Esai: Septiana Wibowo
PEREMPUAN masa kini sepenuhnya telah dapat melakukan apa yang mereka inginkan, termasuk dalam ranah hobi maupun pekerjaan. Semua yang dahulu hanya bisa dilakukan oleh laki-laki saja, sekarang sudah bisa dilakukan juga oleh banyak perempuan.
Pada kenyataannya telah banyak perempuan yang bekerja dengan penghargaan hak maupun kewajibannya secara profesional. Tercatat dalam Badan Pusat Statistik bahwa 50,13% perempuan Indonesia adalah perempuan yang bekerja. Pada satu sisi, ini adalah contoh nyata terwujudnya emansipasi yang luar biasa. Ada banyak pekerjaan strategis yang telah dicapai oleh perempuan. Dimana mereka bahkan telah berada di posisi-posisi yang tinggi dalam pemerintahan, sekolah, universitas bahkan sudah banyak yang dipercaya sebagai pemimpin suatu instansi dalam perusahaan.
Namun di sisi yang lain, bagaimana dengan perempuan pekerja buruh padat karya? Apakah sama kedudukannya dengan laki-laki yang juga pekerja? Ataukah justru kondisi yang ada merupakan beban ganda terhadap pribadi perempuan itu sendiri?
Dalam konstruksi gender di Indonesia tampak bahwa adanya tuntutan nyata dalam kiprah keluarga. Perempuan diminta memegang peran dan kendali sebagai ibu rumah tangga, karena mereka dilengkapi dengan kepekaan emosional dan jiwa yang mendidik. Bagi sebagian yang beruntung, mereka memiliki waktu dan ilmu yang baik dalam mengelola itu, ditambah dukungan anggota keluarga lain dalam mengelolanya.
Pada beberapa kasus perempuan memiliki peran ganda sebagai ibu rumah tangga juga harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Beratnya beban Perempuan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, bertanggung jawab terhadap rumah tangga dan mengelola hubungan keluarga menjadikan semua yang dilakukan menjadi sorotan karena akan kurang optimal dalam segala sisi.
“Jiwa perempuan dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan istri, tetapi pri-kehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu cukup kepadanya, untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan istri,” demikian ucap Bung Karno dalam bukunya yang berjudul “Sarinah”.
Sehingga benar adanya, selama ini cerita perempuan pekerja padat karya dengan kedudukan sebagai buruh justru tidaklah seindah perempuan karir pada umumnya. Mereka bukan berasal dari kalangan keluarga berada. Dalam prakteknya, sebanyak 14,37% pekerja di Indonesia adalah perempuan yang menjadi tulang punggung utama ekonomi keluarga.
Hal ini diungkapkan oleh Asrul Harahap, dalam Jurnal Kajian Perempuan dan Anak (2024). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga memerankan peran ganda sebagai penopang ekonomi keluarga di berbagai sektor pekerjaan seperti petani, buruh dan berdagang.
Dalam hal ini, peran perempuan sebagai ibu bekerja terhadap tanggung jawab rumah tangga berdampak pada kesulitan dalam membagi waktu, kelelahan fisik dan emosional yang tinggi, terlalaikan pendidikan anak, dan tantangan dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab keluarga. Bahkan ini menjadi sebab utama dalam kerenggangan relasi suami-istri serta gagalnya proses pengawasan dan pendidikan anak sejak usia dini dikarenakan tuntutan pekerja yang menghabiskan waktu di luar rumah.
Dengan tingkat ekonomi yang tidak stabil dan pendidikan yang rendah, ini menguatkan alasan tingginya perceraian maupun penelantaran anak dalam keluarga tergolong menengah ke bawah. Kenyataan bahwa maraknya perkawinan di bawah umur dan perceraian usia muda juga didominasi oleh perempuan ekonomi tergolong miskin.
Pengaruh sosial ekonomi terhadap Pernikahan Dini dibuktikan dengan studi pada ltizam Journal of Shariah Economic Research Vol. 7, No.1. 2023. Studi ini menemukan faktor dominan yang paling mempengaruhi terjadinya pernikahan dini adalah pendidikan remaja perempuan. Dalam penelitian, tercatat remaja responden yang berpendidikan rendah memiliki resiko 30 kali lebih besar untuk terpapar praktik pernikahan dini jika dibandingkan dengan remaja perempuan dengan pendidikan tinggi.
Ini menunjukan adanya lingkaran setan dalam kondisi perempuan yang masih terjadi dewasa ini. Bahwa ibu dengan pernikahan yang tidak bahagia dan tingkat pendidikan yang rendah bahkan dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai akan menggiring anaknya untuk sama seperti yang telah terjadi kepadanya. Dikarenakan tingkat kemampuan ekonomi mereka dalam menyekolahkan anak-anaknya. Ini akan menjadikan mereka secara turun temurun rentan menjadi korban kekerasan verbal, fisik bahkan finansial dari pasangannya.
Walaupun dalam prakteknya, akan ada perempuan dengan strata ekonomi rendah berhasil memberikan pendidikan yang memadai kepada anak bahkan mampu menyekolahkan hingga sarjana. Hal itu hanyalah segelintir dan sebagian kecil saja.
Maka pada dasarnya perlu adanya kesadaran pihak lain seperti perusahaan maupun pemerintah terkait dalam menelaah serta memfasilitasi para pekerja perempuan dengan SDM rendah agar bisa keluar dari kondisi yang sebenarnya berputar-putar di sini saja.
Pendampingan keterampilan mungkin perlu digalangkan kembali bukan hanya dari keterampilan ekonomi saja, namun juga bagaimana mengelola siklus keluarga menjadi lebih baik dari taraf komunikasi, mengelola keuangan keluarga dan kependidikan anak. Menumbuhkan pemahaman bahwa siklus ekonomi maupun keluarga yang harmonis berdasarkan keyakinan agama masing-masing bisa disampaikan menjadi cara keluar dari kemiskinan mungkin sangat diperlukan.
Seminar-seminar pengembangan diri menjadi perempuan yang utuh sebagai ibu yang bijaksana dan berkesadaran tinggi dalam pentingnya kependidikan anak juga akan menjadi hal besar yang dapat mengentaskan kemiskinan. Dikarenakan anak-anak pada taraf keluarga ekonomi cenderung kurang sesungguhnya masih memiliki kesempatan mendapatkan pengarahan yang baik dari ibu yang bekerja dan berjuang untuk keluarganya.
Bukankah secara tegas disebutkan dalam pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke empat yang merupakan salah satu tujuan bangsa Indonesia yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sehingga tertuang dalam pasal 27 ayat 2 bahwa, ”tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “.
Lalu bagaimana kiprah kita sebagai negarawan dalam representasi perempuan sebagai tenaga kerja dengan tingkat sumber daya yang rendah ini?***
——————————

Septiana Wibowo
Penulis Buku Kumpulan Esai Bukan Kartini, tinggal di Jepara, Jawa Tengah.
Luar biasa mas Asa dan Iniibubudi. Sukses selalu.
Luar biasa mas Asa dan Iniibubudi. Sukses selalu dalam segala program.