Cruella

Puisi-puisi: Emy Suy

TERIAK HUJAN

hujan semakin deras
di kepala:

kau bukan dapur,
sumur, apalagi kasur

teriaknya

aku mendengar
tapi pura-pura tuli

2025




INSIDIOUS

ia berlari di lorong
dikejar masa lalu

nyatanya
ingatan hanyalah pintu
yang menganga ke gua gelap

di mana kenangan berbiak
dan beriak
–kadang berbisik–

tak ada yang benar-benar nyata:
bayangan memantul dari dindingnya
ketika obor menyala dari amarahku

ibu, aku tak mau berlari lagi!
walau harus mati di sini



2024-2025




NUSANTARIUM

di nusantarium

aku teguk teh
dari secangkir kopi

aku lahap bubur
dari semangkok soto

di antara kata melimpah ruah
yang telah kehilangan tuah

kini, goda dan godam
garam dan geram
menjadi begitu hitam

2025



LIBUR

Aku telah membaca peta luka
Yang kau kirim ke rumah

Apa lusa kita jadi
Berlibur ke kamar mandi?

2025




STASIUN MANGGARAI

manggarai mulai menyeringai
sebab getar yang tak sanggup
aku bayar

aku menjauh
dalam keranda masa depan ini
membawa sisa usia

dan mengubah getar itu
menjadi dering yang ngilu

2025



DOA MALU

Tuhan
–aku berdoa tapi malu:

Lindungilah aku
Dari rasa cemburu

2025



MEDITASI LUKA

Tuhan dari ibuku,
Aku kini seumpama gelas
Yang dipecahkan

Bahkan belingnya
Sudah tak berbentuk!

2025



BERPIJAK PADA JEJAK

Ada pohon tumbuh di kepalaku, tunasnya liar, menjulur ke sudut-sudut sempit, mencari celah di antara langit retak. Tapi waktu datang sebagai pemangsa, mencabuti ranting, membungkam akar, lalu menjerat tubuhku dalam lingkaran rutinitas yang berputar-putar, tak ada awal, tak ada ujung, hanya harus begini, harus begitu. Pertanyaan terjebak di kerongkongan, sementara jawaban mengalir tanpa bentuk, menumpuk seperti sampah di gang buntu. Ia ingin berontak, tapi suaranya hilang di jalanan yang bising. Seseorang berteriak lewat corong pengeras, menuduhnya sebagai serpihan gelas yang tak pernah utuh. Ia coba menyatukan diri, tapi selalu pecah lagi, berserak, menghilang di celah lantai.

Langit mendung di matanya, awan hitam berarak pelan. Badai tak datang untuk membersihkan apa pun, hanya meluluhlantakkan sisa-sisa yang masih ingin berdiri. Kau adalah badai, sekaligus gelas pecah yang menghujat tanganmu sendiri. Ia tak lagi menjelajah bibir pantai, tak ada jejak ombak, hanya suara beton yang merintih. Kota telah menelan pohon-pohon, sungai-sungai, dan kini ia hanyalah lorong panjang yang tak mengenal ujung atau pintu keluar.

Dari balik jendela masa lalu, kenangan berderit seperti roda kereta tua, membawanya ke tempat yang tak pernah ia tuju. Ada jarak yang sulit ditempuh, ada luka yang sengaja ditanam dalam-dalam, menunggu musim panen kesedihan. Cemas adalah bisik-bisik di balik dinding, cemburu pada waktu yang diam-diam mencuri napas terakhir petang. Dan di sisi lain, ada mereka yang menari di atas luka-luka, mengipas-ngipas kebohongan, mengibaskan cuka pada hati yang retak.

Ia membenturkan diri ke dinding masa lalu, berharap temboknya jujur, tapi kenyataan menggigit lebih keras dari mimpi buruk. Tubuhnya kosong, halaman yang tak pernah diisi. Dan malam, seperti biasa, melipatnya dengan sunyi yang tak bisa ia terjemahkan. Jejak –begitu juga- hilang dalam pelukan dingin yang mengigau!

2025



TOR-TOR TROTOAR

Di trotoar ini, waktu membusuk seperti tikus mati. Barang-barang rongsokan masa lalu dijajakan seperti nisan tanpa nama di luar harga, tapi tak pernah cukup untuk membeli masa depan. Perut lapar menjadi mata uang yang paling jujur, menukar sisa harapan dengan sepiring nasi dingin atau sepotong mimpi basi.

Kota ini, adalah luka terbuka yang berdetak seperti mesin tua, menggiling siang dan malam tanpa jeda. Debu, asap, dan keringat memenuhi paru-paru pejalan yang dipaksa basah, dan berubah menjadi kamboja liar yang tumbuh dari retakan aspal, berakar di trotoar tempat doa-doa mati sebelum sempat diucapkan.

Di manakah air mata yang jatuh dulu? Mungkin mengalir di got-got hitam yang berujung ke sungai mati, tempat sampah dan kenangan bercampur dalam arus pelan yang tak pernah sampai ke laut: tak ada lagi yang tahu mana dosa, mana luka. Kota ini tertawa dalam sunyi, melihat dirinya hancur perlahan, melihat penghuninya mengais di antara puing-puing peradaban yang tak pernah benar-benar dibangun.

Kota ini –mungkin- panggung teater dengan aktor tanpa wajah, dialog tanpa suara, dan pintu keluar yang tak pernah ada.

2025



CRUELLA

Setelah
Pengembala itu mati

Tubuh seekor kerbau ditumbuhi duri,
belukar, dan sarang ular

saban pagi
burung-burung penjilat
–pemakan ulat itu–
memanggil dirinya sebagai singa

ia pun mengaum
sambil mengulum rumput

2025



BATAVIASCHE OOSTER SPOORWEG MAATSCHAPPIJ
: Stasiun Beos

Waktu tiba sedikit terlambat, berjabat tangan dengan kenangan yang tak pernah selesai. Langit mendung menunduk, seakan mengundang hujan untuk bercerita tentang Batavia Zuid. Apakah sejarah pernah lelah merawat ingatan? Tidak. Jejaknya tertanam di dinding-dinding batu, pada megahnya Stasiun Beos, mahakarya tangan dingin Frans Johan Louwrens Ghijsels. Ia berdiri tegak sebagai simbol kejayaan masa lampau, saksi bisu langkah-langkah yang bertubi-tubi datang dari jejak kumpeni, menduduki, dan meninggalkan luka di tanah yang kini disebut Jakarta.

Siang itu matahari menusuk kulit kepala, membimbing langkahku ke Stasiun Beos. Di bawah lengkung besi tua, ingatan purba bergema. Setiap sudut stasiun seolah mengangkut kenangan jauh dari masa lalu, memaparkan luka kota yang masih menganga. Di sana, di tempat yang jauh dari dermaga, waktu menunggu dengan debar yang berat. Lonceng sunyi merambat perlahan, getarannya menyentuh diam-diam, mengguncang sesuatu di dalam dada.

Stasiun, seperti dermaga, adalah tempat menampung pilu. Tempat orang-orang melarutkan kelu dalam keheningan. Tempat malam berlalu, melambaikan tangan pada perpisahan yang membingkai air mata. Di Stasiun Kota, pertemuan selalu bersanding dengan perpisahan. Orang-orang membelah jarak, meninggalkan rindu seperti batu-batu tua yang tertinggal di tepi laut. Stasiun itu menampung semuanya—derita, mimpi, dan suara langkah yang hilang di kejauhan.

Jakarta, 2024



JEJAK-JEJAK INGATAN DI SUNDA KELAPA

Orang-orang mengais sunyi dari sisa-sisa masa silam. Anganku mendayung di sungai nadi kota, menyusuri tubuh Batavia yang renta. Di tepian sejarah yang tak pernah tidur, waktu mencatat cinta dari tatar Sunda, membawa kita pulang ke asal yang pedih. Orang-orang meneguk rindu dari segelas Es Tak Kie, terbuai arus waktu di kedai kopi kenangan. Di sana, benda-benda berbisik, “Akulah penanda kesedihan.”

Galangan VOC berdiri bisu, menyimpan ribuan musim yang diawet dalam lembar luka. Jembatan Kota Intan berderit tua, membawa jejak-jejak kaki dari empat abad lalu, jejak yang berserak di tubuhnya, jejak yang tak pernah hilang meski hujan deras mengguyur. Suara-suara berubah menjadi layar tancap, menayangkan kembali luka yang ditimba berabad-abad lamanya.

Tubuhku berjalan pelan, mata menyala sunyi, menatap sepi yang berhamburan di sudut Toko Merah. Matahari membakar jalanan, sementara gerimis jatuh di hati. Di antara kapal-kapal pinisi, aku menghitung detak dermaga Sunda Kelapa, detak yang masih sama seperti di masa lalu.

Di Sunda Kelapa, orang-orang mencari jejak kumpeni—aroma rempah-rempah, lada, buah pala, kayu wangi, cengkih, dan gading yang pernah diangkut dari Batavia ke Eropa. Tapi tiada. Kapal-kapal pinisi kini hanya bersandar dalam diam, menyimpan cerita yang melipat sejarah di palka-palka tua.

Batavia tak pernah benar-benar tertimbun zaman. Jejak itu tetap ada, menunggu untuk dibaca, untuk disentuh, meski terasa pedih. Sejarah di sini adalah luka yang tak pernah sembuh, melarut bersama air laut dan desir angin dari utara.

Jakarta, 2024



MENYUSUR TUBUH BATAVIA HINGGA KE JANTUNG SUNDA KELAPA

Orang-orang memanggul rindu yang tua, tertambat di Stasiun Beos, di mana waktu berjalan melambat di lorong-lorong kota tua. Batavia adalah saksi yang tak pernah padam, menyimpan jejak masa lalu dalam bebauan melati, harum masa lampau yang mengendap di pelataran Gereja Sion—tua, 323 tahun berdiri, menatap perjalanan cinta yang mendayung di sungai nadi kota. Di sana, sejarah menelaga dalam ingatan, berserak seperti potongan mozaik yang tak pernah utuh.

Orang-orang memesan segelas Es Tak Kie di sudut Pancoran, menyesap dingin kenangan sejak 1927. Teko-teko tua di Pantjoran Tea House menjadi saksi abadinya kebaikan: memberi dan terus memberi, tanpa pernah menunggu balasan. Masa lalu bercampur dalam riuh sunyi, dalam langkah-langkah yang menyusur sejarah panjang Batavia.

Di Tatar Sunda, empat prasasti Kebantenan berbisik, menyebut nama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan Jayadewa, cerita yang ditatah di lima lembar lempeng tembaga. Dari abad ke-5 Tarumanagara, melintasi masa Kerajaan Galuh di abad ke-8, hingga Kerajaan Pajajaran di abad ke-14—semua jejak itu tersambung, membawa kita ke pelabuhan tua Sunda Kelapa, di mana Bekasi menjadi jembatan penghubung menuju samudra.

Mata kami terus menyala, tubuh menyusur lorong-lorong waktu. Di museum-museum itu, benda-benda bicara, menyimpan kisah yang tak pernah mati. Pintu tua di Toko Merah retak, seakan menguak rahasia masa lampau, sementara angin menerbangkan daun-daun kering, melukis senja di langit berawan.

Jembatan Kota Intan berdiri ringkih, memanggul rindu yang ganjil. Kini ia rapuh, tetapi kenangan tetap kokoh—melintasi masa yang lambat. Orang-orang melangkah khusyuk di pelataran Galangan VOC, di bawah bayang-bayang rumah joglo tua. Jejak itu berkelindan di antara bangunan yang kian ringkih, di tengah hutan beton Jakarta yang melupakan asal-usulnya.

Kami berjalan melewati waktu, menatap perahu-perahu pinisi yang bersandar tenang di pelabuhan tertua di dunia. Mercusuar kembar di Sunda Kelapa menyala di kejauhan, sabar mengabarkan masa lalu yang masih hidup di setiap tiang kayu, di setiap hempasan ombak. Ini bukan sekadar pelabuhan; ini adalah bibir peradaban, tempat sejarah Batavia menyala seperti bara dalam sekam, tak pernah benar-benar padam.

2024


ROMANTISME BATAVIA – SUNDA KELAPA

Kami melangkah ke ruang waktu—tempat kejayaan diabadikan. Museum Fatahilah berdiri seperti penjaga, memungut serpihan sejarah, setiap benda adalah jejak napas kota. Kisah-kisah itu hidup, bersembunyi di celah-celah tembok tua, di sudut jendela yang menyimpan musim lampau.

Matahari mencumbu angin, tembang kenangan melati dari Jaya Giri menguar di udara. Di Toko Merah, gurat di bibir pintunya seperti luka yang berbicara, memecah sunyi lalu berhamburan di langit petang. Jauh di setapak yang lengang, aku mencari sepi yang selalu gaduh. Langkahku bergema di Jembatan Kota Intan, jembatan tua yang mulai rapuh, tapi kenangan terus berakar, kokoh di hati kota.

Orang-orang khusyuk mengayuh roda waktu. Pada tiap tarikan napas, mereka menanggung beban rindu yang tak pernah lekas tuntas. Di pelataran Galangan VOC, rumah joglo tua itu menjadi altar bagi sejarah—tempat waktu duduk diam, menyaksikan orang-orang menyusuri jalan panjang, menembus hutan beton, menuju pelabuhan yang masih setia menerima kisah lama.

Hari begitu terik, tetapi gerimis kecil turun di sudut mata. Di antara perahu-perahu pinisi yang bersandar, ada cerita yang belum selesai. Aku tak hanya berjalan, aku menyeberangi laut masa lalu, menyusuri detak pelabuhan tertua di dunia, melintasi dua mercusuar Sunda Kelapa.

Khusyuk menyimak romansa masa silam, aku mendengar dermaga bercerita—ini bukan sekadar bibir pantai. Di sinilah peradaban dimulai, seperti percintaan rahasia antara angin dan ombak, menjanjikan cerita yang selalu bergulir, seperti rindu yang tak pernah usai.

2024

————————–

Emy Suy

Penyair kelahiran Magetan, Jawa Timur, pada Februari 1979 dengan nama Emi Suyanti. Menggunakan nama pena Emi Suy, ia dikenal sebagai penyair perempuan Indonesia, aktivis kemanusiaan dan lingkungan hidup. Selain menulis, Emi menyukai olahraga dan fotografi. Ia juga merupakan penggagas sekaligus pendiri Komunitas Jejak Langkah, sebuah komunitas yang bergerak di bidang literasi, seni, budaya, dan kemanusiaan.

Hingga saat ini, Emi Suy telah menerbitkan lima buku kumpulan puisi tunggal: Tirakat Padam Api (2011) serta trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), dan Api Sunyi (2020), serta Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022). Selain itu, ia juga menulis buku kumpulan esai sastra berjudul Interval (2023).

Emi juga menulis naskah opera (libretto) I’m Not For Sale, yang menceritakan perjuangan tokoh anti-perdagangan perempuan Aw Tjoei Lan, diiringi oleh musik dari pianis dan komponis Ananda Sukarlan.

Karya-karya puisi Emi Suy telah dimuat di lebih dari 200 buku antologi puisi bersama, sejumlah buku antologi cerpen, serta kumpulan esai dan artikel. Puisinya juga diterbitkan di berbagai media daring seperti Tatkala, Basabasi.co, Sastramedia.com, Kompas.id, dan Erakini.id. Di media cetak, puisinya pernah dimuat di Pikiran Rakyat Bandung, Malut Post, Lampung Post, Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Media Indonesia, serta Kompas.

Di kancah internasional, puisinya pernah dimuat dalam majalah sastra berbahasa Inggris Porch Litmag. Kini tinggal di Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *