Sketsa

Cerpen: Reni Asih Widiyastuti

PERTAMA kali bertemu dengannya, tidak ada yang terlalu spesial. Dia hanya duduk seorang diri, menyesap matchalatte di sebuah kedai kopi di suatu sore yang dingin. Sesekali dia merapikan rambut hitam lurusnya ke belakang telinga. Membuat hatiku berdesir karena wajahnya yang cantik. Ya, amat cantik bahkan. Ah, tetapi sayangnya kami berbeda. Aku tidak suka kopi aneh-aneh semacam itu. Setiap mampir di kedai kopi, aku justru selalu memesan kopi asli tanpa gula. Karena bagiku itulah cita rasa yang sesungguhnya. Namun, entah kenapa karena perbedaan itu, aku malah menyukainya. Dan sekarang, diam-diam sketsa wajahnya telah selesai tergambar sempurna, dengan keterampilan kedua tanganku.

Apalagi saat secara tak sengaja dia menabrakku, ada rasa aneh yang tiba-tiba saja mengalir di dalam dadaku. Aku lupa kala itu pertemuan ke berapa. Yang aku ingat, dia tak seperti biasanya yang berpenampilan tomboi. Dia memakai dress putih dan flatshoes hitam. Perfect sekali, batinku saat itu. Aku buru-buru mengusir pikiran-pikiran liar itu karena ternyata matchalatte favoritnya tumpah begitu banyak, membasahi kemeja kotak-kotak yang kukenakan. Seketika dia gugup dan berusaha membersihkannya sambil mengucap maaf berkali-kali. Tidak masalah, kataku kepadanya dan segera permisi untuk ke toilet.

Setelah cukup lama membersihkan diri di toilet, aku pun berinisiatif untuk segera kembali dan ingin berkenalan dengannya. Kupikir sudah cukuplah mengaguminya selama ini. Toh, bukankah kejadian tadi mirip adegan di sinetron, film, dan semacamnya, yang sering kali ending-nya berbuah manis? Namun, aku salah. Sangat salah. Saat aku hendak menghampirinya, tiba-tiba datang seorang lelaki, menggamit lengannya dengan mesra. Kutatap sekilas lelaki itu. Bertubuh tegap, memakai jas berwarna hitam dan tak lupa sepasang pantofel mengilat turut menghias kakinya. Tanpa berlama-lama, mereka segera menghilang dan melesat dengan sebuah mobil, menembus hujan yang tiba-tiba saja turun.

Sejak saat itu, aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Namun, aku masih menyimpan sketsa-sketsanya dengan rapi di buku dengan cover dua angsa putih. Meski raganya tak mampu tertangkap oleh kedua mataku, tetapi nyatanya tanganku begitu lihai membuat goresan-goresan wajahnya. Bahkan imajinasi-imajinasi liar keluar begitu saja. Hingga tak sabar rasanya memberitahukan gambar terbaru kepada sahabat baikku selama ini. Ya, sejak aku mulai jatuh cinta kepadanya, sahabatku itu tak pernah absen mendengarkanku yang bercerita tentangnya. Dan hari ini, berbulan-bulan setelah dia melenggang pergi dengan seorang lelaki yang mungkin saja kekasihnya, kami sepakat untuk bertemu.

“Kau sudah gila, ya?” kata sahabatku.

Aku tertawa mendengarnya. Sahabatku memang benar. Aku sudah gila karena terlalu mencintainya hingga detik ini. Namun, apakah ada yang salah dengan perasaanku? Andai saja aku bisa mengatur hati dan menuntunnya ke jalan yang benar. Yaitu jalan dari Tuhan. Nyatanya aku tetap tak mahir dan lebih memilih membiarkannya untuk terus menjelajahi kesalahan yang menurut sahabatku dan bahkan orang-orang sangat fatal.

“Aku akan tetap menunggunya walau mungkin sekarang dia sudah menikah dengan lelaki itu. Aku akan selalu di sini.”

Seketika aku melihat percik api tiba-tiba ada di bola mata sahabatku. Nyalanya kian besar dan semakin besar. Segala sumpah serapah dialamatkannya kepadaku. Sahabatku pergi begitu saja, meninggalkanku yang masih terus percaya bahwa dia akan kembali lagi. Walaupun mungkin memang dia tidak pernah tertarik kepadaku, tetapi setidaknya aku bisa mengutarakan perasaan saat nanti kami bertemu kembali.

Bukannya tak pernah mencarinya. Namun, memang selama ini aku tak tahu dia sedang berada di belahan bumi bagian mana. Rasa bosan pun mulai menjalari hati dan kuputuskan untuk bertanya kepada penjaga kedai favorit kami. Buku bergambar dua angsa putih kusodorkan. Si penjaga mulai membolak-balik isinya. Keningnya berkerut, mungkin mencoba mengingat-ingat sesuatu. Pasti Anda sering melihatnya, karena dia pengunjung setia kedai ini. Begitulah yang kukatakan. Namun, si penjaga menggeleng keras. Mengaku tak pernah melihatnya. Sial. Memangnya dia hantu? Hampir saja kutonjok wajah polos si penjaga. Namun, buat apa? Toh nyatanya tidak pernah ada kisah di kehidupan kami. Dan aku hanya bisa menyimpan sketsa wajahnya di dalam buku.

“Dasar orang sinting!” umpat salah seorang pengunjung kedai.

Aku melewatinya yang segera disusul oleh kasak-kusuk pengunjung kedai lain. Ah, tahu apa mereka soal perasaanku? Sekarang aku akan mencarinya sendiri. Tanpa bantuan siapa pun. Termasuk sahabatku. Mungkin saat ini sahabatku itu sedang menertawakanku yang kelewat sinting dan memasukkan dalam daftar hitam dalam list pertemanannya.

“Jangan cemas. Kita pasti akan bertemu lagi, walau mungkin kau hanya akan terus menjadi sketsa di dalam buku. Aku tak peduli.”

Beberapa kedai kopi pun akhirnya kudatangi. Aku mulai menulis pesan lewat kertas dan tisu. Pesan-pesan itu sengaja kutinggalkan di atas meja kedai. Dengan begitu, siapa tahu dia akan singgah, lalu membacanya dan menghubungiku segera.  Atau ada yang mengenalnya dan berbaik hati memberitahu kalau aku sedang menunggunya. Karena aku sudah telanjur membiarkan perasaan cinta tumbuh begitu subur di hatiku. Ketika sedang sibuk menulis itulah, salah seorang pelayan kedai mengatakan kalau dia baru saja meninggalkan kedai.

“Ke mana dia pergi?” tanyaku cepat.

“Saya tidak tahu. Saya hanya melihat punggungnya dan sepertinya dia sedang merasakan sakit yang luar biasa. Coba saja ke sana!” tunjuk si pelayan dengan mimik muka yang begitu meyakinkan.

Aku pun menurutinya, karena memang tak sekalipun pernah menjejakkan kaki di tempat tersebut. Beruntung, lokasinya tidak jauh. Cukup berjalan kaki agaknya sudah sampai.

Namun, ketika aku baru saja sampai di tempat yang dimaksud oleh si pelayan tadi, perasaan takut mulai menjalar dan membuat detak jantungku terasa begitu cepat. Apakah penjara semengerikan ini? Segala macam bau menusuk-nusuk hidung, membuat perut mendadak mual. Seketika kepalaku berdenyut-denyut. Cepat sekali. Bahkan ingin rasanya memuntahkan seluruh isi perut. Namun anehnya, aku tetap penasaran dan merangsek lebih dalam ke penjara ini.

Sesampainya di sebuah ruangan, entah apa namanya, aku mulai mendengar ceracau-ceracau tak jelas dari mulut seseorang. Ketika mendekat, suara itu semakin jelas, bahkan sekarang lebih mirip raungan. Mendadak hatiku diliputi rasa iba, ingin rasanya menolong orang itu. Dan tepat saat aku menyibak sebuah tabir, di depan sana sudah terbaring orang yang sejak tadi berteriak itu. Orang itu tengah mengangkang di atas tempat tidur. Sedangkan bagian bawah tubuh mengeluarkan darah begitu banyak dan di atas dadanya teronggok tubuh mungil yang menangis dengan keras.

Sementara itu, aku terus menggeleng saat melihat wajah orang yang masih mengangkang itu, begitu mirip dengan sketsa wajah di dalam bukuku. Diakah yang kurindui selama ini?

Semarang, Januari 2025

——————–

Reni Asih Widiyastuti

Cerpenis alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini selain menulis cerpen, juga cerita anak, puisi, artikel, dan resensi buku telah dimuat di berbagai media cetak maupun online. Buku tunggalnya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam (Stiletto Indie Book, Juni 2019), Pijar (LovRinz Publishing, Maret 2022).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *