Rahim Sawitri

CERPEN

Karya: Fery Yanni

11/1/2025

“HEI! Jangan sok-sokan kamu, ya! Nada itu anakku, bukan anakmu. Kamu itu tidak bisa punya anak!”

Deg!

Sawitri tercekat. Seketika dunianya seolah berhenti. Teriakan kakaknya, Sumarti, seolah menyumpahinya. Atau mungkin memang benar, Sumarti memang menyumpahinya supaya tidak pernah bisa punya anak? Jika memang iya, betapa teganya dia kepada adik semata wayangnya itu.


Semua bermula ketika Nada, keponakannya, anak Sumarti, yang saat ini duduk di bangku TK hendak berangkat sekolah. Awalnya Nada ingin diantar oleh Sawitri naik mobil, namun Sumarti melarangnya dan hendak mengantarkannya sendiri naik sepeda motornya. Tapi Sumarti bahkan tidak menyiapkan helm untuk Nada.

“Nada, helm yang bulik belikan kemarin dipakai, ya! Kalau naik motor pakai helm demi keselamatan,” Sawitri mengingatkan Nada yang langsung diiyakan oleh keponakannya itu. Sawitri mengingatkan itu karena Sumarti tidak pernah memakaikan helm Nada setiap kali bepergian. Dia hanya memakai helm sendiri, seolah tidak memikirkan keselamatan Nada. Bahkan helm yang dimiliki Nada adalah pemberian Sawitri. Ketika dia mendapat rezeki, dia membelikan Nada helm itu sebagai hadiah ulang tahun. Dan rasanya tidak ada salahnya jika Sawitri mengingatkan Nada untuk memakai helm setiap kali bepergian dengan sepeda motor. Tapi rupanya perhatian Sawitri kepada Nada membuat Sumarti tidak suka, bahkan tampak semakin dalam kebenciannya pada Sawitri.

Sebenarnya tak hanya sekali ini Sumarti menyumpahi Sawitri. Dulu ketika Sumarti menikah, dia juga langsung berkata seolah itu adalah sumpahnya pada Sawitri.

“Lihat! Aku bisa menikah. Tidak seperti kamu yang tidak akan bisa menikah.”

Entah itu memang Sumarti menyumpahi Sawitri atau bukan, tapi yang jelas, hingga usianya mendekati kepala empat, Sawitri belum juga menikah. Selama bertahun-tahun setiap kali ada pria mendekati Sawitri dan hendak membangun rumah tangga bersamanya, selalu saja gagal. Ada saja cara yang digunakan oleh Sumarti untuk menggagalkannya. Sawitri selalu berusaha sabar dan mencoba berpikir positif bahwa memang mereka bukan jodohnya, namun ketika Sumarti menyumpahinya supaya tidak punya anak, meski dia belum menikah hingga saat ini, tetap saja membuat Sawitri hancur. Setega itu kakaknya menyumpahinya.

Kebencian Sumarti pada Sawitri mungkin beralasan, namun Sawitri tak pernah menyadarinya. Sawitri yang memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan Sumarti semenjak mereka kanak-kanak hingga dewasa, hingga kepercayaan orang tua mereka yang lebih diberikan pada Sawitri untuk mengelola semua aset orang tuanya, sebenarnya menjadi pemicu kebencian Sumarti, namun Sawitri tak pernah menyadarinya karena dia hanya menjalani hidup apa adanya bagai air mengalir saja. Tak pernah ada keinginan untuk bersaing dengan kakaknya. Namun, justru ketenangan Sawitri inilah yang terus memantik api kebencian Sumarti.

Satu hari setelah Sumarti menyumpahinya tidak bisa punya anak, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-39, Sawitri mengalami sakit perut hebat. Ketika diperiksa di rumah sakit, dokter menyatakan bahwa di dalam rahimnya ada sebuah penyakit miom dan dokter memutuskan untuk operasi dan rahim akan diangkat.

Dhuarrrr!!! Seketika Sawitri teringat sumpah Sumarti sehari sebelumnya.

“Hei! Jangan sok-sokan kamu, ya! Nada itu anakku, bukan anakmu. Kamu itu tidak bisa punya anak!”

Apakah ini memang sumpah Sumarti yang didengar oleh langit dan diijabah? Apakah mendoakan buruk seseorang tetap akan dikabulkan? Apakah doa seorang yang penuh kebencian akan dikabulkan?

Dunia Sawitri terasa runtuh. Namun, dengan cepat dia mengambil keputusan untuk menolak operasi apalagi harus diangkat rahimnya. Dia belum menikah. Laki-laki mana yang akan mau menikahinya nanti jika dia sudah tidak memiliki rahim, yang artinya dia tidak akan bisa memiliki keturunan? Sawitri berusaha berpikir jernih. Dia akhirnya memutuskan untuk terapi saja sambil menunggu, berharap sumpah Sumarti supaya dia tidak bisa menikah terpatahkan.

Sepuluh tahun sejak pernikahan Sumarti sekaligus sumpah Sumarti supaya Sawitri tidak akan pernah menikah, akhirnya doa-doa Sawitri terjawab. Sawitri akhirnya menikah dengan laki-laki yang tetap mau menerimanya meski dia tahu, ada penyakit di rahim Sawitri. Pernikahan sederhana, yang berbanding terbalik dengan pernikahan Sumarti yang sangat mewah sepuluh tahun yang lalu, akhirnya diselenggarakan. Namun, karena kebencian Sumarti yang justru semakin besar, akhirnya Sawitri memilih menyingkir dan menjauh.

Tahun berlalu, penyakit di dalam rahim Sawitri tak juga hilang, justru semakin bertambah. Sekali mereka ke dokter dan kembali dokter menyarankan untuk operasi dan rahim diangkat, namun sebagai pasangan yang masih baru, meski usia mereka tak lagi muda, tapi mereka tetap berharap ada keajaiban. Mereka menolak untuk operasi. Hingga akhirnya, memasuki tahun keempat pernikahan mereka, kembali Sawitri mengalami sakit perut hebat dan harus segera dilarikan ke rumah sakit.

Setelah menjalani berbagai macam pemeriksaan dan tes, akhirnya dokter harus menyampaikan berita yang paling ditakuti oleh Sawitri.

“Penyakit Anda sudah terlalu besar. Jika dipertahankan akan berbahaya. Dan mau tidak mau, rahim juga harus diangkat untuk menghindari resiko yang berakibat fatal. Selain itu, di usia Anda saat ini, bahkan dalam keadaan sehat pun, untuk bisa hamil bisa dibilang mustahil. Jika pun Anda bisa hamil, resikonya sangat tinggi, nyawa adalah taruhannya,” penjelasan dokter seketika membuat Sawitri seolah kehilangan dunianya.

“Itu artinya saya tidak akan pernah bisa punya anak, dok?” tanya Sawitri lirih.

“Ya. Karena rahim diangkat, artinya Anda tidak akan bisa punya anak,” jawaban dokter meski dengan suara halus, tetap bagai petir yang membelah jiwanya. Sawitri ingin menangis, tapi air mata seolah sudah tidak ingin menemaninya. Air mata itu seolah telah kering dan enggan keluar. Sawitri seolah kehilangan dunianya. Dia seketika teringat sumpah Sumarti supaya dia tidak akan pernah punya anak. Apakah ini adalah sumpah yang direstui langit? Lalu, mengapa harus dia? Kesalahan apa yang sudah dia lakukan hingga dia harus dihadapkan pada takdir yang seolah adalah jawaban untuk sumpah Sumarti?

Setelah melalui pertimbangan yang matang, menguatkan hati dan mempersiapkan mental, akhirnya diputuskan Sawitri akan menjalani operasi dan rahimnya akan diangkat. Sebuah kenyataan yang teramat pahit namun harus dia terima dengan lapang dada.

“Mbak, aku akan menjalani operasi, rahimku akan diangkat,” malam hari setelah memutuskan untuk operasi, Sawitri menghubungi Sumarti, menyampaikan bahwa dia akan menjalani operasi. Sebenarnya berat, mengingat Sumarti yang menyumpahinya supaya tidak bisa punya anak, dan sekarang sumpah itu akhirnya diijabah.

“Ya, tapi aku tidak bisa menunggui. Aku sibuk,” jawab Sumarti dengan ketus. Tak ada sedikit pun simpati kepada adik satu-satunya yang sedang dilanda musibah ini.

“Tidak apa-apa, Mbak. Yang penting aku minta didoakan supaya aku selamat. Maafkan semua salahku selama ini,” kata Sawitri. Tentu saja merendah, meski sebenarnya dialah yang selama ini didzalimi oleh Sumarti, namun dia dengan berbesar hati meminta maaf.

“Ya,” jawan Sumarti singkat dan langsung memutuskan hubungan telponnya.

Hingga menjelang operasi, tak sekali pun Sumarti menelpon Sawitri untuk sekedar membesarkan hatinya, memberinya dukungan dan semangat sebelum menjalani operasi. Sumarti seolah tidak peduli akan apa yang akan terjadi pada Sawitri.

“Jika aku selamat dari operasi nanti dan hingga aku sembuh, dia tidak menghubungiku, walau hanya sekedar menanyakan kabarku yang harus dioperasi dan kehilangan harapan masa depan ini, maka aku dan dia akan berakhir segalanya. Dia tidak menganggapku adik, aku pun akan tidak menganggapnya kakak. Anggap dia bukan siapa-siapa,” janji Sawitri di depan suaminya yang tak bisa berkata-kata. Ya, dia menjadi mati rasa dengan sikap Sumarti yang benar-benar tidak ada rasa kasih dan simpati padanya. Sumarti yang tampaknya benar-benar tidak mau lagi menganggap dia saudaranya.

Betapa bahagianya Sawitri ketika operasi usai dan dia masih diberi kesempatan hidup, dia selamat. Meski demikian, kesedihan tetap ada karena rahimnya tak lagi ada. Rahimnya telah diangkat. Tak akan ada kesempatan baginya memiliki keturunan yang akan menemaninya di masa tua nanti. Rahim yang dijaganya selama ini ternyata telah mengantungi penyakit yang begitu besar yang bisa mengancam nyawanya. Rahim yang menjadi harapan akan kebahagiaan rumah tangganya harus rela dilepasnya.

Hari berlalu, Sawitri mulai terbiasa dengan keadaannya saat ini, tanpa rahim. Hatinya telah ikhlas menerima kenyataan, meski sakit hatinya masih saja ada, mengingat Sumarti, kakak satu-satunya, pernah menyumpahinya supaya tidak bisa punya anak dan sekarang sumpah itu menjadi kenyataan. Bahkan hingga Sawitri sembuh dan pulih, tak sekali pun Sumarti menghubunginya sekedar menanyakan kabarnya.

Sawitri menjalani hari-hari seperti biasa, menjadi sehat meski tanpa rahim. Sawitri berusaha melupakan bahwa dia mempunyai seorang kakak bernama Sumarti di tanah kelahirannya. Sawitri berusaha menerima dengan ikhlas keadaannya, tanpa saudara dan tanpa rahim yang seharusnya menjadi aset yang paling berharga bagi seorang wanita. Sementara di sana, Sumarti tengah tertawa mendengar kabar Sawitri yang harus operasi dan rahimnya harus diangkat. Tak ada keinginannya sedikit pun untuk mengetahui kabar Sawitri, apakah dia selamat atau tidak dari operasi. Bahkan jika pantas, dia berharap Sawitri tidak akan pernah kembali, sehingga dia bisa menguasai semua yang seharusnya menjadi hak Sawitri. Dan yang pasti, kebenciannya telah terbayar lunas. Sebuah kebahagiaan baginya jika Sawitri menderita dan kehilangan kesempatan menjadi seorang ibu. Dia merasa menang. Sawitri tanpa rahim, sudah kalah telak darinya. Dan itu adalah kebahagiaan baginya.***

--------------------------
FERY YANNI
Cerpenis tinggal di Klaten, Jawa Tengah.