Puisi: Iman Sembada
MONOLOG JAM 9 PAGI

Angin menulis kata-kata di tembok-tembok
Kota. Bahasa telah menjadi pintu masuk dan
Pintu keluar. Aku bakar tiket perjalanan. Aku
Batalkan pertemuan-pertemuan. Jam 9 pagi:
Nasi basi dalam kotak kardus. Kakiku tak bisa
Mengukur bayangan di balik layar. Tubuhku
Bergerak mencari orang-orang yang hilang
Sebuah monolog tentang manusia dan kematian
Terbuat dari puing-puing sejarah. Memori kolektif
Dari busa sabun dan shampo membuat keributan
Dalam kamar mandi. Lalu aku terkenang bapak
Dan ibu guru dari jadwal pelajaran dan papan tulis
Kata-kata yang dituliskan angin adalah risau
Dari orang-orang yang kehilangan nyali. Harga
Beras dan daftar belanja harian di atas meja —
Aku mengeluarkan isi dari bungkusnya. Bau
Duren, jeruk dan jengkol bermigrasi ke dalam
Mulutmu setelah transfer antar rekening
Monolog jam 9 pagi tak bisa dihapus di antara
Gelombang iklan dan budaya komersial. Para
Suami telah dihapus dari tempat tidur. Seorang
Isteri dihapus dari pekerjaan di dapur. Siapakah
Pemilik penghapus? Seseorang berjalan dengan
Rancangan busana akhir tahun tanpa proposal —
Lalu uang kertas 2000 rupiah untuk bayar parkir
Depok, Oktober 2024
PELUKAN JAM 5 SORE
Sebuah pelukan jam 5 sore. Pelukan yang terbuat
Dari diskon martabak dan pisang goreng. Setiap
Cerita membuat jalan nasib sendiri-sendiri. Aku
Mencium bau kopi setelah seekor musang berak
Di halaman belakang. Aku peluk tubuhmu jam 5
Sore, pelukan yang membatalkan bau manusia
Dari kekecewaan dan kesedihan. Kenapa sore
Selalu berwarna merah dan kuning? Rumah ini
Seperti bangsa punya banyak suku dan bahasa
Sebuah kamera jatuh, puing-puingnya berserakan
Di lantai. Lantai yang terbuat dari jam 5 sore. Aku
Melihat orang-orang mondar-mandir, seperti tak
Tahu arah pulang. Seseorang sibuk menatap
Layar smartphonenya, senyum-senyum sendiri
Seperti sakit jiwa. Ada keramaian yang terbuat
Dari suara-suara knalpot. Tetapi, kamu tampak
Tenang. Aku masih memelukmu. Jam 5 sore
Telah menyiram bunga-bunga di tubuhmu
Depok, Oktober 2024
DI LUAR TEMBOK PENJARA
Setelah membaca puisi-puisimu:
Aku membayangkan sebuah senja
Juga tentang pelabuhan kecil. Aku
Membuka jendela, melihat anak-anak TK
Bermain — suaranya berkejaran di udara
Kejalangan adalah kebebasan di antara
Slogan Merdeka atau Mati. Berani melawan
Tiran: puisi-puisimu adalah api semangat
Di luar jeruji besi dan tembok-tembok penjara
Aku masih mempelajari puisi-puisimu:
Angin bergaram mengasini kapal-kapal
Di antara risau camar dan cagak-cagak
Bambu yang pongah menjarah lautan
Potret wajahmu tampak flamboyan —
Ketika mengisap sigaret. Kau takkan
Mengharap belas kasihan, walau luka
Dan sakit kau tanggung sendiri sampai mati
Depok, Februari 2025
MESIN-MESIN BAHASA
Mulut-mulut terus meracau, seperti mesin-mesin
Bahasa yang rusak. Angin menulis dingin. Sebuah
Pagi tak bisa menulis siang yang panas. Siang tak
Bisa menulis malam yang bergerimis. Kosa kata
Asing telah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia
Aku berdiri di luar laboratorium fonologi. Apakah
Kosa kata itu akan menjelma kota kita? Sebuah
Kota sedang direnovasi di dalam ruang gawat
Darurat. Baling-baling kipas angin mengirim
Kumpulan kata-kata mutiara — lalu aku ingin
Memelukmu, tapi tubuhmu telah menjadi angin
Yang selalu menulis dingin dan gerimis malam
Mulut-mulut masih meracau, kudengar parau
Bagai risau. Selewat tengah malam, aku melihat
Animasi cahaya di atas puing-puing toilet. Sehelai
Rambutmu telah aku sisipkan di buku biografiku
Garis-garis wajahmu mengambang di kaca
Jendela. Aku berjalan meninggalkan daftar
Menu. Aku ambil garis-garis wajahmu, lalu
Aku masukkan ke dalam mesin-mesin bahasa
Setelah seseorang menulis kritik seni peran
Jalanan, 2024
HAMLET YANG CELAKA
Pujangga dari Avon menulis kisah-kisah Hamlet
Yang celaka. Pintu-pintu drama dalam tatapan
Penjual tiket. Seseorang berjalan di ladang-ladang
Dendam — setelah ia bertanya tentang misteri
Kematian ayahnya. Pisau bedah dan racun dalam
Manuskrip yang disembunyikan. Aku batalkan
Berita-berita partai dan mitos-mitos kekuasaan
Aku susun kembali memori dari puing-puing
Dramaturgi. Aku ingin menjadi cahaya yang
Tak bisa dipadamkan. Tetapi, jarum-jarum jam
Berkarat tak lagi memperjelas detak nasib antara
Jadwal makan malam dan gosok gigi. Lalu suhu
Tubuh naik 8 derajat celcius di atas batas normal
Aku membawa kisah-kisah Hamlet yang celaka
Ke dalam museum dan perpustakaan. Lalu aku
Melihat buku-buku bergambar manusia-manusia
Berwajah retak. Aku berjalan dengan masa kini
Di tubuhku. Udara berdebu di luar ruang-ruang
Isolasi. Setan dan iblis tak memakai masker
Bukit Cinere, 2024
BAYANGAN MESIN GERGAJI
Angin di luar jendela mendorong
Garis perlawanan mengatasi batas
Ketakutan. Musim meninggalkan
Dinding-dindingnya, seperti tisu-tisu
Bekas. Aku melihat orang-orang berjalan
Masuk ke dalam pasar bebas di antara
Poster-poster film yang tak bisa dibatalkan
Setelah tatapan mataku mengarah ke matamu
Waktu berjalan maju. Aku melihat renovasi
Cahaya untuk masa depan. Aku melihat indeks
Fluktuasi harga-harga. Subsidi BBM, pendidikan
Dan kesehatan di bawah bayangan mesin gergaji
Awan-awan terlepas. Seseorang berdiri
Di atas puing-puing bahasa dan reruntuhan
Bangunan setelah jadwal makan siang. Udara
Panas dalam industri global. Angin terus bergerak
Di luar jendela bersamaan kegaduhan netizen
Di ruang media sosial. Ada vibrasi kultur dan puisi
Di antara gelombang suara klakson telolet. Lalu
Angin mendadak diam setelah sebuah tangan
Menghapus gambar wajahmu di dada kananku
Depok, Agustus 2024
__________________________________

Iman Sembada
Lahir di Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pada 4 Mei. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen dan melukis. Puisi-puisi dan cerpennya dipublikasikan di media massa cetak dan digital, juga tergabung dalam sejumlah buku antologi kolektif. Buku antologi puisi tunggalnya antara lain: Airmata Suku Bangsa (2004), Perempuan Bulan Ranjang (2016), Orang Jawa di Suriname (2019), dan Garis Lurus (2025). Biografinya termaktub dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017). Kini ia bergiat di Lembaga Kebudayaan Depok, Jawa Barat.