis teater dan pandemen teater menyaksikan pertunjukan ini, bahkan nampak hadir juga teman-teman dari Pemalang, Batang, Semarang, Jepara, Pati, Demak. Para aktor bermain energik, dan beberapa memainkan tidak hanya satu peran, kecuali pemeran Mijah dan Tarjo, suaminya.
Teror atas situasi ekonomi yang sulit, telah disusun secara terstruktur, masif dan sistematik oleh penguasa. Dengan dalih “Darurat Perang”, mereka menciptakan situasi dan kondisi seturut kepentingan penguasa. Tak pelak, orang-orang kecil termasuk Mijah dan Tarjo. Mereka bergelut dengan kehidupannya, sementara itu pula bergelut mengatasi keadaan.
Keyakinan, cinta yang utuh, pemberian diri kepada orang-orang tercinta untuk tetap bertahan hidup dan berjuang, melahirkan janin yang akan menjelma air bah dan pembalasan dendam atas hak-hak dan suara-suara yang dibungkam, atas penindasan, kesewenangan menuju kebebasan di dalam dunia baru.
Sebuah lakon yang menumbuhkan kecemasan dan ketakutan, rimbun dan menghebat, ketika orang-orang waras menatap masa depan. Selamat.
Seusai pertunjukan para praktisi dan pegiat teater berdialog dengan Teater Sandilara. Menjadi pemantik diskusi, yakni: Zaky Paijan, Siwi Agustina dan Asa Jatmiko, bersama Idham Ardi N.
***
Naskah Erang dipilih Teater Sandilara sebagai respons atas gejolak sosial dan personal mereka pada tahun yang kelabu ini. Naskah ini menceritakan tokoh Mijah dan Tarjo; pasangan suami istri yang sedang menunggu hari kelahiran anak pertamanya. Namun, sialnya, mereka terancam tak dapat melihat anaknya tumbuh dengan baik karena kondisi negara yang tengah dalam situasi “darurat perang”. Sialnya lagi, negara telah resmi melarang orang miskin, seperti Mijah dan Tarjo, untuk memiliki anak. Negara berpendapat bahwa angka kemiskinan yang tinggi hanya akan meningkatkan beban-beban negara.
Dari gambaran naskah ini, kita tahu bahwa seperti biasa orang miskin dianggap sebagai biang dari segala masalah negara. Di sisi lain, kondisi miskin sebetulnya bukanlah sosok “sebab”, miskin adalah “akibat” dari ketimpangan yang terus dilanggengkan. Namun, keadaan semacam itu tak membuat lutut Mijah dan Tarjo gemetar, mereka tetap ingin melahirkan anaknya dengan cara yang baik. Bahwa tugas manusia adalah menjalankan amanah untuk bertahan hidup.
Untuk mengartikulasikan naskah ini, sutradara memilih bentuk pementasan kolosal disertai musikal pada beberapa bagian. Ini menjadi daya tawar baru yang diusahakan Teater Sandilara untuk merespons jamaknya isu bangsa kita akhir-akhir ini. Untuk mendukung bentuk kolosal tersebut, Sandilara mengerahkan banyak aktor demi mengartikulasikan naskah Erang. Adalah Mijah yang diperankan oleh Elsa Febiyana, sedangkan Sigit Pratama akan memerankan tokoh Tarjo. Deretan nama pemain lain yang akan menyemarakkan pentas ini adalah Aksa Amreta, Awan, Dea Cantika, Dyah Ayu Larasati, Evia Liana, Fitri Handayani, Hasan Al Bana, Mi. Naim, M. Irfanudin, dan Setia Bela Adi. Kemudian, untuk mendukung suasana, barisan penata musiknya digawangi oleh Anggun Losyita, Dwian Sasmaka, dan Irfan Adi N. Suasana berupa penataan artistik dan cahaya dipercayakan kepada Fuad Prayoga dan Abram Atmaja. Elemen-elemen spektakel yang mereka suguhkan akan membersamai jalan Mijah dan Tarjo menuju akhir cerita. Bagaimanapun, Mijah dan Tarjo harus mengakhiri kisahnya dengan usaha sebaik-baiknya.
Lalu bagaimana langkah Mijah dan Tarjo? Apakah mereka menemukan solusi dari situasi yang serba mengekang ini? Apakah sutradara berbaik hati juga akan menawarkan solusi? Atau jangan-jangan solusi itu justru datang dari pihak penonton? Oleh karenanya, bagi penonton yang berkenan membantu Mijah dan Tarjo untuk menemukan solusi, Teater Sandilara masih membuka kuota tiket untuk kawan-kawan.
Ada beberapa hal yang membuat kita sepakat bahwa Mijah dan Tarjo adalah kita. Pertama, Mijah dan Tarjo berada pada latar waktu, tempat, dan suasana yang mencekam. Situasi mencekam itu serupa dengan kita yang di antarai tingginya angka kekerasan aparat. Kedua, sesuai dengan judul naskahnya, Erang, Mijah dan Tarjo pada beberapa kali terpaksa mengerang untuk meluapkan kesakitan-kesakitan mereka. Erangan ini selayaknya kita yang harus selalu berisik terkait isu-isu negara demi memberi tempat pada kesakitan kita sekaligus sebagai sarana agar telinga penguasa bising. Ketiga, kemiripan Mijah dan Tarjo dengan kita terletak pada pilihan mereka untuk tetap bertahan dan berjalan walau situasi di depan tak pernah menjanjikan. Menimbang situasi yang demikian, kita dapat meyakini kutipan dari lagu Efek Rumah Kaca, “Dan dalam rentetan kekalahan bertahanlah sedikit lebih lama,” (ERK feat. Morgue Vanguard dalam lagu “Bersemi Sekebun”).(*/aj)
