Buah dari Luka yang Disangkal

Esai: Aris Kurniawan

SEUSAI menonton film ‘Pengepungan di Bukit Duri’, yang beredar di bioskop sejak 17 April 2025, seorang kawan bertanya dengan nada menggugat, ’untuk apa mengangkat tema kerusuhan rasial antara etnik Tionghoa dan ‘pribumi’ di tengah kehidupan sehari-hari yang relatif damai antara etnis Tionghoa dan etnis mana pun di negeri ini?’ 

Kita bisa bertanya balik, betulkah damai? Mungkin di permukaan terlihat damai, namun damai yang begitu rapuh. Begitu ada persoalan sedikit saja kedamaian bisa seketika hancur. Penyebabnya bangsa ini menyimpan banyak luka, tapi alih-alih disembuhkan bangsa ini melupakan dan menyembunyikan luka tersebut sambil berharap luka akan sembuh dengan sendirinya. Padahal hanya dengan dilupakan luka tak akan sembuh, semakin disembunyikan luka justru akan bernanah dan membusuk sehingga berpotensi melahirkan bencana yang lebih besar esok lusa. 

Lebih parah lagi bangsa ini menyangkal bahwa kita punya luka yang harus dicari penyebabnya dan diobati. Penyangkalan bahkan kadang disertai dengan tindak kekerasan dan mengancam orang-orang yang mengingatkan kita bahwa luka itu, supaya diam. Lalu menuduh mereka sebagai provokator. 

Luka-luka itu adalah kerusuhan rasial dan politik yang dialami bangsa ini. Kita bisa menghitung berapa banyak kejadian antarsuku dan agama yang terjadi di beberapa daerah. Di Sampit, di Ambon, di Poso, dan banyak lagi, belum tawuran antarpelajar yang kerap menghiasi pemberitaan di televisi dan media lainnya. Yang terbesar dan menyayat tentu kerusuhan rasial pembakaran dan pemerkosaan perempuan etnik Tionghoa di Jakarta dan diikuti di kota-kota lainnya pada 1998.

Kerusuhan rasial 1998 yang mengiringi gerakan reformasi dan transisi kekuasaan Orde Baru ke orde berikutnya (yang gagal), bukanlah yang pertama. Bila kita tarik ke era kolonial, kerusuhan rasial sudah kerap terjadi. Yang paling menggemparkan tentulah peristiwa yang disebut Geger Pecinan. Pembantaian etnik Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta) oleh pasukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1740. Dalam peristiwa yang juga dikenal sebagai Tragedi Angke atau Chinezenmoord (Pembunuhan orang Tionghoa) itu memakan korban tidak kurang 10.000 orang Tionghoa. Geger Pecinan tidak hanya terjadi Jakarta, tapi juga merembet ke kota-kota lain, seperti Solo, Semarang, dan kota-kota pada tahun-tahun berikutnya. 

Luka-luka itu sampai sekarang belum sembuh dan disembunyikan. Luka-luka itu seolah hilang begitu saja dengan dilupakan. Sejatinya luka itu terus hidup. Kerusuhan rasial yang berulang terjadi membuktikan bahwa luka itu tak pernah hilang. Ketika meledak kembali akan menjalar lebih cepat, apalagi ditambah dengan kekecewaan masyarakat dengan bobroknya tata kelola pemerintah. Itulah kiranya yang hendak diperingatkan oleh film ‘Pengepungan di Bukit Duri’ karya Joko Anwar yang sedang beredar di bioskop sejak 17 April 2025.

 

Bukan dari Ruang Hampa

Lewat film ini Joko juga memperingatkan dengan putus asa bahwa sebuah peristiwa sekecil apa pun tidak datang dari ruang hampa, melainkan hasil dari situasi sosial dan politik yang melingkupinya. Lingkungan keluarga, sosial dan masyarakat bertanggung jawab atas perilaku Jefri (Omara Esteghlal) yang menjadi begitu kejam, menindas, dan gemar kepada kekerasan. Mentalnya rusak oleh perlakuan keluarga dan masyarakat yang buruk. Jefri lahir dari peristiwa kekerasan yang traumatik sehingga ia ditolak oleh ibunya sendiri. Kondisi mental seperti yang dialami Jefri ini sangat mudah terbakar bahkan oleh hal-hal kecil yang tidak rasional, tidak bisa menerima perbedaan dan egois.

Negara yang bertanggungjawab atas semua luka-luka bangsa itu membiarkannya begitu saja. Bahkan pemerintah seolah sengaja membiarkan luka-luka itu, bahkan memelihara anasir-anasirnya yang siap diledakkan saat dibutuhkan untuk kepentingan politiknya. 

Memang tidak semua orang menjadi rusak di tengah tatanan sosial dan mental masyarakat dan pemerintah yang bobrok. Seperti diperlihatkan oleh karakter kakak beradik Edwin dan Silvi, masing-masing yang diperankan dengan luar biasa oleh Morgan Oey dan Lia Lukman. Keduanya tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan menolak lebur dalam dendam meskipun tetap menyimpan luka.

Bagaimanapun luka harus diobati dengan cara permintaan maaf. Tetapi permintaan maaf saja tentu tidak cukup. Negara harus menangkap pelakunya dan mengadili dan menghukum mereka. Langkah ini mungkin seperti akan menguak luka lama, seperti dikhawatirkan teman saya itu. Tetapi itulah proses yang harus dilalui bila kerusuhan tidak ingin kembali terulang dan dimanfaatkan oleh politikus-politikus yang hanya mengejar kekuasaan.

‘Pengepungan di Bukit’ tidak sekadar mengangkat isu kekerasan, rasisme, dan intoleransi, tapi juga soal dunia pendidikan kita yang gagal melahirkan manusia-manusia beradab. Pendidikan hanya dilihat semata sebagai sarana mencapai kesuksesan material untuk masa depan, sehingga kita bersaing sampai harus sikut-sikutan mendapatkan sekolah favorit. Sekolah bukan untuk membangun kehidupan masa kini yang harmoni tanpa diskriminasi.

———————–

Aris Kurniawan

Lahir di Cirebon 24 Agustus. Menulis cerpen, puisi, resensi, dan catatan harian. Buku cerpen terakhirnya: Monyet Bercerita (Basabasi, 2019).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *