Puisi-Puisi: Arif Khilwa
Cahaya dan Bayang Sekolah
Dulu,
di ufuk yang masih gelap
Ki Hajar Dewantara, Kartini, dan para cahaya
yang bersetia menganyam mimpi di ujung fajar
menyulut obor di lorong zaman
agar anak negeri tak lagi menggigil dalam gelap
dan bisa menulis takdirnya sendiri
dengan tinta ilmu pengetahuan.

Mereka dobrak gerbang-gerbang besi
yang mengurung akal sehat
menyulap tembok jadi jendela
agar langit tak hanya dipandang
tapi juga disentuh
dengan pikiran yang merdeka
dan hati yang tak dijajah ketidaktahuan.
Kini,
sekolah berdiri untuk semua
tak lagi milik kaum terpilih atau darah ningrat.
Tiada pagar yang membedakan warna kulit
tiada tembok yang mengukur nasab dan jenis kelamin.
Sekolah adalah hak
pintu yang terbuka bagi siapa pun
yang ingin berjalan menuju cahaya.
Namun sayang,
angin zaman membawa kabut baru
Sekolah perlahan menjelma penjara
di mana tawa dikurung jadwal
dan makna tercecer di antara angka.
Ijazah tiba tanpa jiwa
seperti tubuh tanpa napas
dan ilmu jadi mantra yang dihafal
tanpa pernah dipahami.
Pati, 2 Mei 2025
Surat Buat Ayunda Kartini
Ayunda,
kau tinggalkan nyala di lembar senja
api kecil di jari kata
yang kini kami dekap dalam dada
meski zaman berganti rupa
Masih ada tirani di layar kaca
masih sunyi di ruang sekolah desa
Masih ada yang bilang perempuan bisa apa?
masih ada perempuan yang bungkam
dalam rumah yang tanpa jendela.
Tapi kami mendengar langkahmu
dari surat-surat yang menembus waktu
seperti desir angin saat subuh tiba
seperti doa ibu yang tak pernah sirna.
Kau ajarkan kami mengeja langit
tak hanya menjadi pengapit
Kau ajarkan kami memintal harap
meski dengan jemari yang luka mengatup rapat.
Ayunda,
zaman belum sepenuhnya berubah
tapi kata-katamu adalah senjata
yang kami sulam menjadi pelita
di lorong panjang bernama cita-cita.
Dan jika hari ini kami bicara,
Ini karena kau pernah bersuara.
Jika hari ini kami berdiri,
Ini karena kau menulis dan tak berhenti
Pati, 2 Mei 2025
Upeti yang Tak Pernah Pamit
Tanah yang kami beli dari mimpi
dengan keringat yang jatuh sunyi
Rumah-rumah yang kami bangun sendiri
dari sabar, dari hari-hari yang tak bertepi
Lalu para penguasa yang seenaknya
melahirkan kebijakan seperti tali mengikat
menggantung kami pelan-pelan di pagi hari
Upeti melangit, mencekik
bagai angin yang tak pernah pamit
Tagihan-tagihan menyusup ke sela napas
Menyulam hidup semakin keras
Pajak naik, harga-harga meroket
sementara senyum kalian
mekar di baliho mewah
terpampang di pinggiran jalan kota
Bahkan di depan kantor-kantor wakil rakyat
dan pejabat daerah setempat
Pati, 21 Mei 2025
Topeng Merah dan Asap Sewarna Darah
Kau hisap darah kami lewat upeti nadi
yang katanya kau jaga untuk negeri.
Kau pasung hasil produksi
biar kau bisa menari
Di panggung politik ekonomi
Bertopeng etika dan kesehatan
kau bangun tembok aturan
Beribu lapis tuduhan
Seakan racun maut yang menggerogoti tanpa mau mengerti.
Bahwa asap-asap yang mengepul adalah nyawa yang menghidupi.
Selalu ada kisah dari ladang tembakau dan keringat petani.
Dari pabrik ke peluh buruh yang tak kenal mengeluh.
Lalu sampailah pada pengecer pinggir jalan
yang menjajakan dengan laba yang semakin kurang.
Sedang racun lain yang
manis, dibalut wangi sintetis.
Kau biarkan bebas terbang melintasi usia.
Tak peduli nyawa yang hilang diam-diam.
Selama derasnya arus uang
Mengucurkan darah tanpa pedang.
Pati, 24 Mei 2025
Lautan Kehampaan
Nelayan kecil termenung di pantai
alis berkerut
pikirnya dihantui aturan tanpa ujung.
Kapal-kapal kecil bersandar lelah
tak terlihat lagi sering berlayar
Ikan menghilang terhisap kapal besar
berbekal surat sakti si Tuan
menjadi jimat kebal hukuman.
Sedang laut merintih dalam diam
kala limbah pabrik menyiksa
ciptakan kehampaan
Sampah-sampah mengambang
menari terperangkap
jaring nelayan tradisional
Dulu laut adalah rumah
sekarang luka dan duka
Nelayan kecil berlayar mencari rezeki
namun harapan tak kembali.
Pati, 03 Februari 2025

Arif Khilwa
Penyair dan Aktivis Gandrung Sastra, Pati.