Cerpen: Fery Yanni
“Tidak mungkin! Ini semua tidak mungkin,” Mario, anak tertua Nyonya Melinda berteriak-teriak di hadapan notaris dan pengacara, adik-adiknya dan juga para saksi. Dia tampak berang dan tidak percaya dengan apa yang baru saja dibacakan oleh pengacara Nyonya Melinda.
“Surat itu pasti palsu. Siapa yang sudah memalsukan surat wasiat itu?” Hendri, anak kedua Nyonya Melinda ikut bersuara. Dia pun tak percaya dengan apa yang sudah didengarnya.
Anak-anak Nyonya Melinda yang berjumlah lima orang, tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan, berteriak tak percaya. Hanya Si Bungsu, Melani, yang tetap duduk tenang.
“Kamu!” Mario menunjuk muka Melani dengan tatapan tajam. “Pasti kamu dalang dari semua ini. Pasti kamu yang sudah mengatur supaya kita semua tidak mendapat warisan apa pun dari mami.”
Diamnya Melani ternyata mengundang kecurigaan kakak-kakaknya.
“Kamu, Melani? Tak kusangka kamu bermuka dua. Kamu mau menguasai semua warisan mami?” Miriam, kakak perempuan satu-satunya, ikut angkat bicara. Dan semua mulai menghujat adik dungsu mereka, menganggap dia lah dalang dari pembuatan surat wasiat itu.
Nyonya Melinda, janda yang telah lama ditinggal mati suaminya, memiliki lima orang anak. Semua sudah menikah dan hidup dengan pasangan masing-masing. Meski mereka masih tinggal satu kota, tapi mereka jarang dan hampir tidak pernah mengunjungi ibunya. hanya anak keempat, Miriam yang tinggal menemani Nyonya Melinda, meski tak banyak membantu pekerjaan Nyonya Melinda. Hanya sekedar menemani. Itu pun tak jarang terjadi bentrok antara Miriam dan Nyonya Melinda.
Belum genap seratus hari kematian Nyonya Melinda, namun anak-anaknya sudah meributkan tentang warisan. Ya, siapa yang tidak tergiur dengan harta peninggalan Nyonya Melinda. Janda kaya yang menguasai hampir semua bidang bisnis di kota itu. Selain memiliki beberapa swalayan, lahan pertanian dan peternakan, bahkan memiliki yayasan pendidikan juga. Semua adalah peninggalan suaminya yang telah meninggalkannya bertahun-tahun silam. Siapa pun yang mendengar kematian Nyonya Melinda tentu akan berpikir bahwa semua kekayaan Nyonya Melinda akan diwariskan pada anak-anaknya. Betapa beruntungnya mereka. Nantinya tinggal duduk manis ongkang-ongkang kaki, maka uang akan mengalir sendiri. Setidaknya satu atau dua swalayan bisa didapat oleh satu anak, belum lagi peternakan dan pertanian yang tak sedikit. Dan yayasan pendidikan yang menjadi incaran orang-orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, menjadi rebutan karena kualitasnya yang tak diragukan lagi.
Anak-anak Nyonya Melinda tentu sudah menghitung berapa banyak warisan yang akan mereka terima. Tak perlu lagi mereka bekerja, hanya duduk dan mendapatkan hasil, hidup enak dan mewah.
“Aku tidak tahu-menahu tentang surat wasiat itu,” ucap Melani dengan tatapan lurus.
“Tidak mungkin! Pasti kamu yang sudah mengatur ini semua supaya mami tidak membagikan hartanya pada anak-anaknya. Dengan surat wasiat yang tidak masuk akal ini, pasti kamu yang diuntungkan, kan? Semua tetap akan jatuh ke tanganmu, kan? Dasar licik!” Hendri bahkan sudah bersiap mengangkat tangannya hendak menampar Melani.
“Tanyakan saja pada pengacara yang sudah membantu mami membuat surat wasiat. Aku tidak tahu-menahu dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan surat wasiat mami,” jawab Melani kalem. Tak ada emosi sama sekali terpancar saat dia bicara. Namun siapa sangka, tenangnya dia justru semakin memancing emosi kakak-kakaknya.
“Tolong semua diam dulu!” suara pengacara menggelegar membuat semua yang ada di ruangan tak berani berucap lagi. “Surat ini sudah dibuat Nyonya Melinda saat beliau masih sehat. Beliau memang ingin mewakafkan tanahnya yang kosong untuk dibangun masjid. Sedangkan semua kekayaannya, swalayan, peternakan dan pertanian, semua dihibahkan kepada yayasan sosial untuk keperluan kemanusiaan,” lanjut pengacara menekankan kembali apa yang sudah tertulis di surat wasiat.
“Bulshit! Tidak masuk akal! Tidak mungkin mami membuat surat itu. Ini hanya skenario. Dan kamu, Melani! Bukankah kamu yang setiap hari menelpon mami? Untuk apa lagi kamu menelpon mami kalau bukan untuk mempengaruhinya? Kamu yang sok religius, sok berhati malaikat, dengan mudah mami akan percaya omonganmu. Dan kamu sudah memanfaatkan ini untuk kepentinganmu. Semua harta mami tetap akan jatuh ke tanganmu kan, walaupun tertulis semua akan dihibahkan ke yayasan sosial. Kamu sudah mengatur semuanya. Kamu memang licik, bermuka dua!” Rendra, yang dari tadi juga diam mulai ikut bersuara. Dia pun tidak terima dengan isi surat wasiat itu.
“Sudahlah, Kak. Kalau memang keputusan mami seperti itu, biarlah. Kita terima saja. Itu artinya mami juga memikirkan tabungan untuknya di sana. Perjalanan mami masih panjang, dan dengan menghibahkan dan mewakafkan semua harta peninggalannya, itu sama artinya mami mengumpulkan bekal untuk perjalanannya. Bukankah itu lebih baik daripada hartanya terhambur tidak jelas?” Melani mencoba memberikan pengertian pada kakak-kakaknya.
“Diam, kamu! Jangan sok memberi ceramah pada kami. Kamu pikir kamu sudah paling baik, hah! Apa yang kau tahu tentang mami? Kamu ini tidak tahu apa-apa tentang mami,” Mario kembali bengkit. Diangkatnya dagu adik bungsunya hingga mata Melani melotot. Lehernya serasa tercekik.
“Lepaskan dia, Tuan Mario!” teriak pengacara dibantu oleh notaris yang sedari tadi diam menyimak dan beberapa saksi berusaha menolong Melani.
“Jangan ikut campur, kalian!” seru Mario. Matanya melotot penuh kemarahan.
“Kami ikut campur karena ini masih di ranah tanggung jawab kami. Kami tidak ingin ada kekerasan dalam masalah ini,” pengacara itu berusaha bersikap tegas. Tatapan semua orang yang begitu tajam membuat nyali Mario sedikit menciut. Dilepaskannya Melani hingga wanita kecil itu sedikit terhempas di sofa.
Sebenarnya, ketika Nyonya Melinda masih hidup dan sehat, Nyonya Melinda pernah mengungkapkan pembagian hartanya untuk anak-anaknya. Pernah suatu ketika Nyonya Melinda mengumpulkan anak-anak dan menantunya kemudian menunjukkan pembagian hartanya. Semua mendapat harta sesuai dengan hak masing-masing. Semua sudah dibagi dengan adil menurut Nyonya Melinda. Keempat anaknya mendapatkan bagian masing-masing swalayan, peternakan dan pertanian, dan itu menjadi modal mereka. Mereka tinggal mengembangkannya.
“Melani, kamu sebagai anak bungsu, kamu tinggal di rumah ini bersama mami. Rumah ini akan menjadi bagianmu,” kata Nyonya Melinda. Ya, Si Bungsu, Melani, hanya diberi bagian rumah yang saat itu ditinggali Nyonya Melinda. Tak ada swalayan, tak ada peternakan, tak ada pertanian, yang menjadi bagian untuk Si Bungsu. Nyonya Melinda tahu, Si Bungsu anak yang selalu mengalah, tak banyak menuntut, selalu menerima apa pun keputusannya. Bahkan tak segan-segan dia rela menombokinya jika dia sedang membutuhkan. Si Bungsu sama sekali tak pernah menyinggung tentang harta yang akan diwariskannya. Nyonya Melinda tahu, Melani tidak akan pernah menuntut apa pun, tak akan protes kalupun dia tidak akan mendapat bagian apa-apa.
Lain Si Bungsu, lain pula kakak-kakaknya. Kalau Si Bungsu akan mengalah dan tak banyak menuntut, tapi kakak-kakaknya justru sudah banyak minta ini-itu, bahkan tak jarang mereka akan protes jika tak mendapat apa-apa dari Nyonya Melinda. Oleh sebab itu, supaya tidak terjadi keributan, maka Nyonya Melinda membagi semua hartanya menjadi empat untuk keempat anak-anaknya, sedangkan Si Bungsu cukup mendapatkan rumah yang saat ini dia tempati. Nyonya Melinda tidak khawatir Si Bungsu akan marah atau pun protes, apalagi suami Si Bungsu juga selalu nrima. Tak banyak menuntut, tak banyak bicara.
“Apa maksud mami dengan pembagian semacam ini? Mami masih hidup sudah mau bagi-bagi warisan? Lalu mengapa pembagiannya seperti ini?” Mario berteriak kala itu. Seperti biasa, emosi lah yang diutamakan oleh Mario tanpa mau mendengarkan penjelasan ibunya lebih lanjut.
“Kak, maksud mami, supaya kalian belajar untuk berbisnis, melanjutkan bisnis mami. Kalian tinggal mengelola, semua modal dari mami. Kalian kelola, kalian urus, nanti hasilnya untuk kalian juga,” Melani berusaha menengahi.
“Lalu mengapa pembagiannya seperti itu? Itu tidak adil!” Misya, istri Hendri angkat bicara. Menurutnya pembagian yang dilakukan Nyonya Melinda tidak memuaskan. Bagi dia, semua itu masih kurang. Bahkan kalau perlu semua harta ibu mertuanya hanya untuk suaminya.
“Kurang adil bagaimana, Kak? Kalian sudah dapat yang sama. Ya, kalau mau dikata kurang adil, memang sebenarnya kurang adil, karena Melani tidak mendapat bagian apa-apa. Dia tidak mendapatkan bagian seperti kalian,” Rendra, suami Melina, mau tidak mau ikut angkat bicara melihat kakak ipar istrinya sudah mulai ikut campur.
“Heh! Diam kamu! Kamu itu orang luar! Baru jadi menantu dua hari sudah mau minta ini itu. Dasar mata duitan! Kamu itu tidak punya hak apa-apa di sini. Kamu cuma orang luar, bukan siapa-siapa!” bentak Mario sambil menunjuk Rendra.
Dan keributan tak terelakkan lagi. Semua mulai menyalahkan Melani dan Rendra, yang memang baru saja menikah. Mereka menuduh Melani dan Rendra mempengaruhi ibu mereka karena ibu mereka tiba-tiba membicarakan pembagian harta setelah Melani dan Rendra menikah, meskipun Melani dan Rendra yang selama ini diajak diskusi Nyonya Melinda, ternyata tidak mendapat bagian apa-apa seperti kakak-kakaknya. Sejak saat itu, kakak-kakaknya mulai memusuhi Melani dan Rendra. Dan karena permusuhan yang sangat tajam, Melani dan Rendra akhirnya memutuskan menjauh dan keluar dari lingkaran itu.
“Aku tahu ini hanya akal-akalanmu saja supaya semua harta mami jatuh ke tanganmu, karena saat pembagian dulu kamu tidak mendapatkan apa-apa. Kalian ini menikah baru seumur jagung sudah mau menguasai harta mami. Dasar tidak tahu malu!” sentak Miriam tak kalah sengitnya.
“Kalian mau terus berdebat? Atau mau segera menyelesaikan semua ini? Ini adalah surat wasiat Nyonya Melinda, asli. Dan tidak ada sedikit pun campur tangan dari Nona Melani. Tak ada satu pun anak Nyonya Melinda yang terlibat dalam pembuatan surat wasiat ini. Dan surat wasiat ini dibuat saat Nyonya Melinda masih hidup, masih sehat dan dalam keadaan sadar tanpa tekanan dari siapa pun,” pengacara itu tak mau berlama-lama mendengarkan perdebatan antar anak-anak Nyonya Melinda.
“Kami hanya butuh tanda tangan kalian saja sebagai ahli waris, supaya semua wasiat Nyonya Melinda bisa segera dilaksanakan, mewakafkan tanah untuk masjid dan menghibahkan semua hartanya untuk yayasan sosial,” pengacara itu melanjutkan sembari mengeluarkan surat pernyataan yang harus ditanda-tangani oleh anak-anak Nyonya Melinda.
Tanpa banyak kata, Melani langsung mengambil pulpen yang tergeletak di meja dan menandatangani surat itu. Dia tampak tenang, tanpa ada rasa sesal maupun amarah. Justru dia merasa itu adalah keputusan yang terbaik.
“Gila, kamu! Kamu begitu saja menandatangani surat itu!” Mario yang sudah bagai kesetanan merangsek maju mencekik Melani yang tak siap untuk menghindar. Seketika suasana ricuh. Melani tak melawan. Dibiarkannya lehernya dicekik oleh Mario. Dia hanya tersenyum menatap mata yang sudah tersulut amarah itu.
“Kau mau mebunuhku, Kak?” tanya Melani dengan suara tersengal karena lehernya masih tercekik. “Demi harta kau tega berusaha menghilangkan nyawa adikmu sendiri?”
Mendengar suara Melani, tiba-tiba Mario mengendorkan cekikannya. Dia diliputi kebimbangan, namun kembali setan menghasutnya.
“Adik macam apa kau? Bermuka dua! Licik! Baiknya kau mati saja!” Mario kembali mengencangkan cekikannya.
Namun tiba-tiba….
Dorr!!!
Seketika Mario tumbang menimpa Melani. Darah segar mengalir ikut merembes membasahi baju Melani yang putih bersih. Melani mendongak tak percaya.
“Kak???” dan semua gelap.
————-

Fery Yanni
seorang penulis berbagai genre yang tinggal di Jatinom, Klaten. Lulusan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni-Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, yang hobi menulis dan memasak. Beberapa buku solo maupun antologinya telah banyak diterbitkan oleh penerbit mayor maupun komunitas-komunitas.