Cerpen: Idham Ardi N.

PEROKOK pasti tahu. Asap rokok yang biasanya lembut kadang ujungnya menajam serupa jarum mencocok mata. Seperti yang baru saja dialami Irul usai menyulut rokok pertamanya di hari ini. Ia tak merasa perlu mencari tahu sebabnya. Tak perlu mempersoalkan, dan menganggapnya sebagai suatu kesialan kecil yang tak bisa diundang atau dihindari. Cukup mengumpat spontan dan mengucek mata, lalu melupakan.
Setelah pedih mata berlalu, dipandangnya langit biru cerah pagi ini. Tak ada mendung, hanya beberapa gumpal awan berjalan lambat dan seringkali memberi lindung kawasan parkirnya dari terik pagi. Suasana dan cuaca seperti mengandung isyarat baik untuk berbagai kegiatan. Dalam buaian nikmat rokok pertama, Irul betul-betul telah siap untuk menjalankan peran kecilnya dalam kehidupan ini.
Tidak kebetulan, semua telah direncanakan oleh panitia masing-masing acara. Bahwa ada dua acara halalbihalal berbarengan yang akan terselenggara di sebuah resto dan pendopo pertemuan yang bangunannya dempet bersisian. Kedua bangunan kuno berarsitek Jawa-Kolonial tersebut berada di samping jalan yang hak parkirnya dimandatkan oleh sebuah ormas pada Irul. Itu artinya, pagi ini ia akan mendulang rejeki lebih dari biasanya.
Sebetulnya, kedua tempat tersebut memiliki lahan parkir sendiri di halamannya yang jadi satu. Tetapi, jika tiba pada waktu dipakai acara besar, apalagi bersamaan, halaman depan yang sebenarnya tidak sempit itu takkan sanggup menampung kendaraan tamu. Musababnya lantaran adat para tamu dalam acara-acara semacam ini, akan mengenakan pakaian dan kendaraan terbaik—dalam hal masyarakat hari ini adalah kendaraan roda empat. Mungkin karena mobil diperlukan untuk melindungi pakaian dan dandanan dari sengitnya lalu lintas, agar tetap rapi sampai tujuan. Mungkin karena kerapian akan menunjukkan bahwasanya nasib rumah tangga mereka, mungkin jadi akan terlihat baik-baik saja.
Mungkin dalam pikiran, Irul tak merasa perlu bermungkin-mungkin sampai situ, ia hanya memakai ilmu kebiasaan saja. Seperti yang sudah-sudah, biasanya akan banyak tamu yang memilih membawa mobil. Maka, dapat dipastikan tumpahlah rejeki parkir ke trotoarnya, di mana Irul akan mematok tarif Rp. 5.000,-/mobil tanpa bisa ditawar dan disangsikan legalitas karcisnya.
Jelang siang, ketika bising kendaraan di Jalan Slamet Riyadi sudah lumrah di kuping, hampir seratus ribu rupiah sudah di kantongan. Irul kian semangat menjeritkan peluit, tiap kali melihat mobil mendekat. Sekilas ia kembali mengingat jalan hidupnya yang akhirnya memarkirnya menjadi tukang parkir. “Satu mobil lagi, seratus ribu”, batinnya. Irul hampir saja mengucap syukur, sesaat berterimakasih pada Tuhan atas pekerjaan yang kini ditekuninya, tetapi sebuah mobil mendekat, bergelagat minta dicarikan tempat.
Mobil ke-dua puluh yang mendatanginya adalah Pajero hitam yang kinclong. Mobil berperawakan bongsor tersebut musti diparkir pararel dengan jarak manuver yang sempit. Dalam situasi seperti ini, tak hanya sopir yang kredibilitasnya dipertaruhkan. Kejelian perhitungan tukang parkir dalam menavigasi juga sangat menentukan.
Dengan lantang dan serius Irul memberikan aba-aba lewat teriakan, sempritan, dan isyarat tangan. Sopir mobil tersebut sungguh-sungguh mengerti tiap apa yang dimaksudkan Irul. Seberapa kanan atau kiri, dan sebanyak apa maju dan mundurnya, sungguh tepat sebagaimana hitungan kepala Irul. Dalam kerja sama yang terjalin kurang dari semenit itu, Irul merasakan satu gairah kekompakan yang menyenangkan. Nikmat kerja sama yang mengandung chemistri ia rasakan. Irul memperoleh keakraban yang asing dengan mobil yang bukan mobilnya itu. Untuk merayakan euforia anehnya, Irul bermaksud untuk menggratiskan parkir untuk Pajero tersebut.
Misteri siang itu terpecahkan ketika sopir Pajero keluar mobil dan langsung berseru, “Rul, ingat aku, tidak?”
Irul sebenarnya tidak lupa, dalam hati ia sebut nama kawan yang hampir 15 tahun tak ia jumpai itu. Jika kini ia terdiam, lantaran kaget tak percaya, sekaligus malu karena sosok kawannya itu muncul dari sisi dunia yang sungguh bertolak belakang dengan kondisinya sekarang, yakni kemewahan bernama Pajero.
“Masak si bopeng ini bisa sesukses itu?” Batin Irul. Belum selesai keheranannya, dari pintu penumpang muncul ibu muda, yang jelas terawat kecantikannya bersama dua bocah sehat dan bersih. Dengan masih mematung, batin Irul terus menyesakkan pertanyaan-pertanyaan dengki, “Masak ini keluarga Si Bopeng?”
“Kawanmu, Bar?” Tanya ibu muda itu pada si sopir.
“Iya, Bu,” mengangguk sopir itu dengan sopan.
“Loh, kok manggilnya, Bu?” Batin Irul.
“Kamu ikut saja ke dalam.” Ajak si ibu muda.
Dengan tertunduk-tunduk menghamba, sopir itu menjawab, “Saya di sini saja, Bu, mau merokok dulu.”
“Oh ya sudah, nanti kalau mau makan, masuk saja ya, Bar,” kata ibu muda itu sembari berlalu bersama dua anaknya.
Percakapan yang juga didengar Irul tersebut, mengembangkan sedikit demi sedikit senyumnya. Hingga akhirnya kebahagiaan benar-benar terkilat di wajah berminyaknya. Tukang parkir itu bersyukur dalam hati. Ia lega, sebab kawan yang dijumpainya ternyata tak sesukses seperti sangkaannya tadi. Ternyata ia cuma sopirnya! Haha! Pekik hatinya kegirangan.
Senyum tulus itu dimengerti Bardi sebagai pertanda kawan lamanya itu telah berhasil mengingat dirinya.
“Sudah ingat sekarang?” Ucapnya seraya mendekat.
“Bagaimana bisa aku lupa wajah bopengmu itu?”
“Haha sialan!” Umpat Bardi sembari merenggut tubuh Irul dengan kedua lengannya.
Mereka berpelukan erat, meluapkan kerinduan yang selama ini mereka tepiskan, dan sesaat sebelum ungkapan tubuh itu selesai, masing-masing mereka, sama-sama mengingat satu sosok yang tidak hadir di situ: Riko.
Riko adalah bahasan yang mustinya paling tepat untuk reuni tak terduga ini. Atau setidaknya, mereka singgung namanya satu-dua kali. Tapi keduanya seakan telah sepakat untuk tidak membahasnya ketika berjumpa. Sekalipun sosok itu adalah masa lalu yang saat ini menajam di benak masing-masing.
“Sudah lama jadi sopir?” Tanya Irul sembari merenungi wajah kawannya. Kini kelihatan lebih gemuk dan bersih dibanding wajah Bardi di ingatannya. Sisa lubang anting besar di kedua telinganya tersamarkan oleh bopeng-bopeng bekas jerawat batu menahun. Ini menguntungkan Bardi, pikirnya, bekas kenakalan remajanya jadi tersamar, sehingga ia bisa berdandan santun seperti hari ini.
“Sudah tiga tahun ini.” Ucap Bardi sambil menawarkan rokok yang segera dicomot Irul.
Bardi melihat tato sekenanya di sekujur lengan kanan kawannya itu. Lalu pandangnya menelusur penampilan Irul keseluruhan. Sungguh, kawannya itu, ia lihat hanya menua saja. Nada dasarnya tidak berubah sama sekali, tetap berantakan dan serampangan. Penampilan seperti itu, memang diperlukan Irul untuk bertahan hidup di jalanan, pikirnya. Sebuah zirah visual untuk menakut-nakuti orang. Atau setidaknya membuat orang malas berurusan. Dalam hati Bardi mendakwa, itu semua adalah untuk melindungi tubuh ceking dan jiwa pengecutnya dari kemungkinan kelahi.
“Sepertinya ini karmaku…” Keluh Bardi sembari menghembuskan rokoknya.
“Karma apa?” Irul was-was. Ia khawatir sebuah nama bakal terucap.
“Dulu, aku sering mengumpulkan orang-orang buat bolos sekolah, sekarang tiap pagi kerjaanku mengantar dan memastikan anaknya bos masuk sekolah.”
“Hahahaha.” Irul tertawa lega, “kalau begitu aku juga kena karma, dulu sering mencuri helm, kini jadi harus menjaganya,” lanjutnya.
Ketika angin menyemilir ke tubuh mereka, sayup-sayup terdengar suara ustad yang berceramah di acara halalbihalal di pendopo. Ustad itu menjelaskan bahwa halalbihalal adalah produk kebudayaan Indonesia. Di negara Arab asalnya Islam, tidak ada kegiatan semacam ini, bahkan idiom halalbihalal saja tidak ada. Inti dari halalbihalal ada dua, yakni minta maaf dan memaafkan.
“Itu di pendopo ada acara halalbihalal juga?” tanya Bardi.
“Iya acara yayasan sekolah. Lah tadi ibu bos tidak ke situ?”
“Tidak, Ibu ke resto sebelahnya, halalbihalal keluarga besar.”
“Suaminya kok tidak ikut?”
“Bosku yang laki ada urusan di kliniknya yang di Semarang.”
Bardi lalu bercerita mengenai keluarga majikannya, suami-istri yang keduanya dokter. Yang satu spesialis kandungan, satunya spesialis mata. Tak cukup hanya menuturkan saja, Bardi juga merasa perlu membanggakan kesuksesan dan kekayaan keluarga majikannya.
“Jadi ini memang keluarga balungan gajah, kaya sejak dulu. Bapaknya bosku ini adalah direktur rumah sakit, dan semua anaknya jadi dokter semua di rumah sakit itu.”
Bardi terus mencerocos, “mobil Pajero ini, khusus buat Ibu, kalau Bapak pakainya Mercedes, sedang anak-anak biasanya kuantar pakai CRV…”
“Ya, sama!” Irul yang kepanasan memotong.
“Sama apa?”
“Bosku juga mobilnya banyak, yang seperti ini ada, seperti itu juga ada, seperti yang kamu bawa itu juga ada.” Ujar Irul sembari menunjuk sekenanya beberapa mobil mewah yang sedang parkir di lahannya.
“Haha, tentu saja bosmu mobilnya banyak, lha wong kamu tukang parkir. Ini semua yang parkir di sini otomatis adalah mobil bosmu.”
“Bukan! Kalau yang di sini itu mobilnya klien, bukan bos! Aku itu juga punya bos!”
Yang Irul maksud adalah bos dari bosnya yang memercayakan salah satu lahan parkirnya untuk diurus Irul. Sosok itu baru sekali dilihatnya. Itu pun dari kejauhan. Dan tentangnya hanya ia dengar dari orang lain. Jangankan dengan bosnya bos, dengan bosnya saja, ia jarang bertemu. Selama ini Irul hanya setor uang parkir ke orang kepercayaannya bos. Tapi Irul merasa perlu meminjam sepak terjang bos tertingginya itu untuk diadu kesuksesannya dengan majikan Bardi.
Mereka lalu berbicara seru, saling tak mau kalah dalam membanggakan, seperti main tiban kartu, sampai lupa bahwasanya yang sedang diadu adalah kekayaan orang lain di mana tak ada sepicis pun peran mereka di situ. Bardi yang lebih dulu sadar bahwa obrolan seperti ini menjijikkan, mendadak terdiam. Irul justru merasa telah unggul.
“Bagaimana, lebih kaya bosku ‘kan?” Desak Irul meminta pengakuan.
“Iya lebih hebat bosmu.” Ujar Bardi menyudahi.
Irul merayakan kemenangannya dengan menculik lagi rokok milik Bardi. Bardi masih merenungi percakapan yang baru saja terjadi. Dalam benak ia merasa hampir saja tersedot kepada kekonyolan masa SMA lagi. Lalu sosok Riko kembali memenuhi angannya. Ditatapnya kawannya yang kini sedang menikmati rokok kemenangannya. Bardi menyiapkan satu pertanyaan yang telah lama ia kubur. Ya, inilah saatnya, batinnya, barangkali inilah satu-satunya kesempatan untuk mendapat jawaban Irul. Sudah lama ia ingin merajamkan pertanyaan ini pada kawan SMAnya itu. Sebenarnya bukan lagi jawaban ia butuhkan. Namun momen penghakiman sekaligus penghukuman untuk temannya yang pengecut itu.
Tajam ia tatap wajah Irul. Telah padat pertanyaan itu dalam genggaman hatinya. Mengapa kamu sampai hati tak datang ke pemakaman Riko? Mengapa kau tak mau menanggung salah bersamaku atas kematian Riko? Pertanyaan yang selama ini terus bergulung-gulung tak berkesudahan di batinnya itu kali ini akan benar-benar ia lepaskan.
Irul yang mulai sadar dirinya tengah dipandangi, merasa was-was. Bertahun-tahun sudah ia berlari, sembunyi, dengan jalan mencerabut dirinya dari seluruh pergaulan yang berkemungkinan menyilangkannya kembali pada sejarah mangkraknya bernama Riko. Dan di antara beberapa manusia yang sangat ia hindari adalah laki-laki yang kini sedang lekat menatapnya itu.
Keakraban barusan hampir saja meyakinkannya bahwa Bardi telah mengubur persoalan itu. Sebagaimana jasad Riko yang barangkali telah tak bersisa dimakan tanah. Tapi tatapan sahabat lamanya itu. Saat diam ini. Menyeretnya pada hitungan yang mengerikan.
Bardi masih belum berkata. Ia kini sedang mencoba mengingat dengan utuh tatkala ia datang ke pelayatan Riko. Di mana ia rasai orang-orang di situ melemparkan pandangan benci kepadanya. Dengan gentar ia terus menyeret kakinya yang bergetar menuju jazad temannya yang terbujur di ruang tamu. Ia perlu datang untuk penghormatan dan permintaan maaf terakhir, sebagai kawan, sebagai laki-laki, dan bisa jadi sebagai pembunuh. Tetapi di depan pintu ia dicegat dengan tamparan, caci maki, sumpah serapah, dan pengusiran dari bapaknya almarhum. Bardi merasa perlu mengingat rasa sakit itu lagi, agar nanti terjalar pedihnya melalui perkataan yang tengah ia persiapakan untuk Irul.
Bardi juga perlu mengingat peristiwa sebelum Riko mati. Tentang rasa sesalnya kenapa ia tidak memperingatkan Riko kalau ciu yang tengah ditenggaknya sudah dioplos pil koplo oleh Irul. Hanya demi sebuah keseruan yang konyol, Bardi yang kala itu baru berusia 16 tahun, sudah terlanjur dibuat sepakat oleh Irul untuk mengerjai Riko. Akibat dari itu, Riko mabuk melebihi batasnya lalu pulang dan menabrakkan motornya pada pohon randu.
Barangkali segala yang tengah berkecamuk di kepala Bardi terlanjur tumpah dulu melalui sorot mata. Ketakutan Irul pun menjadi-jadi. Terungkap oleh tubuhnya yang mengigil. Melihat gejala itu, Bardi merasa harus segera berkata, sebelum tubuh pengecut kawannya itu meledakkan drama cengeng yang menggagalkan rencana.
“Rul…”
Belum selesai Bardi berkata, Irul langsung menangis dan mendekap Bardi, “Ampuni aku, Bar…. Ampuni aku….”|
Bardi menjambak Irul untuk menjauhkan tubuh prengus itu dari dirinya. Lalu menampar Irul tiga kali, persis seperti yang diderita pipinya pada pelayatan bertahun lalu.
“Bajingan kamu, biadab, berandal laknat, kusumpahi hidupmu bakal hancur berantakan!” Tajam ia tusukkan kata-kata itu ke telinga Irul.
Setelah puas menggelontorkan caci maki bapaknya Riko bertahun-tahun lalu ke kuping Irul, ia lepas jambakannya untuk membiarkan Irul jatuh menggelosor ke lantai trotoar. Bardi lantas berjalan menuju resto untuk makan. Ia tinggalkan kawan lamanya itu menangis meronta sendirian, seperti orang gila, dan menjadi tontonan sesaat orang-orang yang lewat.
Saat memasuki gerbang halaman resto suara ceramah dari ustad semakin keras terdengar. “Bapak-bapak dan Ibu-ibu semuanya, ada sebuah hadist yang mengatakan, maafkanlah, niscaya kamu akan dimaafkan oleh Allah…”
Bardi memasuki gedung resto tanpa mempedulikan suara itu.
Sukoharjo, 27 Maret 2025
____________________________

Idham Ardi N.
Penulis lakon dan sutradara di Teater Sandilara. Lahir dan tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah.