Esai: Polanco S. Achri
SEBELUM masuk pokok soalan, dan melakukan penelusuran, catatan ini menyadari, mesti mendudukkan sesuatu dulu sebagai awal. Hal tersebut adalah mendudukkan pengertian tentang cerita; sebab amat konyol, ketika hendak mempersoalkan “pendek” pada cerita pendek, tapi tak mendudukkan pengertian cerita lebih dulu. Karenanya, meski sederhana, catatan ini hendak menduduk pada pengertian: Cerita adalah urut-urutan kejadian atau peristiwa yang memiliki hubungan temporal dan kausal. Kemudian, catatan ini menyadari pula, mestilah menambah penjelasan terkait beda antara plot dan alur—sebagai penegas cerita punya beda dengan kronik.
Kedua hal tersebut memang terkesan sama. Namun, seperti yang dinyatakan Jakob Soemardjo pada tulisannya, dua hal itu bisa dibeda; meski tak dapat dipisah. Sekali lagi, meski sederhana, dengan contoh yang lama pula, catatan ini hendak menunjukkan… Ratu mati lalu raja mati adalah alur; sedang ratu mati, dan sebab kesedihan yang amat raja mati adalah plot. Sebagai tambahan, dalam buku Jagat Teater, Bakdi Soemanto menyatakan, plot menyoal kausalitas, dan memakai kata hubung karena; sedang alur memakai kata hubung dan atau lalu. Karenanya, plot menunjukkan peristiwa-peristiwa secara kausatif; sedang alur secara kronologis.
Adapun, penelusuran pendek pada cerita pendek dapat dimulai dari soalan ruang pemuatan—atau halaman di mana cerita pendek terpublikasi. Hal itu menjadi penting sebab bagaimanapun persentuhan awal cerita pendek ialah persentuhan dengan ruang pemuatan atau pemublikasian. Dan, saat ini, tepatnya ketika rentang catatan ini ditulis-siarkan, pengertian cerita pendek (di) Indonesia lebih banyak dibangun dari ruang pemuatan dan halaman pemublikasian di koran-koran akhir pekan; sebab makin jarang dijumpai, di Indonesia, majalah dan jurnal sastra yang ajek.
Karenanya, tak heran bila pengertian pendek pada cerita pendek, yang dipahami publik dan pengarang (di) Indonesia adalah pengertian bahwa cerpen merupakan cerita yang memiliki rentang 750-1500 kata. Amat mungkin, ketika publik pembaca maupun para pengarang yang belakangan membaca cerpen-cerpen yang tayang pada majalah sastra pada kurun silam, seperti “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” karya Umar Kayam atau “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis akan muncul tanya: “Ini cerpen? Kok, panjang?”
Tentu, ada banyak faktor yang menyebabkan hal demikian; dan tak dapat genap dibahas dalam catatan yang mencukupkan diri sebagai studi kecil-kecilan ini. Betapa, butuh catatan lain guna menunjang-jelaskan. Akan menarik pula kiranya saat sekalian mau membuka kamus bahasa, dengan segala persoalan yang membersamai, lantas menilik kembali pengertian cerita pendek. Di sana, dapat dijumpai, cerpen didefinisikan sebagai cerita yang panjangnya di bawah 10.000 kata! Betapa janggalnya dirasa pengarang atau publik yang belakangan saat menemukan cerpen dengan panjang 2000-3000 atau 5000-7000 kata pada majalah lama atau buku kumcer. Ah, ya, tentu saja, tak dapat dan tak boleh dilupa, kini, ada laman-laman sastra yang mendudukkan diri sebagai majalah dan jurnal sastra daring. Itu baik, dan memang baik. Akan tetapi, kebanyakan masih betah memakai puitika dan dramatugi-ruang dari koran akhir pekan ketika menampilkan cerita pendek.
Lebih lanjut, soalan lain yang dapat ditilik ketika hendak mempersoalkan pendek pada cerita pendek, khususnya saat mau menelusuri pengertian pendek pada cerita pendek (di) Indonesia, adalah soal pembacaan dan keterbacaan. Pengertian pendek di cerita pendek dipahami sebagai rentang pembacaan. Tentu, soalan semacam ini juga tak bisa dilepas dari soal sebelumnya, dari soal ruang pemuatan atau halaman pemublikasian. Hal itu menjadi penting ditimbang, sebab terbuka kemungkinan, meski menempati ruang 750-1500 kata, tapi pembaca butuh pembacaan yang “lama”.
Dan tentu, dapat dijumpai pula soalan lain ketika membicarakan pembacaan dan keterbacaan dalam hal ini! Betapa, ketika diajukan pertanyaan tentang apa itu cerpen, kepada kebanyakan pengarang dan publik pembaca belakangan, amat jamak dijumpai jawaban, cerpen adalah cerita pendek, cerita yang habis dibaca dalam sekali duduk. lalu, apa jawaban demikian salah? Agaknya tidak; dan mungkin memang tidak. Akan tetapi, yang sebenarnya menarik adalah ketika menelusuri sumber rujukan jawaban tersebut—yang mana sering disampaikan para pengajar bahasa dan sastra di sekolah. Adapun pengertian tersebut memiliki sumber pada esai Edgar Allan Poe berjudul “The Philosophy of Composition”.
Di sana, Poe menyebutkan, cerpen memang bacaan yang habis dibaca dalam sekali duduk, dalam rentang 30-120 menit. Lebih lanjut, amat mungkin, para pengarang maupun publik belakangan, termasuk penulis catatan ini, serta para pengajar sekolah dari tingkat dasar dan menengah, akan bertanya-tanya ketika membaca beberapa cerpen Edgar Allan Poe: “Ini cerpen? Kok, panjang dan lama, ya?”
Lalu, selain dua hal tadi, pengertian pendek pada cerita pendek dapat ditelusuri dari semesta penceritaan. Karenanya, ketika ruang pemuatan membentangkan pengertian “pendek” pada luas dan sempit, dan rentang pembacaan membentangkan pengertian “pendek” pada lama dan sebentar, maka semesta penceritaan merentangkan pengertian “pendek” pada kepadatan: rapat dan longgar.
Dengan demikian, pendek di sini adalah pertanyaan tentang seberapa padatkah cerita disampaikan dan dipertunjukkan. Dan seperti sebelumnya, jelas, pengertian dan soalan penceritaan ini juga dipengaruhi pada soalan ruang pemuatan dan rentang pembacaan. Ruang 750-1500 pada koran jelas mempengaruhi penciptaan dan penceritaan; dan jelas, pembacaan atas penceritaan pada rentang tertentu juga mempengaruhi bagaimana pembacaan menjadi penciptaan kembali. Agaknya, dapat disepakati bersama, pada titik ini, penceritaan inilah yang menjadi ruang keunikan cerpen ketika kebanyakan menghendaki mesti membandingkan antara cerpen dan novel. Cerpen jadi unik dan kuat, sebab bisa dibaca berulang—dalam waktu dekat.
Akhirnya, catatan ini tak hendak menyuguhkan jawaban; sebab sejak judul pun hanya hendak mempersoalkan sesuatu. Andai ada suatu simpulan, yang entah bagaimana bisa ditarik, tentu tak genap masuk hitungan; sebab sebagai studi kecil-kecilan, catatan ini sudah cukup senang memijak pada keasyikan penelusuran. Andai mesti mendapati pertanyaan di akhir tentang kenapa catatan semacam ini mesti hadir, dapatlah dikatakan, catatan ini hendak membujuk para pengarang mempersoalan kembali pekerjaan, mengajak para pembaca menilik kembali kerja membaca, dan menghimbau para pemilik media guna menimbang kembali pengertian untuk halaman yang disediakan. []
(2020—2025)
———————
Polanco S. Achri
Lahir dan tinggal di Yogyakarta. Ia menulis puisi, naskah drama, dan esai-esai tentang sastra dan seni rupa. Selain menulis, ia mengelola Pendjadjaboekoe dan Majalah Astro; serta terkadang menguratori pameran dan menyutradarai pertunjukan.